
Mengimani Hari Kiamat
Hari Kiamat adalah hari saat kehidupan di dunia berakhir dan kehidupan di akhirat dimulai. Hari Kiamat juga disebut Hari Akhir (Yawm al-Âkhir) atau As-Sâ’ah. Mengimani keberadaan Hari Kiamat erat kaitannya dengan mengimani keberadaan Allah SWT. Ada 19 tempat dalam al-Quran yang menyandingkan keimanan kepada Allah dengan keimanan pada Hari Akhir. Ini menunjukkan pentingnya kedudukan iman pada Hari Kiamat.
Makna Mengimani Hari Kiamat
Mengimani keberadaan dan kepastian Hari Kiamat bukan sekadar meyakini bahwa kehidupan dunia akan berakhir, namun juga mengimani Hari Kebangkitan (Yawmul Ba’ts). Semua yang ada di dunia akan mati, kemudian Allah SWT akan menghidupkan lagi yang mati. Allah SWT akan mengumpulkan tulang-belulang mereka yang hancur berserakan. Allah SWT akan mengembalikan jasad-jasad seperti sedia kala dan Allah mengembalikan kepada jasad-jasad itu ruhnya masing-masing. Allah SWT berfirman:
Kemudian, sesungguhnya kalian akan dibangkitkan (dari kubur-kubur kalian) pada Hari Kiamat (QS al-Mu’minum [23]: 16).
قَالَ مَن يُحۡيِ ٱلۡعِظَٰمَ وَهِيَ رَمِيمٞ ٧٨ قُلۡ يُحۡيِيهَا ٱلَّذِيٓ أَنشَأَهَآ أَوَّلَ مَرَّةٖۖ ٧٩
Ia berkata, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur-luluh?” Katakanlah, “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama.” (QS Yâ sin [36]: 78-79).
Termasuk mengimani Hari Kiamat adalah keyakinan bahwa manusia akan diberi kitab (catatan amal)-nya masing-masing pada Hari Kiamat. Orang-orang Mukmin yang baik akan diberi kitabnya dari sebelah tangan kanan mereka, diberi hisab yang ringan dan diberi berbagai kenikmatan (QS al-Haaqah [69]: 19-24). Sebaliknya, orang-orang durjana akan diberi kitabnya dari sebelah tangan kiri mereka. Allah SWT berfirman:
Adapun orang yang diberi kitabnya dari sebelah kirinya, dia berkata, “Duhai, alangkah baiknya kiranya aku tidak diberi kitabku (ini). Aku tidak mengetahui hisab apa terhadap diriku. Duhai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberikan manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku dari diriku.” (Allah berfirman), “Peganglah dia. Lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala.” (QS al-Haqqah [69]: 25-31).
Mengimani Hari Kiamat juga meliputi keyakinan bahwa surga itu benar dan neraka itu benar. Surga adalah tempat yang diciptakan untuk orang-orang yang beriman. Sebaliknya, neraka adalah tempat orang-orang kafir dan orang-orang yang lebih banyak keburukannya. Allah SWT berfirman:
Tidak ada yang masuk ke dalamnya, kecuali orang-orang yang paling celaka, yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman). Kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu (QS al-Lail [92]: 15-17).
Akan masuk neraka orang-orang yang Allah kehendaki dari golongan kaum Muslim yang lebih banyak dosa besarnya dan kejahatannya dibandingkan dengan dosa kecil dan kebaikan-kebaikannya. Kemudian mereka akan dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga.
Termasuk meyakini keberadaan surga adalah yakin bahwa kenikmatan surga itu riil, bisa dirasakan. Para penghuni surga makan, minum, berhubungan badan, berpakaian dan bersenang-senang (QS al-Waaqi’ah [56]: 17-24). Begitu juga neraka. Azabnya adalah riil dan dapat dirasakan. Ini misalnya dinyatakan dalam firman Allah SWT:
Kemudian sesungguhnya kalian, hai orang yang sesat lagi mendustakan, benar-benar akan memakan pohon Zaqqum, dan pohon Zaqqum itu akan memenuhi perut kalian. Sesudah itu kalian akan meminum air yang sangat panas. Lalu kalian minum seperti unta yang sangat kehausan (QS al-Waqi’ah [56]: 51-55).
Kapan Kiamat Terjadi?
Kiamat akan terjadi. Itu adalah bagian dari keyakinan. Mengingkari Hari Kiamat berarti kafir. Hanya saja, terkait kapan Kiamat terjadi, al-Quran dan as-Sunnah yang shahih tidak menyebut hitung-hitungannya secara jelas. Adanya perhitungan sebagian ulama yang menyatakan bahwa umur umat Islam maksimal 1500 tahun, sehingga tinggal tersisa 41 tahun saja, itu hanyalah dugaan semata. Imam Ibnu Rajab al-Hanbali menyatakan:
Adapun lamanya sisa umurnya sampai Hari Kiamat, tidak ada seorang pun yang tahu dengan sebenarnya kecuali Allah SWT. Apa saja yang disebut dalam (pembahasan) yang demikian hanyalah merupakan perkiraan-perkiraan yang tidak berfaedah kepastian.
Imam as-Sakhawi (w. 902 H) juga mengkomentari riwayat-riwayat yang menunjukkan hitungan kapan Kiamat terjadi:
Setiap riwayat yang menyebutkan batasan Hari Kiamat dengan ta’yiin (penetapan/penentuan), adakalanya tidak ada asalnya… atau tidak kuat sanadnya.
Yang lebih penting dari membahas kapan Hari Kiamat terjadi, atau kapan umat Islam akan berakhir, adalah membahas amal apa yang telah kita persiapkan untuk bekal di Akhirat kelak. Dari Anas ra., dia berkata: Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang Kiamat. Ia berkata, “Kapan Kiamat terjadi, ya Rasulullah?” Rasul saw. berkata, “Apa yang telah engkau siapkan untuk menghadapi Kiamat tersebut?” Laki-laki itu berkata, “Aku tidak menyiapkan apa pun kecuali sesungguhnya aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Rasul saw. berkata, “Engkau bersama apa yang engkau cintai.” (HR Muttafaq ‘Alaih).
Kiamat, Khilafah dan Palestina
Sebagian orang menolak membela Palestina, menolak pula ide tentang khilafah dengan alasan, “Jika Palestina menang, atau Khilafah tegak, maka Hari Kiamat semakin dekat.” Ini adalah bentuk kekacauan berpikir, mengkontradiksikan kewajiban dengan akidah.
Makin dekatnya Hari Kiamat itu adalah satu kepastian, sebagaimana seseorang yang hidup akan makin dekat dengan ajalnya, tanpa memandang apa yang dia lakukan. Menegakkan Khilafah adalah satu kewajiban. Begitu pula membela Palestina. Jika kewajiban ini diperjuangkan dengan ikhlas dan benar, itu akan menjadi bekal kehidupan setelah Hari Kiamat kelak. Sebaliknya, ketika seseorang enggan berupaya melaksanakan kewajiban ini, bukan berarti Hari Kiamat akan tertunda. Apa yang telah Allah gariskan tetaplah akan terjadi. Allah lalu akan memilih orang-orang lain yang akan melaksanakan kewajiban tersebut, sementara orang yang enggan akan menuai buah keengganannya tersebut pada Hari Akhir.
Pengaruh Keimanan pada Hari Kiamat
Keimanan pada Hari Kiamat, jika merasuk dalam diri seseorang dan selalu dia sadari, akan mengerem seseorang dari mengumbar hawa nafsu maksiat. Ini karena dia sadar bahwa setiap kemaksiatan akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di Akhirat. Selain mengerem dari maksiyat, keimanan pada Hari Kiamat akan mendorong seseorang untuk memperbanyak ketaatan kepada Allah SWT sebagai bekal untuk kehidupan kekal abadi. Dia akan berusaha menjaga hati/sikap, perbuatan, termasuk perkataan. Rasulullah saw. bersabda:
Siapa saja yang mengimani Allah dan Hari Akhir, maka berkatalah yang baik atau diamlah! (HR al-Bukhari dan Muslim).
Ini berarti seseorang harus berpikir serius sebelum berbicara. Dia harus memastikan bahwa apa yang akan dia ucapkan adalah hal yang baik, bermanfaat dan diridhai oleh Allah SWT. Dia tidak akan mengeluarkan ucapan yang Allah murkai. Dia tidak akan menentang syariah-Nya, memprovokasi dakwah dan semisalnya meskipun itu menguntungkan dirinya secara materi. Dia akan mengatakan kebenaran meskipun pahit dan di bawah tekanan makhluk. Ini karena dia sadar bahwa Allah SWT lebih Perkasa dan di akhirat lebih keras siksa-Nya. Demikian sebagaimana Imam an-Nawawi, saat diancam oleh sulthan karena beliau mengkritik kebijakannya, dengan tegas menyatakan:
Adapun aku, maka ancaman itu, bahkan yang lebih besar dari ancaman tersebut, tidak akan mendatangkan madarat kepadaku, dan tidak pula menghalangi aku untuk memberikan nasihat kepada penguasa. Ini karena aku yakin bahwa menasihati penguasa itu wajib bagiku dan juga wajib bagi orang lain. Sementara itu, risiko dari melaksanakan kewajiban itu adalah kebaikan dan tambahan kebaikan di sisi Allah SWT.”
Keyakinan akan keberadaan Hari Kiamat dapat membuat manusia memiliki tujuan hidup yang jelas dan jauh ke depan, yakni tujuan sampai ke negeri akhirat. Hal ini akan menentukan jalan ataupun langkah apa yang akan ditempuh semasa hidup di dunia, sembari mempertimbangkan setiap risiko yang akan dia terima dari pilihan-pilihan hidupnya, baik risiko di dunia maupun risiko di akhirat. Semua itu dia pandang sebagai bekal untuk hidup di akhirat.
WalLâhu a’lam. [M. Taufik NT]