Seruan Kepada Rasulullaah saw. Pada Awal Kenabian (Bagian 2)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمُدَّثِّرُ ١ قُمۡ فَأَنذِرۡ ٢ وَرَبَّكَ فَكَبِّرۡ ٣ وَثِيَابَكَ فَطَهِّرۡ ٤ وَٱلرُّجۡزَ فَٱهۡجُرۡ ٥ وَلَا تَمۡنُن تَسۡتَكۡثِرُ ٦ وَلِرَبِّكَ فَٱصۡبِرۡ ٧
Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah! Lalu berilah peringatan! Tuhanmu, agungkanlah! Pakaianmu, bersihkanlah! Perbuatan dosa, tinggalkanlah! Janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak! Untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah! (QS al-Muddatstsir [74]: 1-7).
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: (وَثِيَابَكَ فَطَهِّرۡ ) (Pakaianmu, bersihkanlah). Kata tsiyâb adalah bentuk jamak dari kata ats-tsawb (pakaian). Secara bahasa, kata tersebut bermakna sesuatu yang dipakai, dikenakan.1 Thahhir merupakan fi’l al-amr dari kata thahhara yang berarti membersihkan dan mensterilkan dari najis, cacat, dan semacamnya.2 Menurut Ibnu Asyur, makna hakiki at-tathhîr (penyucian) adalah pembersihan dan penghilangan najis).3
Pemaknaan secara hakiki itu juga disampaikan para mufassir dalam menafsirkan ayat ini. Menurut Ibnu Zaid, dulu orang-orang musyrik tidak pernah bersuci. Lalu Allah SWT memerintahkan beliau untuk bersuci dan membersihkan pakaiannya.4 Ibnu Sirrin juga berkata tentang ayat ini, “Basuhlah pakaianmu dengan air!”5
Menurut Ibnu Jarir, pendapat Ibnu Sirrin dan Ibnu Zaid ini lebih jelas maknanya.6 Asy-Syaukani juga memilih penafsiran ini. Menurutnya, yang dimaksudkan ats-tsiyâb di sini adalah pakaian yang dikenakan. Dengan demikian Allah SWT memerintahkan Nabi saw. untuk mensucikan pakaian dan menjaganya dari najis serta menghilangkan dari najis yang mengenainya.7
Jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya yang memerintahkan untuk mengagungkan Allah SWT, yang salah satu bentuknya adalah mengucapkan kalimat takbir, sementara takbir merupakan pembuka shalat, maka perintah mensucikan pakaian dalam ayat ini sangat relevan. Sebab, salah satu syarat yang harus dipenuhi sebelum shalat dikerjakan adalah suci dari najis dan hadats. Menurut as-Syaukani, ayat ini merupakan dalil atas kewajiban menyucikan pakaian dalam shalat.8
Menurut Ibnu ‘Asyur, penyebutan takbir merupakan isyarat tentang pensyariatan shalat yang pembukanya adalah takbir. Kemudian diiringi dengan perintah mensucikan pakaian dalam ayat ini. Ini merupakan isyarat pensyariatan thaharah atau bersuci. Bisa jadi ini merupakan isyarat pensyariatan shalat. Sebagaimana terdapat dalam riwayat Ma’mar dari az-Zuhri, itu terjadi sebelum difardhukan shalat (HR Muslim). Dengan demikian melalui ayat ini Allah SWT memfardhukan shalat kepada beliau yang bukan shalat lima waktu. Hal ini telah disebutkan dalam riwayat bahwa beliau mengerjakan shalat di Masjid al-Haram.9
Selain memiliki makna hakiki, dua kata tersebut, yakni ats-tsiyâb (pakaian) dan at-that-hîr (pensucian) juga mengandung makna majâz atau kinâyah. Kata at-that-hîr (penyucian) secara majâzi bisa bermakna اَلتَّزْكِيَةُ (pensucian) (Lihat: QS al-Ahzab [33]: 33).10
Kata ats-tsiyâb juga mengandung beberapa makna secara majâz. Thahhir di sini adalah perintah untuk membersihkan dan mensucikan. Oleh karena itu, sebagian ulama pun memaknai dua kata tersebut, yakni ats-tsiyâb (pakaian) dan at-tahthîr (pensucian) dengan makna majâzi (tidak dengan makna sebenarnya), baik dua-duanya atau salah satunya.
Ada yang menafsirkan pakaian tersebut sebagai amal perbuatan, sedangkan mensucikan adalah dengan menjauhi perbuatan maksiat dan haram. Mujahid dan Ibnu Zaid berkata, “Amalmu, perbaikilah.”11
Penjelasan yang sama juga dikemukakan oleh Abu Rizin. Dia juga menambahkan, jika sesorang terbiasa melakukan perbuatan yang buruk, maka ia akan dikatakan pakaian yang kotor. Apabila terbiasa melakukan perbuatan yang baik, maka dikatakan pakaian yang bersih. Makna yang serupa juga disampaikan oleh as-Suddi.12
Sebagian lain menafsirkan ats-tsiyab dengan khuluq (akhlak, budi pekerti). Di antara yang berpendapat demikian adalah Muhammad bin Ka’b al-Qurazhi dan al-Hasan al-Basri. Mereka berkata, “Akhlakmu, perbaguslah!” Alasannya, akhlak manusia itu melingkupi semua keadaannya sebagaimana pakaiannya yang juga melingkupi dirinya.13
Ada pula yang memaknai ats-tsiyâb (pakaian) dengan makna hakiki, namun kata ats-tath-hîr (pensucian) dimaknai dengan majâzi. Ini sebagaimana dikatakan Ikrimah dan al-Dahhak yang berkata, “Janganlah kamu mengenakannya untuk berbuat maksiat.”
Diriwayatkan al-Ajlah al-Kindi, Ibnu Abbas ra. pernah kedatangan seorang lelaki, lalu bertanya tentang makna ayat ini, kemudian dijawab, “Janganlah kamu mengenakannya untuk maksiat dan perbuatan khianat.”14
Ibnu Abbas dalam riwayat lainnya mengatakan maksud ayat adalah: “Janganlah kamu mengenakan pakaian kecuali dari penghasilan yang halal agar bisa mensucikan dari yang haram.”
Ibnu Abbas juga berkata, “Janganlah pakaian yang kamu kenakan itu berasal dari penghasilan yang tidak suci.”15
Dikatakan pula, “Janganlah kamu kenakan pakaianmu untuk maksiat.”16
Ada pula yang mengambil semua penafsiran tersebut, sebagaimana Wahbah az-Zuhaili. Menurutnya, ayat ini memeritahkan untuk mensucikan pakaian dari najis. Sebab, mensucikan diri adalah wajib dalam shalat dan disunahkan dalam hal lainnya. Caranya adalah dengan mencuci dan menjaganya dari najis. Bisa juga bermakna, “Bersihkanlah dirimu dari perbuatan-perbuatan dan akhlak yang tercela.”17
Menurutnya, kedua makna itu benar karena sesungguhnya kesucian indrawi atau kebersihan biasanya berbarengan dengan kesucian maknawi, yakni steril dan jauh dari maksiat. Kebalikannya juga benar. Sebab, adanya kotoran berbarengan dengan banyaknya dosa.”18
Kata tsiyâbaka (pakaianmu) didahulukan dari kata thahhir (sucikanlah) berguna li al-ihtimâm (untuk menunjukkan pentingnya) dalam perintah bersuci.19
Kemudian Allah SWT berfirman: وَٱلرُّجۡزَ فَٱهۡجُرۡ (Perbuatan dosa, tinggalkanlah). Secara bahasa, kata al-hajr bermakna at-tark (meninggalkan).20 Yang diperintahkan untuk ditinggalkan dan berpaling darinya adalah ar-rujz.
Sebagian ulama membacanya dengan meng-kasrah-kan huruf ar-râ‘ (ar-rijz). Sebagian lainnya dengan men-dhammah-kannya (ar-rujz). Keduanya memiliki makna yang sama.21 Menurut Abu Ishaq, kedua kata tersebut bermakna perbuatan yang mengantarkan pada azab.22
Menurut Mahmud Shafi, makna hakiki kata ar-rujz adalah al-’adzâb asy-syadîd (azab yang sangat pedih). Namun menurutnya, dalam ayat ini bermakna penyembahan kepada berhala. Perbuatan tersebut diungkapkan dengan kata ar-rujza yang bermakna azab yang sangat pedih karena azab tersebut disebabkan oleh penyembahan berhala. Hubungan majaz tersebut adalah al-musababiyyah (akibat yang ditimbulkan).23
Penafsiran demikian juga disampaikakan oleh banyak mufassir. Menurut Ibnu Abbas ra, ar-rujz adalah al-ashnâm (patung-patung). Dengan demikian makna ayat ini adalah, “Tinggalkanlah patung-patung itu.”24 Hal yang sama telah dinyatakan Mujahid, Ikrimah, Qatadah, az-Zuhri dan Ibnu Zaid. Mereka memaknainya al-ashnâm (berhala-berhala).25
Dalil penafsiran ini adalah firman-Nya:
فَٱجۡتَنِبُواْ ٱلرِّجۡسَ مِنَ ٱلۡأَوۡثَٰنِ ٣٠
Jauhilah oleh kalian berhala-berhala yang najis itu (QS al-Hajj [22]: 30).26
Menurut al-Khazin, ayat ini bermakna: “Tinggalkanlah berhala-berhala itu dan janganlah kamu mendekatinya.”27
Abu Bakar al-Jazairi juga berkata, “Patung-patung yang disembah kaummu itu, maka jauhilah dan janganlah kamu mendekatinya. Jauhilah terus dan pertahankanlah sikapmu ini dalam dakwahmu.”28
Menurut sebagian lainnya, ar-rujz itu tidak hanya berhala, namun juga mencakup segala kemaksiatan dan perbuatan buruk lainnya. Fakhruddin mengutip penjelasan al-‘Utbi yang mengatakan bahwa makna ar-rujza adalah azab. Ini sebagaimana dalam firman-Nya:
لَئِن كَشَفۡتَ عَنَّا ٱلرِّجۡزَ لَنُؤۡمِنَنَّ لَكَ
Sungguh jika kamu dapat menghilangkan azab itu dan pada kami, pasti kami akan beriman kepadamu (QS al-A’raf [7]: 134).
Makna ar-rijza di sini adalah azab. Tipudaya setan juga disebut rijz karena menjadi sebab bagi azab. Demikian pula berhala disebut karena alasan yang sama. Atas dasar itu, maka ayat ini menunjukkan kewajiban menjauhi semua kemaksiatan.29
Penjelasan ini juga dikemukakan al-Zamakhsyari. Menurutnya, ar-rujz, naik dibaca kasrah atau dhammah, bermakna azab. Dengan makna ayat ini adalah: “Tinggalkanlah semua yang mengantarkan kepada azab, baik penyembahan kepada berhala maupun dosa-dosa lainnya. Artinya, “Keteguhan dalam meninggalkannya, sebab dia berlepas diri darinya.”30
Demikian pula al-Baidhawi Menurutnya, makna ayat ini adalah, “Karena itu tinggalkanlah azab dengan sikap teguh untuk meninggalkan semua yang mengantarkannya kepada azab, baik syirik maupun keburukan lainnya.”31
Az-Zuhaili berkata, “Tinggalkanlah patung dan berhala. Janganlah kamu menyembahnya. Karena itu adalah penyebab azab. Tinggalkan pula semua sebab dan maksiat yang mengantarkan kepada azab di dunia dan akhirat.”32
Ada juga yang menafsirkannya dengan perbuatan maksiat dan dosa. Ibrahim berkata, “Itu adalah al-itsm (dosa).”
Ad-Dahhak berkata, “Tinggalkanlah perbuatan maksiat!”33
Ibnu Jarir ath-Thabari membedakan antara yang di-kasrah-kan dan di-dhammah-kan huruf al-tâ‘. Bagi yang men-dhammah-kan huruf al-tâ‘, maknanya adalah al-awtsân (patung-patung, berhala-berhala). Dengan makna ayat ini adalah, “Tinggalkanlah penyembahan terhadap patung-patung itu dan jangan bersikap loyal kepadanya.”
Bagi yang meng-kasrah-kannya, maka maknanya adalah al-‘azâb (siksaan). Dengan demikian maknanya, “Jauhilah perbuatan yang menyebabkan kamu mendapatkan azab.”34
Menurut pendapat lainnya, kata ar-rujz adalah kata untuk menunjuk al-qabîh al-muqtadzir (sesuatu yang buruk dan kotor). Dengan demikian firman-Nya: Wa ar-rujz fa[u]hjur merupakan perintah yang menghimpun semua akhlak yang mulia. Seolah dikatakan kepada beliau, “Tinggalkanlah perangai yang kasar, jelek, dan segala hal yang buruk. Jangan pula berperangai sebagaimana perangai orang-orang musyrik yang buruk itu.”
Perintah ini relevan dengan takwil orang yang menafsirkan firman-Nya: Wa tsiyâbaka fathahhir untuk memperbaiki akhlak dan membersihkan jiwa dari kemaksiatan dan keburukan.35
Semua penafsiran itu masih dalam cakupan makna bahasa. Menurut Ibnu Manzhur bahwa ar-rijz bermakna al-qadzar (kekotoran, kenajisan), sebagaimana kata ar-rijz (kekotoran, kekejian). Bisa juga bermakna al-adzâb (azab, siksaan). Kata ar-rijz dan ar-rujz bermakna penyembahan berhala.36
Menurut Abdurrahman as-Sa’di, makna ar-rujz di sini bisa jadi adalah patung-patung dan berhala-berhala yang disembah selain Allah SWT. Kemudian Allah SWT memerintahkan beliau untuk meninggalkan dan berlepas diri darinya beserta semua yang dinisbatkan patung dan berhala itu, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Bisa pula yang dimaksud ar-rujz tersebut adalah semua perbuatan dan perkataan yang buruk. Dengan demikian, itu adalah perintah kepada Rasulullah saw. untuk meninggalkan seluruh dosa, yang kecil maupun yang besar, yang tampak maupun yang tidak, termasuk di dalamnya syirik dan dosa-dosa lain lainnya.37
Patut dicatat, larangan kepada Nabi saw. terhadap perbuatan tersebut bukan berarti beliau telah melakukannya. Perintah itu dimulai dari beliau karena beliau adalah teladan dan supaya terus-menerus menjauhi maksiat. Itu sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ ٱتَّقِ ٱللَّهَ وَلَا تُطِعِ ٱلۡكَٰفِرِينَ وَٱلۡمُنَٰفِقِينَۚ ١
Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik (QS al-Ahzab [33]: 1).
Juga dalam firman-Nya:
وَقَالَ مُوسَىٰ لِأَخِيهِ هَٰرُونَ ٱخۡلُفۡنِي فِي قَوۡمِي وَأَصۡلِحۡ وَلَا تَتَّبِعۡ سَبِيلَ ٱلۡمُفۡسِدِينَ
Telah berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun, “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS al-A’raf [7]: 142). 38
Larangan kepada Nabi saw. agar tidak taat kepada orang-orang kafir dan munafik bukan berarti beliau pernah mengerjakan. Demikian pula larangan Musa as. kepada Harun as. agar tidak mengikuti jalan orang yang membuat kerusakan bukan berarti perbuatan itu pernah dilakukannya.
Menurut Fakhruddin ar-Razi, maksud dari perintah tersebut adalah perintah untuk terus-menerus dalam meninggalkan (berhala dan perbuatan buruk tersebut). Itu sebagaimana seorang Muslim yang berdoa, “Tunjukkanlah kami.” Itu bukan berarti, “Sesungguhnya kami tidak berada di atas petunjuk, maka tunjukkanlah kami.”
Namun maknanya, “Teguhkanlah kami berada di atas petunjuk.”
Demikian pula maksud dari ayat ini.39 WaL-lâh a’lam bi al-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan Kaki:
1 Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Qahirah, al-Mu’jam al-Wasîth, vol. 1 (Kairo: Dar al-Da’wah, tt), 125
2 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah, vol. 2, 1417
3 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 297
4 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 12; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 262; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 65
5 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 12
6 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 12
7 al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 388-389. Penafsiran senada juga dikemukakan l-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 463
8 al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 389
9 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 296
10 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 297
11 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 61. Lihat juga Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 263
12 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 62. Lihat juga al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 12; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 326; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 5, 174
13 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 64
14 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 263; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 5, 174
15 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 65. Lihat juga Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 263
16 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 263
17 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 219
18 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 220
19 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 298
20 al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 389
21 al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 5, 174; Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhu, vol. 10 (Damaskus: Dar Ibn Katsir, 1995), 273ك
22 Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 4 (Beirut: Dar Shadir, tt), 348
23 Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî al-I’râb, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Rasyid, 1998), 149
24 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 264
25 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 13. Lihat juga Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 264; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 66; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 5, 174
26 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 65
27 al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tan‘zîl, vol. 4, 362
28 al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 463
29 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 699
30 al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 645
31 al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1998) , 259
32 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 220
33 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 13. Lihat juga Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 264
34 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 12
35 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 699-670
36 Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 4 (Beirut: Dar Shadir, tt), 348
37 al-Sa’di, Taysىr al-Karىm al-Rahmân, 895
38 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 220. Lihat juga Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 264; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 65
39 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 700