
Standar Perbuatan dan Kemaslahatan
Untuk mengetahui lurus-tidaknya suatu benda fisik—baik itu kayu, tiang, ataupun yang lain—kita memerlukan alat ukur/standar. Alat/standar ini mestilah lurus. Pasalnya, sesuatu yang bengkok, jika dijadikan standar, tentu hasilnya akan bengkok pula. Begitu juga lurus-tidaknya hal-hal non fisik, baik itu pemikiran, agama dll, juga memerlukan standar.
Alat ukur/standar atas hal-hal fisik yang umumnya mudah disepakti oleh manusia karena masuk dalam kategori sains yang diserahkan kepada manusia itu sendiri untuk mereka nilai. Namun, untuk hal-hal yang non-fisik, karena keterbatasan indra/akalnya, manusia tidak mampu melihat kebaikan atau keburukan hakiki dan tidak mengetahui masa depan serta akibat dari perbuatannya. Akibatnya, dalam konteks ini, manusia sering berbeda pendapat.
Perbuatan manusia, dari sisi terpuji-tercela, yang berakibat pahala dan siksa, bukanlah sesuatu yang bersifat fisik. Hakikatnya berada di luar jangkauan akal manusia. Islam telah menetapkan bagi manusia suatu standar (miqyâs) untuk menilainya. Standar tersebut tidak lain adalah syariah yang bersumber dari al-Quran, as-Sunnah serta yang ditunjukkan oleh keduanya. Jika syariah menilai perbuatan itu terpuji maka itulah yang terpuji. Sebaliknya, jika syariah menilai perbuatan itu tercela maka itulah yang tercela. Standar ini bersifat abadi. Tidak akan berubah karena perubahan zaman dan tempat. Allah SWT berfirman:
Segala pujian milik Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya al-Kitab (Al-Qur’an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya, sebagai bimbingan yang lurus… (QS al-Kahfi []: 2).
Terkait ini, Imam at-Thabari menyatakan:
Allah, Tuhan Yang Mahatinggi, mengabarkan kepada kita bahwa Dia telah menurunkan al-Kitab kepada Nabi Muhammad saw. Sebagai kitab yang lurus. Tidak ada perselisihan dan pertentangan di dalamnya. Bahkan sebagiannya membenarkan dan bersaksi untuk sebagian lainnya. Tidak ada yang bengkok di dalamnya dan tidak ada yang menyimpang dari kebenaran.1
Kebengkokan yang dimaksud adalah kebengkokan non-fisik. Imam al-Qurthubi menyatakan:
‘Iwaj (dengan kasrah pada ‘ayn) adalah kebengkokan dalam agama, pendapat, urusan dan jalan.2
Karena itulah standar atas benar-salah, baik-buruk, terpuji-tercela yang hakiki hanyalah syariah. Imam as-Sarakhsi (w. 483 H) menyatakan:
Apa saja yang benar-benar terpuji adalah apa saja yang dinilai terpuji oleh Syariah. Apa saja yang benar-benar tercela adalah apa saja yang dinilai tercela oleh syariah.3
Kekeliruan Standar Perbuatan
Saat syariah diabaikan, lalu akal yang dijadikan sebagai standar, maka akan terjadi kekacauan dan ketidakpastian. Suatu perkara dianggap terpuji pada suatu keadaan, namun tercela pada keadaan yang lain; dipuji pada masa sekarang, dicela keesokan harinya; dipandang terpuji di suatu negeri, tetapi dicela di negeri lain. Jika demikian, hukum atas segala sesuatu menjadi tidak jelas dan berubah-ubah. Akibatnya, pujian dan celaan adalah sesuatu yang nisbi, bukan lagi hakiki. Banyak yang akhirnya justru menjadikan perilaku umat lain sebagai patokan standar dalam bertingkah laku. Demikian sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
“Sungguh kalian akan mengikuti cara/gaya hidup orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Bahkan seandainya mereka masuk dalam lubang biawak sekalipun, kalian akan ikut masuk.” Kami (para Sahabat) berkata, “Wahai Rasalullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Di antara manusia ada yang terasuki kapitalisme sehingga menjadikan manfaat materi sebagai standar. Asalkan sesuatu itu bermanfaat menurut pandangannya dan tidak merugikan orang lain, maka sesuatu itu akan dipandang baik. Ia merasa bebas melakukan apapun asalkan tidak mengganggu orang lain dan ketertiban umum. Bagi mereka pacaran, berduaan dengan lain jenis, bahkan berzina sah-sah saja asal suka sama suka. Bagi negara yang memakai standar yang tidak syar’i ini, lokalisasi perjudian, pelacuran, menjamurnya pabrik miras akan dianggap sebagai hal biasa. Bahkan di Eropa anak gadis yang umurnya lebih dari 17 tahun bebas kencan dan berhubungan seksual dengan siapa yang dia sukai. Orangtuanya yang melarang dia justru akan dikatakan melanggar HAM.
Ada yang menjadikan suara mayoritas sebagai standar. Dalam musyawarah, suara mayoritas dianggap sebagai suara ‘Tuhan’. Dengan alasan ini, akhirnya justru firman Tuhan banyak yang dilecehkan, aturan syariah dipinggirkan dan dianggap membahayakan. Aturan Tuhan hanya boleh dilaksanakan jika disepakati oleh mayoritas. Apa yang sudah menjadi tradisi masyarakat banyak akan dikatakan sebagai kebaikan meski tidak sejalan dengan hukum syariah.
Ada yang menjadikan perkataan orang/pemimpin/tokoh yang mereka kagumi sebagai standar. Kebenaran selalu ada jika dan hanya jika dilegitimasi oleh tokoh mereka, walaupun menyalahi al-Quran, as-Sunnah maupun Ijmak Sahabat. Terkait ini Imam al-Ghazali berkata:
Ketahuilah bahwa siapa pun yang mengenali kebenaran melalui orang-orang, dia akan tersesat dalam labirin kesesatan. Karena itu kenalilah kebenaran itu maka Anda akan mengenal orang yang benar itu.4
Ketika standar perbuatan adalah seperti yang tersebut di atas, maka wajar jika banyak orang melakukan perbuatan-perbuatan tercela, namun mereka sangka sebagai perbuatan terpuji. Sebaliknya, mereka meninggalkan perbuatan terpuji karena merasa itu tercela.
Sebagai contoh, seorang wanita Muslimah yang keluar rumah dan berkeliaran di jalan-jalan dengan enaknya menampakkan ‘keindahan’ dan kecantikannya. Di antara mereka ada yang menyangka bahwa tindakannya itu sebagai sesuatu yang baik, sesuai dengan zaman, bahkan ibadah karena memperlihatkan ‘indahnya’ ciptaan Tuhan. Demikian pula ada seorang tokoh Islam yang alim dan wara’, tetapi dia menolak untuk memperingatkan umat menyangkut kebijakan penguasa yang rusak dan sistem kehidupan yang jauh dari garis wahyu. Alasannya, hal itu termasuk urusan politik yang menurut dia termasuk dalam perbuatan yang buruk. Meskipun begitu, di sisi lain dia terlibat politik praktis meski tanpa mengucapkan kata “politik”. Sesungguhnya wanita tersebut, juga ‘tokoh’ ini, dua-duanya telah terjerumus dalam kekeliruan. Pasalnya, keduanya tidak menjadikan syariah sebagai standar bagi amal perbuatan mereka.
Hukum Syariah Pasti Maslahat
Allah SWT berfirman:
Tidaklah Kami mengutuskan engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Maksud ayat di atas adalah bahwa Rasulullah saw. telah datang dengan membawa syariah yang mengandung maslahat bagi manusia. Imam al-Baidhawi (w. 685 H) menyatakan:
Karena sesungguhnya risalah (syariah) yang dengan itu engkau (Muhammad saw.) diutus adalah sebab bagi kebahagiaan dan kebaikan kehidupan (dunia) mereka dan kebaikan tempat kembali (akhirat) mereka.5
Maksud dari “rahmat” adalah membawa manfaat bagi manusia atau menjauhkan madarat dari dirinya. Inilah yang disebut “maslahat”. Sebabnya, arti dari maslahat adalah membawa kemanfaatan dan mencegah kerusakan.
Penentuan apakah sesuatu itu maslahat atau tidak adalah wewenang syariah semata. Yang dimaksud maslahat di sini adalah kemaslahatan manusia dalam kapasitasnya sebagai makhluk. Bahkan yang dimaksud dengan maslahat bagi individu adalah kemaslahatannya berkenaan dengan sifatnya sebagai “manusia”, bukan keberadaannya sebagai individu (pribadi).
Memang, akal dapat menduga apakah sesuatu itu mengandung manfaat atau mafsadat untuk dirinya, tetapi ia tidak mungkin menentukan hal itu dengan pasti dan rinci. Kemaslahatan hakiki tidak terjangkau oleh akal, sebab akal manusia memiliki kemampuan yang terbatas. Ia tidak mampu menetapkan apa yang menjangkau zat dan hakikatnya selaku manusia. Kadangkala manusia menyangka sesuatu itu mengandung maslahat, tetapi ternyata tidak demikian. Berarti ia telah menetapkan bahwa sesuatu itu mafsadat untuk manusia, sedangkan ia menganggap itu maslahat. Akibatnya, terjerumuslah manusia ke dalam malapeteka. Sebaliknya, kadangkala ia menyangka bahwa sesuatu itu adalah mafsadat, kemudian terbukti hal itu sebaliknya. Di sini ia telah menjauhkan kemaslahatan dari diri manusia, karena ia menganggap itu sebagai mafsadat. Akibatnya, ia ditimpa kemadaratan karena menjauhkan maslahat dari kehidupannya.
Sebagai contoh, kebijakan satu anak di Cina, yang dianggap maslahat dan diberlakukan dari tahun 1979 hingga 2015, akhirnya dianggap buruk karena memiliki beberapa dampak negatif yang signifikan, antara lain populasi yang menua dengan cepat, yang menciptakan tekanan pada sistem perawatan kesehatan dan pensiun, serta mengurangi jumlah tenaga kerja produktif.
Hanya Allahlah Yang mampu menjangkau hakikat manusia. Sebabnyam Dialah Yang menciptakan manusia. Hukum-hukum syariah pada dasarnya adalah untuk memudahkan manusia dan memberikan kemaslahatan hidup mereka, meskipun akal manusia saat ini cenderung menganggapnya merugikan.
Misalnya hukum qishâsh yang ditolak dan dianggap sebagai pelanggaran HAM, Allah SWT justru menyatakan dalam firman-Nya:
Dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 179).
Realitas membuktikan bahwa saat ini pembunuhan merajalela, bukan hanya di medan perang, namun di negeri yang “damai” sekalipun. Hal ini karena sebagian manusia (penjahat-penjahat), kalau hukuman pembunuh hanya ditetapkan sekedar masuk penjara beberapa tahun, tidaklah mereka akan jera malah ada yang ingin masuk penjara untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan dengan cuma-cuma. Setelah keluar penjara mereka bisa jadi melakukan pembunuhan lagi. Terkait ayat di atas, Imam al-Qurthubi menyatakan:
Jika kisas dilakukan dan hukumnya terealisasi maka siapa saja yang ingin membunuh orang lain akan terhalang karena takut pembalasan akan diambil dari dirinya. Dengan demikian mereka berdua (calon pelaku dan korban) akan hidup.6
Jadi maslahat harus didasarkan pada syariah, bukan pada akal. Ia senantiasa menyertai syariah. Di mana ada syariah, di situ pasti ada maslahat. Sebabnya, syariahlah yang menentukan kemaslahatan bagi mansusia selaku hamba Allah SWT.
WalLâhu a’lam. [M. Taufik NT]
Catatan kaki:
- Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi Al-Bayân Fî Ta’wîl al-Qur’ân, Pentahkik. Ahmad Muhammad Syakir, Cet. I. (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2000), Juz 17, h. 591–592.
- Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr al-Qurthuby, Al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Pentahkik. Ahmad Barduni dan Ibrahim Athfisy (Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyah, 1964), Juz 10, h. 352.
- Imam as-Sarakhsi, Ushûl As-Sarakhsi (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th), Juz 2, h. 65.
- Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya‘ ’Ulumiddin (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th), Juz 1, h.23.
- Nashiruddin Abu Said Abdullah bin ‘Umar al-Baidhawi, Anwâr At-Tanzîl Wa Asrâr at-Ta’wîl, Pentahkik. Muhammad Abdurrahman al-Mar’asyali, Cet. I. (Beirut: Dâr Ihya al-Turats al-Arabi, 1418), Juz 4, h. 62.
- Qurthuby, Al-Jâmi’, Juz 2, h. 256.


