Pembukaan Dayeuh Pakuan Untuk Islam (Sejarah Awal Islam di Bogor Sebelum Era Kolonial, Circa 1480–1680)(Bagian Empat)
Masuknya Padjadjaran dalam Arus Politik Global Portugis – ‘Utsmaniyah
Tatkala Sri Baduga Maharaja sedang bimbang di Pakuan (Bogor), saat bersamaan, dunia internasional pada awal abad ke-16 sedang menyaksikan peristiwa-peristiwa besar.
Bangkitnya para penguasa baru di taraf adidaya sedang mencoba memenangkan konstelasi politik global dari segi agama, pengaruh dan ekonomi. Kejatuhan Andalusia dari tangan Islam pada 1492 memunculkan para pemain baru di kancah maritim internasional seperti Spanyol dan Portugis. Negara Kristen yang terakhir disebut mendapat restu dari Paus untuk menaklukkan seluruh Asia dan Afrika. Dikirimlah armada pertama Portugis yang dipimpin oleh Vasco da Gama dan berhasil mencapai India. Keberhasilan da Gama berperan besar dalam membentuk kebijakan Portugis untuk menciptakan “Negara India” (Estado da India). Ini adalah program Portugis untuk mendirikan imperium di India dan menjadikan Samudera Hindia sebagai “Danau Portugal”. Kebijakan itu mengenai imbasnya di Asia Tenggara ketika Kesultanan Malaka jatuh di bawah pasukan Alfonso de Albuquerque pada 1511.
Pergolakan juga terjadi di pusat Dunia Islam. Kesultanan Mamluk yang menaungi Khilafah ‘Abbasiyah dianggap gagal dalam mencegah kehadiran Portugis di Samudera Hindia. Mamluk juga difatwa halal untuk diperangi karena membantu musuh Islam seperti Syâh Ismâ’îl (berkuasa 1501-1524), pendiri Daulah Shafawi, yang memerangi Muslim Sunni dan bekerjasama dengan Portugis. “Xa (Syâh) Ismail,” lapor Tome Pires agak memuji, “Melakukan reformasi terhadap gereja kita, dan menghancurkan rumah-rumah milik para Moor yang mengikut (Sunnah) Muhammad.”1
Fatwa halal untuk memerangi Mamluk menerangkan, “Siapa yang membantu orang kafir maka dia kafir” (man a’âna mulhidan fa-huwa mulhid).2
Fatwa inilah yang dipegang Sultan ‘Utsmaniyah, Selim I, untuk mengalahkan Mamluk pada 1517. Dalam suratnya kepada Sultan Mamluk terakhir, Malik al-Asyraf Tumanbay II, Sultan Selim I menulis, “Saya memegang kekuasaan yang dijanjikan dari Khalifah (‘Abbasiyyah) dan para qadhi Syariah (Tawallaytu al-mulk bi-‘ahd min al-khalîfah wa min qudhât asy-syar’î).” 3
Ini menandakan bahwa kuasa Mamluk sudah tidak sah. Yang kini diharapkan ummah adalah Bani ‘Utsmaniyah. Selim I mengambil-alih Syam dan Mesir; memperlakukan al-Mutawakkil ‘Alallâh III (khalifah terakhir ‘Abbasiyyah) dengan baik dan memindahkan dirinya ke Istanbul. Ia mendapat pengakuan dari ummah Islam di Hijaz hingga India. Bahkan dalam perkembangannya, kekuasaan Selim diakui sebagai khilafah oleh penguasa Shirvan (Azerbaijan) dan Diu (Gujarat) dengan sebutan “Khilafah Adidaya” (khilâfet-i aliye)4 yang sebelumnya dipegang Bani ‘Abbasiyyah.
Kejadian-kejadian di atas tentu berdampak terhadap pergolakan di Pulau Jawa. Ketika Selim I meneruskan tugas Khilafah, kebetulan Sunan Gunung Jati Syarîf Hidâyatullâh sedang berada di Hijaz menunaikan ibadah haji.5
Dalam Hikayat Hasanuddin atau Sajarah Banten Rante-Rante6 diriwayatkan, ketika pulang ke Cirebon, Syarîf Hidâyatullâh disambangi oleh penguasa Demak yang sudah menjadi negeri Islam, Ratu Adipati Trenggana, dan beberapa ulama yang dikenal sebagai Walisongo. Salah seorang di antara mereka berkata:
Ya Makhdum Jati, sebaik-baik Tuan berwasiat, karena Tuan jua yang empunya zuriat daripada anbiya penutup dari segala Rasulullah saw, supaya Pangeran Ratu Demak memegang pada seluruh tanah Jawa sekalian itupun dengan wasiat Tuan juga adanya.’ Dan pada waktu itu juga Pangeran Ratu Demak itu dirajakannya oleh Susuhunan Gunung Jati, dan ia dinamakan Sultan Ahmad ‘Abdul ‘Arifin.7
Pendirian Negara Islam di Demak inilah yang sebelumnya dicibiri Tome Pires sebagai “kelicikan orang Moor” dalam mengambil kekuasaan di Jawa. Pengambilalihan kekuasaan serupa juga dikhawatiri Pangeran Surawisesa di Pakuan Pajajaran. Ketika melihat kemunculan Portugis, pemain baru Kristen yang menghempaskan Islam dan mendirikan kekuasaannya di Malaka sejak 1511, Pangeran Surawisesa sigap untuk menjadikannya aliansi. Tahun 1521, laporan Portugis menyebutkan bahwa seorang pangeran Sunda yang disebut Samiam (Sang Hyang, maksudnya Pangeran Surawisesa) mengirim utusan ke Malaka. Namun, pada tahun berikutnya, ketika Hendrik de Leme memimpin perutusan Portugis ke Sunda yang beribukotakan Dayo (maksudnya Dayeuh Pakuan, Bogor), ternyata Samiam sudah menjadi “Raja Sunda” (el rey de اumda).8 Sri Baduga Maharaja sudah wafat, dan Surawisesa resmi menggantikannya menjadi Raja Pajajaran. Resmi pula sikap politik kenegaraannya untuk menyerang Islam dengan menjalin aliansi bersama Kristen Portugis.
Perjanjian aliansi Pajajaran – Portugis dihelat pada 21 Agustus 1522. Isinya adalah pernyataan pihak Portugis untuk membantu Pajajaran jika sewaktu-waktu Pajajaran diserang Islam. Sebagai imbalannya, Portugis diizinkan mendirikan benteng di pelabuhan Banten, dan diberi hak untuk memperoleh lada sebanyak 350 kwintal pertahun. Perjanjian tersebut dikukuhkan oleh el Rey de اumda Samiam (Raja Sunda Sang Hyang: Surawisesa), Mandari Tadam (Mantri Dalem), Tamungo Sanque de Pate (Tumenggung Sang Adipati), Bengar, Xabandar (Syahbandar) sebagai pihak yang mewakili Pajajaran; dan Fernando de Almeida, Fransisco Anes, Manuel Mendes, Joمo Coutinho, Gil Barboza, Tome Pinto, Sebastian de Rego, dan Fransisco Diaz sebagai pihak yang mewakili Portugis.9
Masuknya Pajajaran dalam lingkaran aliansi Portugis menandakan bertambahnya mitra Portugis dalam melumatkan musuh bebuyutannya di abad ke-16 dalam tataran global: Khilafah ‘Utsmaniyah. Sepanjang abad ini, Lisbon dan Istanbul saling berperang dengan sengit dan hampir terus menerus di arena yang sangat luas, mencakup seluruh Samudra Hindia dan terbentang dari Laut Merah hingga Laut Jawa. Kedua negara sama-sama memiliki klaim paralel atas kedaulatan dunia yang universal. Pada 1499, Raja Portugis Dom Manuel menggelari dirinya sendiri sebagai “Raja Portugal, Yang Dipertuan di Guinea, dan Penguasa Penaklukkan, Navigasi, dan Perdagangan di Ethiopia, Arabia, Persia, dan India.” Sultan Selim I ketika memasuki Mesir pada 1517 mendapat gelar “Pelayan Dua Tanah Suci” (khâdimü’lharemeyn), bahkan “Khalifah di Bumi” (halîfe fi’l-arz).10
Kepemimpinan ‘Utsmaniyah mewakili Islam dan menarik Muslim sedunia untuk bersatu dan saling beraliansi. Langkah Sunan Gunung Jati yang memberikan gelar sultan kepada Trenggana juga karena terinspirasi ‘Utsmaniyah,37 dan nanti akan kita lihat, warga ‘Utsmaniyah juga terlibat dalam konstelasi di pulau Jawa. Portugis yang membawa bendera Kristus juga menarik raja-raja yang melawan Islam untuk beraliansi bersama Portugis meskipun mereka bukan sesama Kristen. Mulai dari Syi’ah Shafawi di Persia, Hindu Vijayanagar di India, Majapahit faksi Girindhra Wardhana, hingga Pakuan di bawah Surawisesa.
Singkatnya, aliansi Islam di bawah ‘Utsmaniyah bersatu atas dasar keimanan yang sama, sementara aliansi Portugis berkumpul karena kepentingan common-enemy semata. “Perang Dunia” antara Blok ‘Utsmaniyah dan Blok Portugis yang terjadi harus dipahami tidak hanya sebagai konflik atas wilayah atau sumberdaya, tetapi sebagai perjuangan yang dimotivasi secara ideologis untuk menguasai laut sendiri, dengan menarik berbagai pihak untuk beraliansi bersama mereka.11 [Bersambung]
Catatan kaki:
1 Ibid, 37.
2 Mehmet Maksudoglu, The Untold History of Ottoman, Penerjemah Wisnu Tanggap Prabowo, dkk, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2023), 192.
3 Muhammad Ibn Iyâs, Badâ’i az-Zuhûr fi Waqâ’i ad-Duhûr, (ed.) Muhammad Musthafâ, (Wiesbaden: Franz Steiner, 1960), 5:124-125. Dikutip dari Mustafa Banister, The Abbasid Caliphate of Cairo, 221.
4 Giancarlo Casale, “Tordesillas and the Ottoman Caliphate: Early Modern Frontiers and the Renaissance of an Ancient Islamic Institution”, Journal of Early Modern History 19 (2015): 503-505.
5 H.J. de Graaf dan Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Penerjemah KITLV, (Yogyakarta: Penerbit MataBangsa, 2019), 80-81.
6 Hikayat Hasanuddin adalah versi bahasa Melayu untuk Sajarah Banten Rante-Rante, salah satu versi Sajarah Banten yang berbahasa Jawa beraksara Pegon. Naskah Sajarah Banten Rante-Rante disalin pada 1906 dan dihadiahkan Bupati Serang kepada Snouck Hurgronje, kini tersimpan di Leiden. Kedua versi dalam bahasa Melayu (Hikayat Hasanuddin) dan bahasa Jawa (Sajarah Banten Rante-Rante) disunting Jan Edel pada 1938. Lihat: Jan Edel (ed.), Hikajat Hasanoeddin, 7; Titik Pudjiastuti, Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-Surat Sultan Banten, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), 243-244.
7 Redaksi Sajarah Banten Rante-Rante: “Ya tuwanku makhdum Jati, pened tuwan awasiyata, karana tuwan kang anduweni zuriat saking anbiya, panutup sakehing Rasulullah ْ, Pangeran Ratu ing Demak punika ingkang mengkurat Jawi kabeh, arep ana uga wasiyat Tuwan. Maka Pangeran Ratu jinenengaken dening Makhdum Jati Sultan Ahmad Abdul Arifin.” Jan Edel (ed.), Hikajat Hasanoeddin,102-105.
8 Ayatrohaedi, “Sunda, Pakuan, Pajajaran”, dalam Politik Agraria dan Pakuan Pajajaran, 86.
9 Ibid, 88.
10 Giancarlo Casale, The Ottoman Age of Exploration, (Oxford: Oxford University Press, 2010), 30-31. 37 H.J. de Graaf dan Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, 80-81.
11 Giancarlo Casale, The Ottoman Age of Exploration, 80-83.