Ibrah

Takwa

Ramadhan telah berlalu. Idealnya, setelah melewati masa-masa “training” sebulan penuh selama Ramadhan, setiap Muslim menjadi “sosok baru”. Berbeda antara sebelum Ramadhan dan setelah Ramadhan. Setelah Ramadhan ia makin rajin beribadah. Ia melakukan banyak shalat sunnah, shaum sunnah, berzikir dan ber-taqarrub kepada Allah SWT, dll. Ia makin banyak bersedekah dan makin berakhlakul karimah. Ia makin rajin menuntut ilmu. Ia makin giat berdakwah dan beramal makruf nahi mungkar. Demikian seterusnya. Sebaliknya, ia pun makin jauh dari perbuatan dosa dan maksiat kepada Allah SWT. Singkatnya, ia makin bertakwa kepada Allah SWT.

Takwa inilah yang menjadi “buah” dari shaum yang ia jalani selama sebulan penuh selama Ramadhan (QS al-Baqarah [2]: 183). Jika itu yang berhasil ia raih, berarti shaumnya benar. Sebaliknya, jika tidak, berarti shaumnya selama Ramadhan hanyalah sekadar menahan rasa lapar/haus semata. Demikian sebagaimana yang diisyaratkan Baginda Nabi saw. (HR Ahmad dan ad-Darimi).

Berbicara tentang takwa, Baginda Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Muadz bin Jabal ra. saat beliau mengutusnya ke Yaman, “Bertakwalah engkau kepada Allah dimanapun/ kapanpun/ dalam keadaan bagaimanapun…” (HR at-Tirmidzi).

Terkait frasa ittaqilLâh (bertakwalah engkau kepada Allah) dalam potongan hadis di atas, banyak ulama mendefinisikan kata takwa. Umumnya takwa mereka maknai dengan: melaksanakan seluruh perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya serta menetapi hukum-hukum-Nya. Dengan kata lain, hakikat takwa adalah sebagaimana dinyatakan oleh Hasan al-Bashri dan Umar bin Abdul Aziz, yakni: menjauhi semua yang Allah larang dan melaksanakan semua yang Allah perintahkan; lebih dari itu adalah kebaikan.

Menurut ulama salaf, takwa juga bisa berarti meninggalkan banyak hal yang mubah (halal) hanya karena takut terjatuh pada keharaman. Karena itu sikap wara’ (takut terjatuh ke dalam dosa) dan takut kepada Allah, itulah hakikat takwa.

Masih terkait dengan takwa, Sayyid bin al-Musayyib pernah ditanya seseorang, “Bagaimana takwa itu?” Ia balik bertanya, “Bagaimana pendapatmu, jika engkau berjalan di jalanan yang penuh duri, apa yang engkau lakukan?” Orang itu menjawab, “Saya tentu akan hati-hati dan berusaha menghindari duri-duri itu agar tidak melukai kaki saya.” Sayyid bin al-Musayyib kemudian berkata, “Itulah takwa, yakni engkau menghindari berbagai ‘duri’ kemaksiatan.”

Adapun frasa haytsuma kunta maknanya adalah: di tempat manapun kamu berada, baik dilihat manusia ataupun tidak (Ismail bin Muhammad al-Anshari, At-Tuhfah ar-Rabbaniyyah Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah, hlm. 18).

Secara lebih rinci dapat dijelaskan, bahwa kata haytsu bisa merujuk pada tiga: tempat (makan), waktu (zaman) dan keadaan (hal). Karena itu sabda Baginda Rasul saw. kepada Muadz ra. tersebut sebagai isyarat agar ia bertakwa kepada Allah SWT tidak hanya di Madinah: saat turunnya wahyu-Nya, saat ada bersama beliau, juga saat dekat dengan Masjid Nabi saw. Namun, hendaklah ia bertakwa kepada Allah SWT di mana pun, kapan pun dalam keadaan bagaimana pun  (‘Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah, 42/4-8; Al-Mubarakfuri, VI/104; Muhammad bin ‘Alan ash-Shiddiqi, Dalîl al-Fâlihîn, I/164).

Alhasil, kita pun sejatinya bertakwa tidak hanya saat berada di bulan Ramadhan saja, yang kebetulan baru kita lalui, tetapi juga di luar Ramadhan selama sebelas bulan berikutnya.

Terkait takwa pula, Abu Bakar ash-Shiddiq pernah berkata, “Akyas al-kays at-taqwâ wa ahmaq al-humqi al-fujûr.” Artinya, “Orang yang paling cerdas di antara orang-orang yang cerdas adalah yang paling bertakwa. Orang yang paling bodoh di antara orang-orang bodoh adalah yang suka bermaksiat.”

Apa yang dinyatakan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq benar adanya. Contoh kecil, betapa banyak pejabat yang bergaji tinggi dan menikmati ragam fasilitas negara yang serba lux dan tentu serba gratis, masih saja terdorong untuk korupsi. Ia pun akhirnya tertangkap tangan dan masuk penjara. Ia celaka oleh perbuatannya sendiri. Mengapa bisa begitu? Karena ia tidak bertakwa kepada Allah SWT. Saat ia tak bertakwa, ia tampak bodoh. Jika saja ia bertakwa, tentu ia akan memiliki sifat qanâ’ah dan tentu bisa bersikap cerdas; menahan diri untuk korupsi. Ia tak akan tergoda oleh sesuatu yang bisa membuat dirinya celaka sekaligus menghancurkan harga diri dan kehormatannya.

Karena itu penting kita mengamalkan perkataan sebagian ulama salaf yang berkeliling ke majelis-majelis seraya berkata, “Siapa saja yang ingin selalu mendapatkan keselamatan (di dunia dan akhirat), hendaklah dia bertakwa kepada Allah SWT.” (Ibnu Rajab, Ar-Rasâ’il, 3/110).

Banyak sifat yang dilekatkan kepada orang-orang bertakwa (muttaqîn). Di antaranya, jika kita merujuk ayat-ayat di awal surah al-Baqarah, orang bertakwa adalah orang yang: mengimani yang gaib; mendirikan shalat; menginfakkan sebagian harta; mengimani al-Quran dan kitab-kitab yang Allah turunkan sebelum al-Quran; meyakini alam akhirat (QS al-Baqarah [2]: 1-4).

Lalu jika kita merujuk pada ayat lain, orang bertakwa disifati dengan beberapa ciri: menginfakkan hartanya di saat lapang ataupun sempit; mampu menahan amarah; mudah memaafkan kesalahan orang lain; jika melakukan dosa segera ingat kepada Allah SWT dan memohon ampunan-Nya; tidak meneruskan perbuatan dosanya (QS Ali Imran [3]: 133-135).

Tentu masih banyak sifat orang bertakwa yang disebutkan di dalam al-Quran maupun as-Sunnnah.

Selain itu takwa memiliki sejumlah tanda. Di antaranya adalah yang dinyatakan oleh al-Hasan, “Orang bertakwa memiliki sejumlah tanda yang dapat diketahui, yakni: jujur/benar dalam berbicara; senantiasa menunaikan amanah; selalu memenuhi janji; rendah hati dan tidak sombong; senantiasa memelihara silaturahmi; selalu menyayangi orang-orang lemah/miskin; memelihara diri dari kaum wanita; berakhlak baik; memiliki ilmu yang luas; senantiasa ber-taqarrub kepada Allah.” (Ibn Abi ad-Dunya, Al-Hilm, I/32).

Terkait takwa pula, Zubair ibn al-Awwam pernah menulis surat yang berisi nasihat untuk dirinya. Di dalam surat itu dinyatakan, “Amma ba’du. Sungguh orang bertakwa itu memiliki sejumlah tanda yang diketahui oleh orang lain maupun dirinya sendiri, yakni: sabar dalam menanggung derita, ridha terhadap qadha’, mensyukuri nikmat dan merendahkan diri (tunduk) di hadapan hukum-hukum Alquran.” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah, I/170; Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyah Awliya’, I/177).

Semoga setelah Ramadhan ini, kita benar-benar memiliki ketakwaan paripurna, lengkap dengan segala sifat dan tanda-tanda (ciri-ciri)-nya. Amin.

Wa mâ tawfîqi illâ bilLâh. []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 × five =

Check Also
Close
Back to top button