Hadis Pilihan

Pahala Syahid Di Tengah Wabah

Aisyah ra. Ummul Mukminin pernah bertanya kepada Rasul tentang Tha’un. Beliau bersabda:

أَنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ فَجَعَلَهُ اللَّهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ -وفي رواية أخرى لأحمد: فَيَمْكُثُ فِي بَيْتِهِ- صَابِرًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ

Tha’un merupakan azab yang Allah timpakan kepada siapa yang Dia kehendaki dan Allah jadikan sebagai rahmat untuk kaum Mukmin. Tidaklah seorang hamba ditimpa Tha’un, lalu dia berdiam di negerinya—dalam riwayat lain oleh imam Ahmad: lalu dia berdiam di rumahnya—seraya bersabar dan mengharap ridha Allah, dia tahu bahwa tidak menimpa dia kecuali apa yang telah Allah tuliskan untuk dirinya, kecuali untuk dia semisal pahala syahid. (HR al-Bukhari dan Ahmad).

 

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani di dalam Fath al-Bârî menjelaskan, “Manthuq hadis tersebut berkonsekuensi bahwa siapa saja yang memiliki sifat-sifat yang disebutkan maka dia mendapatkan pahala syahid meskipun dia tidak meninggal karena Tha’un.”

Sifat-sifat yang dijelaskan dalam hadis tersebut adalah: Pertama, yaqa’u ath-tha’ûn (Tha’un menimpa). Ini bisa bermakna tha’un terjadi pada dirinya. Bisa juga dipahami, terjadi Tha’un di negeri (wilayah)-nya. Makna kedua ini menjadi kuat ketika hadis ini dikaitkan dengan hadits Usamah tentang larangan keluar dari negeri yang dilanda Tha’un atau masuk ke negeri itu.

Kedua, yamkutsu fî baladihi (berdiam di negerinya) dan yamkutsu fî baytihi (berdiam di rumahnya). Kedua sifat ini saling melengkapi. Tetap berdiam di negerinya dan tidak keluar. Ini sesuai yang dinyatakan di dalam hadits Usamah. Bisa juga tetap berdiam di rumahnya. Ini sejalan dengan  hadis yang menyatakan agar tidak mencampurkan yang sakit dengan yang sehat, hadis yang memerintahkan untuk menjauhi orang yang sakit menular, dan hadis yang menyatakan tidak boleh menyebabkan dharar kepada diri sendiri dan orang lain.

Sifat ini pada dasarnya berfaedah untuk memutus penularan dan penyebaran wabah. Ini yang saat ini diistilahkan physical distancing atau social distancing. Memang jika diketahui persis siapa-siapa yang sakit, merekalah yang dikarantina dengan tetap berdiam di rumahnya atau dikarantina di tempat khusus. Adapun orang yang sehat tidak perlu dikarantina. Namun, dalam kondisi tidak bisa diketahui orang yang sehat dengan orang yang sakit, apalagi orang yang tampak sehat pun sebenarnya dia pembawa penyakit (carier) tanpa dia sadari, maka tetap berdiam di rumah dan tidak keluar kecuali untuk keperluan yang mengharuskan keluar rumah lebih tepat untuk dilakukan.

Langkah orang-per orang ini akan menjadi jauh lebih efektif jika Pemerintah melakukah 3T, yakni test massal dan masif untuk mengetahui siapa-siapa yang positif dengan penyakit itu baik padanya terlihat gejalanya atau tampak sehat saja. Lalu yang positif dikarantina, dirawat dan diobati (treatment). Kemudian secara paralel dilakukan tracing (penelusuran) siapa-siapa yang pernah kontak dengan orang yang positif itu selama jangka waktu inkubasi penyakit, untuk kemudian padanya dilakukan langkah-langkah yang semestinya. Tentu saja semuanya itu harus gratis. Jika 3T (test, tracing, treatment) itu dilakukan secara paralel, cepat, massal dan masif, maka wabah akan bisa berakhir dalam waktu yang relatif cepat. Dengan begitu, jangka waktu untuk tetap berdiam di wilayah itu dan di dalam rumah juga tidak akan berlangsung lama.

Ketiga, shâbir[an] wa muhtasib[an], yakni bersabar dan mengharap ridha Allah. Bersabar, menurut al-Hafizh Ibnu Hajar maknanya yakni tidak protes dan tidak menggerutu atas terjadinya wabah itu. Sebaliknya dia menerima dan ridha terhadap qadha’ Allah SWT itu. Seraya dengan itu mengharap ridha dan pahala dari Allah SWT.

Keempat, ya’lamu anna lam yushîbhu illâ mâ kataballâh lahu, yakni yakin atau i’tiqad terhadap qadha’ Allah SWT. I’tiqad ini juga dinyatakan di dalam banyak ayat al-Quran dan hadis.

Keutamaan besar ini berlaku untuk orang yang padanya terpenuhi keempat sifat di atas:  Pertama, terkena Tha’un dan meninggal karenanya. Dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah dan riwayat ath-Thahawi, an-Nasai dan ath-Thabarani dari ‘Uqbah bin Amir, orang yang meninggal karena Tha’un termasuk syahid akhirat. Kedua, terkena Tha’un tetapi tidak meninggal karenanya. Ketiga, tidak terkena Tha’un dan meninggal selama wabah Tha’un itu melanda. Keempat, tidak terkena Tha’un dan tidak meninggal. Hal itu selama mereka memiliki sifat-sifat yang disebutkan di dalam hadits di atas. Sabda Rasul saw mitslu ajri asy-syâhid (semisal pahala orang yang syahid) mengisyaratkan kepada tiga golongan selain golongan pertama. Itu yang bisa dipahami dari manthuq hadis di atas.

Adapun dilihat dari mafhum-nya, siapa yang tidak memiliki sifat-sifat itu, maka semisal pahala syahid bisa luput darinya. Jadi orang di luar wilayah yang terjadi Tha’un, atau di wilayah yang terjadi Tha’un tetapi orang itu menggerutu dan tidak ridha dengan qadha’ Allah, atau dia malah pergi dari wilayah itu atau berkeliaran keluar dari rumahnya tanpa keperluan penting yang mengharuskan dirinya keluar rumah, maka pahala yang besar itu bisa luput darinya.

Hadis di atas memang menggunakan isim, ath-Tha’ûn, sehingga tidak bisa diberlakukan pengqiyasan terhadapnya. Namun, sifat-sifat dalam hadis di atas juga bisa terpenuhi pada kasus seperti Tha’un, yakni ketika terjadi wabah penyakit menular mematikan.

Karena itu dalam kasus wabah selain Tha’un, termasuk wabah Covid-19 saat ini, semoga keutamaan besar yang disebutkan di dalam hadis di atas atau setidaknya mendekatinya juga bisa didapatkan oleh orang yang memenuhi sifat-sifat yang disebutkan itu, yakni tetap berdiam di wilayah yang dilanda wabah itu dan tidak keluar dari wilayah tersebut;tetap  berdiam di rumah, kecuali untuk keperluan yang harus keluar rumah, seraya meyakini dan ridha terhadap qadha’ Allah terkait wabah itu, bersabar terhadapnya seraya mengharap ridha dan pahala dari Allah SWT.

Semoga Allah SWT melindungi negeri ini dan penduduknya dan segera mencabut wabah Covid-19 serta memberikan keutamaan di atas kepada siapa saja yang berhak.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman].

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twenty − 18 =

Check Also
Close
Back to top button