
Ketika Neraka Sudah Penuh
(Dan ingatlah akan) hari (yang pada hari itu) Kami bertanya kepada jahannam: “Apakah kamu sudah penuh?” Dia menjawab: “Masih ada tambahan?” (QS Qaf [50]: 30).
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman:
(Ingatlah) hari (sewaktu) Kami bertanya kepada Jahanam, “Apakah kamu sudah penuh?”
Kata « يَوْمَ » (hari) yang dimaksud ayat ini adalah Hari Kiamat. Sebabnya, firman-Nya: « يَوْمَ نَقُولُ » (hari sewaktu Kami bertanya) berkaitan dengan ayat sebelumnya, yakni firman-Nya: « وَما أَنَا بِظَلاّمٍ لِلْعَبِيدِ » (Aku sekali-kali tidak menganiaya [hamba-hamba-Ku]) (QS Qaf [50]: 29).1
Pendapat lainnya mengatakan, kata yawma itu manshûb berhubungan dengan ayat sebelumnya: « مَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ يَوْمَ نَقُولُ ». Maknanya: “Tidak ada perubahan pada keputusan Allah pada hari (yang Allah bertanya).”2
Ada juga yang berpendapat bahwa kata « يَوْمَ » itu manshûb oleh al-fi’l (kata kerja) yang diperkirakan: « وَأَنْذِرْهُمْ (يَوْمَ نَقُولُ لِجَهَنَّمَ هَلِ امْتَلَأْتِ) » (sampaikanlah peringatan kepada mereka tentang hari sewaktu Kami bertanya kepada Jahanam, “Apakah kamu sudah penuh?”). Hal itu karena Allah sebelumnya telah berjanji kepada Jahanam bahwa Dia akan memenuhinya.3
Pemahaman demikian juga dikemukakan oleh Abu Bakar al-Jazairi. Katanya, maksud penggalan ayat ini adalah, “Ingatkanlah, wahai Nabi Kami kepada kaummu yang selalu dalam kesyirikan dan kemaksiatan, bahwa siksa Neraka Jahanam sedang menanti orang-orang seperti mereka. Ingatkan pula mereka tentang hari sewaktu Kami akan bertanya kepada Jahanam, “Apakah kamu sudah penuh.”4
Menurut Fakhruddin ar-Razi, istifhâm (kalimat tanya) pada firman-Nya: « هَلِ اِمْتَلَأْتِ » (Apakah kamu sudah penuh?) merupakan penjelasan untuk membenarkan firman-Nya:
Sungguh Aku akan memenuhi Neraka Jahanam (dengan jin dan manusia) (QS Hud [11]: 119).
Al-Imam al-Qurthubi juga mengatakan bahwa itu sebagai pembenaran atas pemberitahuan-Nya, penegasan janji-Nya, teguran bagi para musuh-Nya, dan peringatan untuk seluruh hamba-Nya.”5
Janji Allah SWT untuk memenuhi Neraka Jahanam dengan jin dan manusia disebutkan dalam beberapa ayat, seperti dalam firman-Nya:
Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sungguh Aku akan memenuhi Neraka Jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya (QS Hud [11]: 119).
Juga firman-Nya:
Akan tetapi telah tetaplah perkataan-Ku, “Sungguh akan Aku penuhi Neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama (QS al-Sajdah [32]: 13).
Juga firman-Nya:
Sungguh Aku pasti akan memenuhi Neraka Jahanam dengan jenis kamu dan dengan orang-orang yang mengikuti kamu di antara mereka semuanya (QS Shad [38]: 84-85).
Oleh karena itu, pertanyaan Allah SWT kepada Neraka Jahanam tersebut merupakan pembenaran dan penegasan bahwa Allah SWT telah benar-benar memenuhi janji-Nya.
Mendapatkan pertanyaan tersebut, Neraka Jahanam pun menyampaikan jawabannya sebagaimana diberitakan dalam lanjutan ayat ini:
Dia menjawab, “Masih ada tambahan?”
Ini merupakan jawaban Neraka Jahanam atas pertanyaan Tuhannya. Jawaban neraka dalam bentuk istifhâm atau kalimat tanya: « هَلْ مِنْ مَزِيدٍ » (Apakah masih ada tambahan?).
Menurut banyak mufassir, jawaban neraka dalam bentuk al-istifhâm atau kalimat tanya itu membuka peluang adanya dua penafsiran. Pertama, bermakna «’DR,N-R/P» (pengingkaran). Maknanya, “Tidak ada tempat yang tersisa untuk ditambah.” Makna ungkapan ini seperti halnya sabda Rasulullah saw.:
Apakah ‹Aqil meninggalkan tempat tinggal untuk kita (HR Ahmad dan at-Tirmidzi).
Artinya: « هَلْ تَرَكَ » (dia tidak meninggalkan). Dengan demikian makna perkataan Neraka Jahanam itu adalah al-jahd (pengingkaran).6
Kedua, bermakna « الِاسْتِزَادَة » (meminta tambahan). Artinya, Neraka Jahanam bertanya kepada Allah SWT, “Apakah ada tambahan penghuni lain. Jika ada maka tambahkanlah.”7
Artinya, setelah Jahanam penuh, dia masih tetap menginginkan tambahan lagi sebagai bentuk kemarahan kepada para ahli maksiat dan supaya dapat menghimpit mereka di dalamnya. Menurut Imam al-Qurthubi, kedua makna itu bisa dipahami dari ayat ini.8
Menurut al-Qinuji, kata « الْمَزِيدُ » bisa merupakan mashdar (yang berarti: tambahan), seperti kata « الْمَجِيدِ » (kemuliaan), sehingga maknanya: « هَلْ مِنْ زِيَادَةٍ » (apakah ada tambahan?). Bisa juga merupakan ism al-maf’ûl (artinya, yang ditambahkan), seperti kata « الْمَبِيعَ » (yang dijual), sehingga maknanya « هَلْ مِنْ شَيْءٍ تَزِيدُ ونِيهِ » (apakah ada sesuatu yang Engkau tambahkan kepadaku?).9
Para mufassir pun berbeda pendapat tentang makna yang tepat pada ayat tersebut. Ada yang memilih pendapat pertama, seperti al-Khazin. Menurut al-Khazin, pertanyaan dari Allah SWT itu untuk membenarkan berita-Nya dan merealisasikan janji-Nya. Adapun jawaban Neraka Jahanam, “Apakah masih ada tambahan?” bermakna. “Aku benar-benar telah penuh. Tak ada tempat tersisa yang belum terpenuhi.” Ini merupakan istifhâm inkârî (kalimat tanya pengingkaran).10
Menurut Ibnu Athiyah, yang mengambil berpendapat ini adalah al-Hasan. Amru dan Washil. Mereka mengatakan bahwa ayat ini bermakna al-taqrîr wa nafiyy al-mazîd (membenarkan dan menafikan tambahan). Artinya, “Apakah aku masih memiliki tempat untuk ditambahkan sesuatu?”11
As-Samarqandi juga mengatakan bahwa neraka itu berkata, “Sungguh aku telah penuh sehingga tidak bisa ditambah lagi.”12
Pendapat demikian juga dikemukakan Atha’, Mujahid dan Muqatil bin Sulaiman.13
Sebagian lainnya memilih pendapat yang kedua. Artinya, Jahanam masih meminta tambahan penghuni lainnya kepada Allah SWT. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Abu Hatim. Ibnu Abbas mengatakan bahwa Neraka Jahanam masih belum merasa penuh, lalu berkata, “Masih adakah sesuatu yang akan ditambahkan kepadaku?”
Abdurraham as-Sa’di juga mengatakan bahwa Neraka terus-menerus minta agar ditambah dari kalangan orang-orang yang berdosa dan pendurhaka dengan murka karena Tuhan-Nya dan geram terhadap orang-orang kafir. Sesungguhnya Allah SWT telah berjanji kepada Jahanam akan memenuhinya sebagaimana disebutkan dalam ayat lainnya (QS Hud [10]: 119) hingga Tuhan Pemilik kekuatan meletakkan kaki-Nya yang Mulia yang Mahasuci dari keserupaan dan melebarkan pojok masing-masing. Neraka Jahanam pun berkata, “Cukup, cukup. Aku sudah cukup dan penuh.”14
Menurut Abu Bakar al-Jazairi, jawaban Neraka Jahanam, “Masih adakah tambahan?” disampaikan setelah semua orang kafir, laki-laki dan perempuan, dari kalangan jin dan manusia, telah dimasukkan ke dalamnya. Akan tetapi, Neraka Jahanam masih meminta tambahan, seraya berkata, “Masih adakah tambahan?” Ketika tidak ada seorang pun yang tersisa yang akan dimasukkan ke dalam Neraka Jahanam, maka Tuhan Yang Mahaperkasa memasukkan kaki-Nya ke dalam neraka, lalu semua bagian-bagiannya saling mengerut dan berkata, “Cukup, cukup.” Menurut al-Jazairi, ini sebagaimana disebutkan dalam Hadis Nabi saw. riwayat al-Bukhari dan Muslim serta lainnya.”15
Ibnu Jarir ath-Thabari lebih memilih pendapat yang kedua. Neraka Jahanam meminta tambahan penghuni lagi. Artinya, Jahanam bertanya kepada Allah, “Apakah masih ada tambahan penghuni lainnya yang bisa dimasukkan?”16
Menurut ath-Thabari, pendapat ini lebih sesuai dengan berita yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda:
Ketika Hari Kiamat kelak, Allah tidak pernah menzalimi satu pun dari makhluk-Nya dan melemparkan penghuni neraka ke dalamnya, neraka bertanya, “Apakah masih ada tambahan?” Akhirnya Allah meletakkan kaki-Nya. Barulah neraka itu penuh sesak. Penghuninya saling berhimpitan satu sama lain. Neraka pun berkata, “Cukup-cukup!”17
Dari Anas ibnu Malik ra. Nabi saw. juga bersabda:
Neraka diisi oleh penghuninya. Neraka pun berkata, “Apakah masih ada tambahan?” Akhirnya Allah SWT meletakkan telapak kaki–Nya ke dalam neraka. Lalu neraka berkata, “Cukup, cukup!” (HR al-Bukhari).
Dari Anas ibnu Malik ra., Rasulullah saw. pun bersabda:
Neraka Jahanam masih terus diisi, sementara neraka terus berkata, “Apakah masih tambahan?” Hingga Tuhan Yang Mahamulia meletakkan telapak kaki–Nya ke dalamnya. Lalu sebagian dari Neraka Jahanam terpisah dari sebagian lainnya seraya mengatakan, “Cukup, cukup! Demi Keagungan dan Kemuliaan-Mu.” Di dalam surga masih terus-menerus diadakan tambahan, hingga Allah menciptakan bagi surga itu ciptaan yang lain, maka Dia menempatkan mereka (ciptaan yang lain itu) di tempat-tempat yang ditambahkan di dalam surga (HR Muslim).
Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. juga bersabda:
Surga dan neraka berdebat. Neraka mengatakan, “Aku dipilih untuk menjadi tempat bagi orang-orang yang sombong dan berlaku sewenang-wenang.” Surga berkata, “Mengapa tiada yang memasukiku kecuali hanya orang-orang yang lemah dan yang tidak terpandang?” Allah SWT berfirman kepada surga, “Engkau adalah rahmat-Ku. Dengan melalui engkau, Aku merahmati siapa yang Aku kehendaki di antara hamba-hamba-Ku.” Allah SWT berfirman kepada neraka, “Sungguh engkau hanyalah azab-Ku yang dengan melalui dirimu, Aku mengazab siapa yang Aku kehendaki di antara hamba-hamba-Ku. Bagi masing-masing dari kalian berdua, Akulah yang akan memenuhinya.” Adapun neraka masih belum merasa penuh hingga akhirnya Allah SWT meletakkan telapak kaki–Nya ke dalamnya. Barulah neraka mengatakan, “Cukup, cukup!” Saat itulah neraka merasa penuh dan sebagian darinya terpisah dengan sebagian yang lain. Allah SWT tidak akan berbuat aniaya terhadap seorang pun dari makhluk-Nya. Adapun surga, maka Allah SWT senantiasa menciptakan makhluk yang lain baginya (HR al-Bukhari).
Hadis senada juga disebutkan dalam riwayat Muslim dan Ahmad. Menurut ath-Thabari, ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa perkataan Neraka Jahannam itu bermakna al-istizâdah (meminta tambahan). Bukan bermakna an-nafî (meniadakan).18
Imam al-Qurthubi sendiri mengatakan bahwa kedua makna itu sama-sama cocok untuk memaknai jawaban neraka yang diberitakan ayat tersebut.19
Demikianlah. Ayat ini memberitakan tentang keadaan Neraka Jahanam kelak. Neraka tersebut dipenuhi dengan penghuninya. Berita itu tentu sangat mengerikan. Semestinya siapa pun harus takut dan khawatir masuk ke dalamnya. Caranya dengan menjauhi semua perbuatan yang bisa mengantarkan ke dalamnya.
WalLâh a’lam bi al-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
- Al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, 22 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 359. Lihat juga Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, vol. 7 (Riyadh: Dar Thayyibah, 1999), 403
- Al-Tsa’labi, al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur`ân, 24 (Jeddah: Dar al-Tafsir, 2015), 475. Lihat juga al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, vol. 17 (Kairo: Dar al-Maktabh al-Mishriyyah, 1964), 18. al-Qinuji, Fat-h al-Bayân fî Maqâshid al-Qurân, vol. 13 (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1992), 176
- Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17, 18
- Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, 5 (Madinah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 2000), 147
- Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17, 18
- Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17, 18
- Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17, 18
- Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17, 18
- Al-Qinuji, Fat-h al-Bayân fî Maqâshid al-Qurân, 13 (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1992), 177. Lihat juga al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1994), 92
- Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânÎ al-TanzÎl, 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 189
- Ibnu Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 165
- Al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 337
- Al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, 5, 92; al-Qinuji, Fat-h al-Bayân fî Maqâshid al-Qurân, vol. 13, 176
- Al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000), 806
- Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, 5, 147
- Al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, 22, 361
- Al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, 22, 361
- Al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, 22, 363
- Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17, 18