Tarikh

Pembukaan Dayeuh Pakuan Untuk Islam (Sejarah Awal Islam di Bogor Sebelum Era Kolonial, Circa 1480–1680)(Bagian Lima)

Aliansi Pajajaran – Portugis pada 1522 menjadi alarm bagi Negara Islam yang telah berdaulat di Pulau Jawa: Demak. Dua tahun berikutnya, Trenggana yang kini bergelar Sultan mengirim Sunan Gunung Jati dan anaknya, Hasanuddin, ke Banten – salah satu pelabuhan penting Pajajaran. Tugas mereka adalah membebaskan (futûhât) negeri itu untuk Islam, dan membangun basis pasukan Islam di dekat titik pembangunan benteng Portugis yang dijanjikan untuk Padjadjaran, Sunda Kalapa.

Ketika utusan Portugis di bawah pimpinan Fransisco de Sa datang kembali untuk merealisasikan perjanjian dengan Padjadjaran pada Juli 1527, Sunda Kalapa sudah dikuasai pasukan Demak pimpinan Fatahillah, dengan dukungan Sunan Gunung Jati dan Hasanuddin dari arah Banten. Usaha Portugis merebut Kalapa dari genggaman para mujahid terbukti sia-sia sehingga benteng yang diharapkan Surawisesa tidak pernah berdiri.1 Sebagai tanda bahwa futûhât Sunda Kalapa sungguh penting artinya bagi Islam, kota itu diberi nama baru: Jayakarta, yang berarti Kota Kemenangan.2

 

Futûhât Pakuan Padjadjaran

Setelah meraih kemenangan di Jayakarta, Sunan Gunung Jati dan putranya, Hasanuddin, kembali lagi ke Banten yang sudah menjadi Dâr al-Islâm. Sebelum kembali ke Cirebon, Sunan Gunung Jati menjadikan Hasanuddin sebagai pelaksana hukum syariah (muthâbiqq al-ahkâm) di Banten. Hasanuddin yang kini digelari Panembahan benar-benar melaksanakan tanggung jawabnya. Naskah Sajarah Banten melaporkan, “Sejahteralah negerinya karena mengikuti syariah” (raharja kang nagari, anatakaken kang syareat). Kondisi yang berbeda dari masa sebelumnya di era Padjadjaran ini membuat “senang semua punggawa, orang gunung banyak yang datang” (suka sakehing ponggawa, wong pagunungan akeh parapti).3

 

GAMBAR 2. Baju Panglima Perang Kesultanan Cirebon yang digunakan ketika mengusir Portugis di Sunda Kalapa (Jayakarta), 1527.  Koleksi Museum Pusaka Kasepuhan Cirebon. Foto: Nicko Pandawa.

 

Prinsip syariah sungguh-sungguh dijalankan oleh Panembahan Hasanuddin dari aspek dalam negeri dan tentu menjadi kabar harum ke luar negeri. Orang-orang Abung yang mendiami Lampung di Sumatra Selatan mendengar era baru negeri tetangganya yang “sejahtera negerinya karena mengikuti syariah”. Sebagian dari kaum Abung mengirim utusan ke Banten untuk menyelesaikan konflik di antara pemimpin-pemimpin Lampung.4

Panembahan Hasanuddin segera menyiapkan ekspedisi ke Lampung yang diamalkan atas asas politik luar negeri Islam: dakwah dan jihad. “Setelah sampai di Lampung lalulah diselamkannya (diislamkan) orang Lampung,” naskah Hikayat Hasanuddin mengabarkan, “ada yang diselamkannya dengan perang dan ada yang diselamkannya dengan suka sendirinya.”5

Sementara itu, Surawisesa di Pakuan telah kosong harapannya karena aliansi Padjadjaran dengan Portugis sudah hancur. Dua kota pelabuhannya yang paling penting di Banten dan Sunda Kalapa pun sudah di-futûhât oleh kaum Muslim. Takhta Padjadjaran dikepung di pedalaman Pakuan tanpa mempunyai koneksi lagi ke pesisir. Sunan Gunung Jati Syarîf Hidâyatullâh membaca situasi tersebut dan menganggapnya sebagai kesempatan emas untuk mem-futûhât “kepala ular” seluruh administrasi politik Kerajaan Padjadjaran: Ibukota Pakuan. Segera saja Sunan Gunung Jati memberi masukan penting kepada anaknya, Panembahan Hasanuddin, untuk memanfaatkan momentum:

“Ki Mas, inilah saatnya menyerbu lagi/ke pegunungan. Jangan ada yang ketinggalan, sudah diizinkan Yang Maha Kuasa. Ini saatnya kalah, apesnya kaum kuffâr itu. Jangan lupa Ki Mas, buatlah kota yang baik/dan di gunung yang akan diserbu itu, buatlah pertapaan yang indah.” (Ki Emas iki sedheng mangsya ika, anglurugi ika malih/ing pagunungan aja kantun, ewus idining Yang/Widhi, iki mangsyaning akalah, apesing kupar puniki, lan aja kurang Ki Emas, agawe patana adi/ing gunung pinangka iku, gawanen patapa adi).6

Ini adalah nasihat Sunan Gunung Jati yang menyiratkan kapasitas beliau sebagai negarawan (siyâsiyyûn) yang mumpuni membaca konstelasi politik. Nasihat itu juga bermakna ultimatum kepada negara Padjadjaran karena Surawisesa mencoba bekerjasama dengan Portugis untuk menghalang-halangi dakwah Islam. Walau menyarankan anaknya untuk menyerbu dan mem-futûhât Pakuan, Sunan Gunung Jati tidak menyuruh untuk “menghancurkan” atau “membumihanguskan” Pakuan sebagaimana narasi hari ini yang populer di media massa atau buku-buku sejarah. Justru Sunan Gunung Jati menekankan Panembahan Hasanuddin agar setelah sukses di-futûhât, Pakuan jangan sampai dihancurkan; melainkan “dibuat kota yang indah di gunung yang akan diserbu itu” (agawe patana adi ing gunung pinangka iku) dan “dibuat pertapaan yang indah” (gawanen patapa adi). Jadi keliru kalau dikatakan Banten menghancurkan Pakuan (Bogor). Justru politik syar’î Sunan Gunung Jati dan Panembahan Hasanuddin adalah agar setelah di-futûhât, Pakuan dijadikan “kota yang indah” dan “pertapaan” alias pesantren, pondok, zawiyah, atau mudahnya: pusat keilmuan Islam (dayeuh ulama).

Panembahan Hasanuddin mengerahkan usaha besar-besaran untuk futûhât Pakuan. Komposisi pasukan Panembahan Hasanuddin terdiri dari gabungan tentara Banten, Cirebon, Jayakarta, Demak dan Lampung. Tidak tanggung-tanggung, jumlah pasukan yang terkumpul mencapai 56.000 pasukan.7

Sajarah Banten dan Hikayat Hasanuddin mengabarkan, di antara kepala pasukan ada nama-nama seperti Utama Diraja, Ki Mahapatih, Senopati Demak (Jawa), Kanduruhan Pasai (Aceh, Fatahillah?), Dipati Teguhsela, Raja Balo dan Punggawa Lampung, Khatib Panjang, Ngabehi Menteri, Syahbandar Keling (Bangladesh) dan Ki Jong Jo (mualaf Sunda). Jenderal yang memimpin pasukan besar multi-nasional itu adalah anak dari Panembahan Hasanuddin sendiri: Maulânâ Yûsuf. Di sisinya ada seseorang yang digelari Maulânâ Judah, datang ke Banten dari Cirebon atas perintah Sunan Gunung Jati Syarîf Hidâyatullâh.8  [Bersambung]

 

Catatan kaki:

1        Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII, 60-61; Ayatrohaedi, “ Sunda, Pakuan, Pajajaran”, dalam Politik Agraria dan Pakuan Pajajaran, 88-89.

2        H.J. de Graaf dan Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, 202.

3        Sajarah Banten, Pupuh Durma (no. XVIII) bait 51, 110. Dari Naskah G (LOr 7389) dalam Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2015), 281.

4        Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten: Sumbangan Bagi Pengenalan Sifat-Sifat Penulisan Sejarah Jawa, (Jakarta: KITLV dan Djambatan, 1983), 130.

5        Redaksi Sajarah Banten Rante-Rante: “Punika Panembahan ratu kesah dateng Lampung, kang rencang raja Balo, anelamaken kang saweneh kalayan aperang, kang satengah kalayan kayunipun dewek, pun Raja Balo kalayan karsane dewek Islam.”  Jan Edel (ed.), Hikajat Hasanoeddin, 50-51.

6        Sajarah Banten, Pupuh Kinanthi (no. XIX) bait 4-6, 111-112. Dari Naskah G (LOr 7389) dalam Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, 282-283.

7        Lihat tabel 1.

8        Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten, 37; Sajarah Banten, Pupuh Kinanthi (no. XIX) bait 8-10, 112. Dari Naskah G (LOr 7389) dalam Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, 283; Jan Edel (ed.), Hikajat Hasanoeddin, 50-52.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seventeen + 11 =

Back to top button