Eksistensi Majaz
Jumhur ulama menetapkan bahwa makna lafal baik di dalam bahasa maupun nas memuat dua jenis makna: hakikat dan majaz. Imam as-Sarakhsi (w. 483 H) di dalam Ushûl as-Sarakhsi (I/171) mengatakan, “Masing-masing dari dua jenis ini (hakikat dan majaz) ada di dalam Kalamullah, kalam Nabi saw. dan kalam orang-orang di dalam seruan (percakapan), syair-syair dan lainnya. Bahkan majaz nyaris mendominasi hakikat karena banyaknya penggunaan. Dengan majaz pula lisan pun meluas dan percakapan orang-orang di antara mereka menjadi baik.”
Imam Abu al-Muzhaffar as-Sam’ani (w. 489 H) di dalam Qawâthi’ al-Adillah fî al-Ushûl (I/269), menyatakan, “Jika telah ditetapkan kebolehan majaz di dalam al-Quran dan as-Sunnah, maka untuk setiap majaz ada hakikat, dan bukan untuk setiap hakikat ada majaz. Sebabnya, hakikat merupakan asal majaz. Jadi majaz membutuhkan adanya hakikat. Sebaliknya hakikat tidak membutuhkan majaz.”
Jumhur ulama menyatakan bahwa majaz ada di dalam bahasa maupun di dalam nas, baik al-Quran maupun as-Sunnah. Namun, ada sebagian yang mengingkari adanya majaz di dalam bahasa maupun nas (al-Quran). Ada pula sebagian yang mengakui adanya majaz di dalam bahasa, tetapi mengingkari adanya majaz di dalam al-Quran.
Keberadaan majaz di dalam bahasa sangat jelas bagi siapa pun yang memperhatian bahasa Arab. Penggunaannya telah dinukilkan dari orang-orang Arab aqhah sebagai pemilik bahasa.
Istilah majâz memang muncul belakangan ketika dilakukan sistematikasisasi ilmu, yakni mulai abad ke-3 H. Sama seperti istilah nahwu dan istilah berbagai disiplin keilmuan lainnya.
Jika majaz ada di dalam bahasa, tentu saja majaza juga ada di dalam nas al-Quran dan hadis. Sebabnya, keduanya menggunakan bahasa Arab.
Al-Quran secara riil memuat majaz. Ibnu Qudamah (w. 620 H) di dalam Rawdhah an-Nâzhir wa Jannah al-Manâzhir menilai, siapa saja yang mengingkari adanya majaz di dalam al-Quran maka dia telah sombong dan menentang.
Contoh ayat yang memuat majaz di dalam al-Quran banyak sekali. Misalnya firman Allah SWT:
يَجۡعَلُونَ أَصَٰبِعَهُمۡ فِيٓ ءَاذَانِهِم ١٩
Mereka menyumbat telinganya dengan jari-jemarinya (QS al-Baqarah [2]: 19).
Kata al-ashâbi’ (jari-jemari) secara hakikat bermakna jari-jari (tangan) secara keseluruhan. Namun, di dalam ayat ini kata tersebut digunakan pada selain makna hakikatnya, yakni digunakan pada sebagian dari jari-jari, yakni ujung jari saja. Itulah yang disumbatkan ke telinga.
Contoh lain firman Allah SWT:
فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖۖ ٩٢
(Hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman (QS an-Nisa’ [4]: 92).
Kata raqabah secara hakikat bermakna leher. Namun, dalam ayat ini digunakan secara majaz. Sebabnya, pembebasan itu untuk hamba sahaya yang Mukmin dan bukan untuk lehernya saja.
Akibat Pengingkaran/Pengabaian Majaz
Ada juga sebagian yang mengakui adanya majaz baik di dalam bahasa maupun di dalam nas syariah, tetapi aspek majaz itu tidak mendapat perhatian yang semestinya dalam memahami nas, khususnya nas al-Quran. Alasannya, al-Quran itu ayat-ayatnya saling menafsirkan atau ditafsirkan oleh hadis atau yang disebut tafsîr bil ma’tsûr. Jadi dicukupkan dengan itu.
Ada juga sebagian yang terlihat seperti “enggan dan menjauhi” penggunaan majaz dalam memahami sebagian nas syariah, khususnya al-Quran. Mereka menganggap pemaknaan dengan majaz sebagai takwil yang jauh.
Di sinilah tersimpan masalah. Pengabaian sebagian makna yang digunakan pada orang Arab untuk lafal mereka, yaitu majaz, dan bersandar pada sebagian makna lainnya untuk lafal mereka, yaitu hakikat saja, dalam memahami al-Quran, mendatangkan masalah dari dua sisi: Pertama, bisa menyebabkan terjatuh dalam dosa karena tidak memahami al-Quran dengan bahasa Arab yang dengan itulah al-Quran itu diturunkan. Ketika bersandar pada sebagian makna dalam bahasa Arab tanpa sebagian lainnya yang digunakan oleh orang Arab, yakni dengan meninggalkan atau mengabaikan makna majâzi, berarti tidak menggunakan bahasa Arab dalam memahami al-Quran. Ini menyalahi keberadaan al-Quran yang diturunkan dalam bahasa Arab.
Kedua, bisa menyebabkan terjatuh dalam kekacauan ketika memahami ayat-ayat Allah karena penelantaran sebagian dari makna-maknanya. Misalnya, dalam memahami firman Allah SWT:
وَيَبۡقَىٰ وَجۡهُ رَبِّكَ ذُو ٱلۡجَلَٰلِ وَٱلۡإِكۡرَامِ ٢٧
Tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (QS ar-Rahman [55]: 27).
Jika mencukupkan diri dengan makna hakikat lafal “al-wajhu”, misalnya, maka akan terjatuh dalam kebingungan dalam memahaminya. Sebabnya, akan didapati bahwa hakikat bahasa yang ditetapkan oleh orang Arab untuk lafal ini adalah al-wajhu (wajah) yang sudah makruf.
Padahal Allah Mahasuci dari makna-makna hakikat untuk lafal itu. Allah SWT:
لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٞۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ ١١
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (QS asy-Syura [42]: 11).
Oleh karena itu jika kita membatasi pada makna hakikat dan enggan atau mengabaikan makna majazi untuk lafal wajh[un] itu, kita akan jatuh dalam kebingungan. Di situlah bisa muncul penafsiran kedua lafal itu dengan tafsir wajhu laysa ka al-wajhi (wajah tetapi tidak seperti wajah). Ini merupakan penafsiran lafal itu dengan selain bahasa Arab. Sebabnya, lafal itu tidak ditafsirkan dengan hakikat lughawiyah yang ditetapkan orang Arab untuk lafal tersebut. Tidak ditafsirkan dengan hakikat ‘urfiyah yang sudah menjadi ‘urf orang Arab untuk lafal tersebut. Tidak ditafsirkan dengan tafsir yang dinukilkan dari Rasulullah saw., yakni dengan hakikat syar’iyah untuk lafal tersebut. Tidak pula ditafsirkan dengan majaz atau kinayah dalam bahasa Arab. Tetapi malah dikatakan, “wajhu laysa ka al-wajhi (wajah tetapi tidak seperti wajah)”.
Artinya, dengan penafsiran seperti itu, lafal itu tidak digunakan dalam ayat itu dengan makna hakikatnya. Namun sayangnya, lafal itu bukannya ditafsirkan dengan makna majazi lafal itu menurut orang Arab, malah ditetapkan maknanya yang tidak ada di dalam bahasa Arab.
Andai digunakan makna majazi untuk lafal itu, niscaya akan jelas. Lafal wajh[un], secara hakikat lughawiyah digunakan untuk menunjuk wajah yang sudah makruf. Lafal itu juga digunakan secara majaz untuk menunjuk diri seseorang dan menggungkapkan sosok seseorang itu. Orang Arab menggunakan lafal wajh[un] secara majaz pada diri seorang laki-laki karena kemuliaannya dan keagungannya. Mereka mengatakan: jâ‘a wajhu al-qawmi. Orang Arab tidak menggunakan lafal al-wajhu pada makna wajh[un] laysa ka al-wajhi.
Dengan makna majazi itu maka lafal al-wajhu dalam ayat di atas maknanya adalah Zat Allah SWT. Lalu frasa “wa yabqâ wajhu rabbika” (QS ar-Rahman [55]: 27) maknanya: tetap kekal Zat Tuhanmu, yakni Zat Allah SWT.
Tidak dikatakan ini merupakan takwil yang jauh. Sebabnya, orang Arab menggunakan lafal itu secara majaz dengan makna ini. Bahasa Arab mengharuskan makna itu sebab kata itu ada kalanya memiliki makna menurut hakikat atau majaz.
Setiap Muslim mengimani bahwa Allah SWT Mahasuci dari wajah menurut makna hakikat yang ditetapkan oleh orang Arab untuk lafal wajh[un]. Jadi makna hakikat itu terhalang. Karena itu, seperti yang djelaskan oleh Imam Fakhruddin ar-Razi di dalam Al-Mahshûl, Imam Ibnu Qudamah di dalam Rawdhah an-Nâzhir wa Jannatu al-Manâzhîr dan para ulama ushul lainnya, digunakan makna majazi lafal itu yang digunakan oleh orang Arab, dan lafal itu ditafsirkan dengan makna majazi tersebut. Sebabnya, akidah islamiyah memastikan bahwa Allah SWT tidak memiliki wajah menurut hakikat secara bahasa semisal wajah kita. Allah Mahasuci dari yang menyerupai dan mirip (QS asy-Syura [42]: 11).
Banyak lafal dalam nas syariah, al-Quran dan al-Hadis, yang makna hakikatnya terhalang untuk digunakan karena adanya indikasi yang menunjukkan keterhalangan itu. Dalam hal itu harus digunakan makna majazinya. Sebabnya, nas-nas syariah itu dalam bahasa Arab sehingga harus ditafsirkan dan dipahami menurut bahasa Arab. Artinya, ditafsirkan atau dipahami dengan makna hakikatnya, termasuk hakikat syar’iyyah. Jika makna hakikat itu terhalang maka harus digunakan makna majazinya. Nas-nas syariah itu tidak boleh ditafsirkan dan dipahami dengan selain ketentuan bahasa Arab. Hal itu menyalahi nas al-Quran dan al-Hadis yang diturunkan dalam bahasa Arab.
وَهَٰذَا لِسَانٌ عَرَبِيّٞ مُّبِينٌ
Padahal al-Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang (QS an-Nahl [16]: 103).
Hadis juga dinyatakan dalam bahasa Arab. Karena itu al-Quran dan al-Hadis harus dipahami dengan bahasa Arab dan tidak boleh dengan selain bahasa Arab. Hal itu bahkan bisa menjerumuskan dalam dosa dan kesesatan.
Olehnya itu, ketentuan bahasa Arab dan makna-maknanya, baik hakikat maupun majaz, serta penguasaannya harus diberi perhatian yang semestinya. Dengan itu kita akan bisa memahami nas syariah, al-Quran dan al-Hadis, dengan sahih dan selamat; meng-istinbath hukum syariah dan mengamalkannya; juga akan bisa menghindar dari dosa dan kesesatan.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]