
Geopolitik Cina dan Posisi Umat Islam
Dominasi Amerika Serikat sebagai kekuatan global tunggal pasca-Perang Dingin mulai menurun. Terutama sejak krisis keuangan 2008 yang mengguncang kepercayaan dunia terhadap kepemimpinannya. Disertai dengan polarisasi politik dalam negeri, krisis kepercayaan publik dan meningkatnya ekstremisme ideologis, posisi AS kian melemah. Pada saat yang sama, Tiongkok bangkit sebagai kekuatan alternatif melalui pertumbuhan ekonomi yang konsisten dan ekspansi geopolitik, menandai transisi dunia menuju tatanan multipolar.
Di tengah pergeseran ini, Dunia Islam—dengan kekayaan sumber daya, jumlah penduduk besar dan posisi geografis strategis—memiliki potensi untuk mengambil peran lebih besar dalam percaturan global. Namun kenyataannya, negeri-negeri Islam masih belum mampu memanfaatkan momentum ini, terhambat oleh konflik internal, ketergantungan ekonomi dan lemahnya kerjasama regional.
Diperlukan kajian strategis dan multidisipliner untuk menakar peluang kebangkitan peradaban Islam dalam konteks tatanan global yang baru. Kajian ini harus berbasis data dan sejarah. Tentu agar umat Islam dapat merumuskan langkah nyata untuk menjadi kekuatan yang berarti dalam menciptakan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.
Pergeseran Kekuatan Ekonomi Global
Dalam dua dekade terakhir, Republik Rakyat Tiongkok mencatat pertumbuhan ekonomi yang pesat, yang menjadikan dirinya kekuatan utama dalam ekonomi global. Melalui strategi pembangunan jangka panjang sejak reformasi akhir 1970-an, Tiongkok (Cina) berhasil mengentaskan kemiskinan massal, mengembangkan sektor industri dan teknologi, serta memperkuat posisi manufakturnya.
Hasilnya, Cina kini melampaui Amerika Serikat dalam Produk Domestik Bruto (PDB) berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP), yaitu metode yang mencerminkan daya beli riil masyarakat. Meski secara nominal AS masih unggul, dominasi ekonomi global mulai bergeser ke arah multipolar, dengan Cina sebagai poros utama baru. Data dari kedua negara berikut ini memperlihatkan tren pergeseran keseimbangan ekonomi dunia ke kawasan Timur.
Tabel 1:
Perbandingan GDP Nominal dan PPP (Triliun USD)
| Tahun | GDP Nominal | GDP PPP | ||
| AS | China | AS | China | |
| 2000 | 10.0 | 1.2 | 10.0 | 2.5 |
| 2003 | 12.5 | 2.2 | 12.7 | 4.6 |
| 2006 | 14.6 | 4.3 | 14.8 | 7.2 |
| 2009 | 16.7 | 6.1 | 16.5 | 10.1 |
| 2012 | 18.2 | 8.5 | 18.4 | 14.3 |
| 2015 | 21.0 | 11.2 | 21.0 | 21.1 |
| 2018 | 23.3 | 13.9 | 23.0 | 26.2 |
| 2021 | 25.5 | 16.0 | 25.0 | 29.5 |
| 2024 | 27.0 | 17.5 | 26.0 | 31.0 |

Gambar-1: GDP AS vs China 2000-2024
Sumber: IMF World Economic Outlook 2024, World Bank Indicators, World Economics PPP Adjustments
Sejak 2018, Amerika Serikat di bawah Donald Trump meluncurkan perang dagang terhadap Tiongkok. Bukan sekadar menanggapi defisit perdagangan, tetapi sebagai strategi geopolitik untuk mengukur loyalitas negara-negara terhadap dominasi global AS. Melalui kenaikan tarif impor, AS ingin mengidentifikasi sekutu sejati dan siapa yang mulai condong ke orbit kekuatan baru seperti Cina.
Hasilnya justru memperkuat posisi Cina. Alih-alih tertekan, Cina memperkuat industrinya, memperluas pasar dan kerjasama multilateral seperti BRICS dan BRI, serta mendorong kemandirian teknologi. Perang dagang ini malah menjadi katalis bagi kebangkitan ekonomi dan diplomasi global Cina.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan penting: Apakah kemunduran AS bisa menjadi peluang bagi Dunia Islam? Jawabannya bergantung pada kesiapan internal umat Islam; mulai dari tata kelola, integrasi ekonomi hingga kemandirian ilmu dan teknologi. Tanpa penguatan kapasitas internal dan kolaborasi strategis, peluang tersebut akan sulit diwujudkan.
Potensi Dunia Islam
Dunia Islam, yang terdiri dari lebih dari 50 negara dan 1,8 miliar penduduk, memiliki kekayaan alam melimpah; mulai dari migas di Timur Tengah hingga hasil tambang dan pertanian di Asia Tenggara dan Afrika. Namun, pengelolaannya masih jauh dari optimal. Banyak negara Muslim menghadapi tata kelola yang lemah, korupsi dan dominasi elit yang lebih mementingkan keuntungan jangka pendek daripada pembangunan berkelanjutan.
Selain itu, pengembangan teknologi dan inovasi masih tertinggal. Investasi di bidang riset, infrastruktur ilmu pengetahuan dan kolaborasi akademik masih minim. Akibatnya, negeri-negeri Islam sangat bergantung pada impor teknologi.
Dalam perdagangan global, mayoritas masih mengandalkan ekspor bahan mentah bernilai tambah rendah, sementara mengimpor produk jadi dan teknologi mahal. Ketidakseimbangan ini membuat dunia Islam rawan guncangan ekonomi dan tetap berada dalam posisi subordinat, kecuali jika ada perubahan paradigma menuju investasi serius di bidang sains dan inovasi.
Salah satu indikator penting kemajuan bangsa di era teknologi adalah produktivitas kekayaan intelektual, terutama paten. Data WIPO 2022 menunjukkan Tiongkok mencatat lebih dari 1 juta paten pertahun, sementara AS sekitar 300.000. Sebaliknya, seluruh negara Muslim secara kolektif hanya menyumbang sekitar 15.000 paten — kurang dari 2% dari total global, meski mewakili sekitar 25% populasi dunia.

Gambar-2: Infografik, R&D sebagai %GDP dan Ilmuwan persejuta penduduk. Negeri-negeri Islam masih ada di sudut kiri bawah (% Anggaran R&D terhadap GDP rendah; SDM ilmuwannya langka).
Ketimpangan ini mencerminkan kelemahan kapasitas inovasi dan minimnya investasi R&D di Dunia Islam. Kontribusi ilmiah pun rendah. Hanya sekitar 6–8% dari publikasi ilmiah global berasal dari negara-negara Muslim. Rasio peneliti di Dunia Islam rata-rata kurang dari 500 persejuta penduduk. Jauh tertinggal dibandingkan dengan AS (4.400) dan Tiongkok (1.300).
Kondisi ini menunjukkan fondasi ilmiah yang kuat untuk menghadapi era digital dan kecerdasan buatan belum terbentuk. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan terintegrasi dan investasi strategis dalam pendidikan tinggi, riset dan ekosistem inovasi untuk membangun kemandirian teknologi dan peran global umat Islam.
Masalah Fragmentasi
Sejak keruntuhan Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1924, Dunia Islam memasuki era fragmentasi politik akibat adopsi sistem negara-bangsa yang diwariskan kolonialisme. Nasionalisme sempit menggantikan ukhuwah islamiyah sehingga melemahkan agenda geopolitik Islam yang bersifat kolektif. Upaya seperti Pan-Islamisme dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) kerap terhambat oleh konflik mazhab, loyalitas sektarian dan dominasi kepentingan domestik.
Perpecahan internal ini menjadi batu sandungan utama dalam upaya kebangkitan peradaban Islam modern. Bukannya bersinergi, banyak negara dan organisasi Muslim justru terperangkap dalam rivalitas ideologis dan perebutan pengaruh. Hal ini menggerogoti kepercayaan dan kolaborasi lintas negara. Ketidakharmonisan ini terlihat nyata di forum-forum global seperti PBB. egeri-negara Muslim Nsering kali gagal menyuarakan sikap bersama terhadap isu-isu strategis seperti penjajahan Palestina dan krisis Rohingya.
Tanpa konsolidasi visi, integrasi politik dan rekonsiliasi internal umat, mustahil Dunia Islam membentuk kekuatan kolektif yang mampu bersaing dengan blok kekuatan lain. Fragmentasi politik, ideologis dan kelembagaan yang terjadi harus diatasi melalui kebijakan strategis dan pendekatan ukhrawi. Tentu agar umat dapat kembali memainkan peran sentral dalam membangun peradaban dunia yang adil, beradab dan berlandaskan nilai-nilai ilahiah.
| Kategori Sumber Daya | Dunia Islam (57 negara OKI) | AS | China | UE | Rusia |
| SDA (minyak, gas, tambang) | Sangat kaya (70% Cadangan minyak OPEC) | Sedang | Kaya | Sedikit | Kaya |
| SD Buatan (infrastruktur, teknologi produksi) | Timpang, banyak negara tertinggal | Maju | Maju | Maju | Terbatas |
| SD Manusia (ilmuwan, R&D) | Fragmented, rendah kolaborasi | Unggul (10% GDP ke R&D) | Meningkat pesat | Stabil | Terbatas |
Refleksi
Dalam Muqaddimah-nya, Ibnu Khaldun (1332–1406) menggambarkan sejarah sebagai suatu siklus yang berulang. Ia menyatakan bahwa masa-masa sulit melahirkan generasi yang tangguh. Generasi ini kemudian menciptakan zaman kemudahan. Namun, jika dalam masa kemudahan itu dakwah ditinggalkan dan kemewahan menjadi tujuan, maka akan lahir generasi lemah. Generasi yang lemah ini pada akhirnya akan membawa umat kembali ke masa-masa penuh tantangan. Saat ini, banyak negara Muslim berada dalam situasi pelik; konflik bersenjata, sanksi ekonomi dan krisis multidimensi. Namun, kondisi seperti inilah yang justru berpotensi membentuk generasi tangguh, asalkan mereka bersabar dan terus menuntut ilmu.
Negeri yang sedang berproses menuju kedaulatan sejati pasti akan menghadapi berbagai ujian, mulai dari tekanan ekonomi hingga agresi militer, baik dalam bentuk perang terbuka maupun perang asimetris seperti perang proxy. Namun, Jika negeri tersebut memiliki tekad kuat untuk meraih kemandiriannya, maka segala bentuk rintangan akan dapat dilalui, bahkan menjadi pijakan untuk menjadi bangsa yang tangguh dan mandiri.
Contoh konkret dari hal ini adalah Iran. Sejak diberlakukan embargo internasional pasca-1979, Iran justru menunjukkan kemajuan signifikan dalam berbagai bidang. Mereka berhasil meningkatkan produksi domestik, mulai dari kendaraan, teknologi drone, farmasi, hingga persenjataan militer. Kemajuan besar juga terlihat dalam sektor kedirgantaraan dan pengembangan teknologi nuklir. Iran bahkan mengembangkan sistem keuangannya sendiri tanpa bergantung pada jaringan SWIFT. Pola hidup masyarakat pun terbentuk menjadi lebih mandiri dan tidak konsumtif.
Embargo seharusnya tidak dianggap sebagai musibah, tetapi dapat menjadi peluang emas jika dihadapi dengan tekad dan strategi yang tepat. Justru karena tekanan tersebut, kreativitas dan inovasi tumbuh lebih cepat. Pelajaran penting bagi negara-negara Islam adalah bahwa kemandirian tidak lahir dari kenyamanan, tetapi dari tekanan yang memaksa tumbuhnya daya juang.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Dunia Islam perlu membaca ulang arah perubahan geopolitik global saat dominasi Barat melemah dan kekuatan Timur menguat. Ini peluang strategis untuk menyatukan potensi umat, baik SDM, SDA maupun kekuatan ekonomi lintas negara Muslim.
Persatuan menjadi kunci utama. Forum seperti OKI harus diperkuat agar tidak sekadar simbol, tetapi berfungsi nyata seperti institusi dalam era Khilafah. Meski kebangkitan akan menghadapi tekanan ekonomi dan militer, sejarah menunjukkan bahwa umat yang sabar dan kreatif mampu bertahan dan bangkit.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Prof. Dr. Fahmi Amhar (Peneliti Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia)]
Daftar Pustaka
EIA. (2023). International Energy Outlook
Ibnu Khaldun. (2005). Muqaddimah. Terj. Franz Rosenthal. Princeton University Press.
International Monetary Fund (IMF). (2023). World Economic Outlook: A Rocky Recovery.
International Monetary Fund. (2024). World Economic Outlook Database
OIC Statistical Outlook. (2023). Islamic Countries in Figures
OPEC. (2023). Annual Statistical Bulletin.
Sadeghi, A. (2022). Iranian Economic Resilience under Sanctions. Journal of Middle East Economics.
UNESCO. (2021). Science Report: The Race Against Time for Smarter Development.
World Bank. (2023). Global Economic Prospects
World Intellectual Property Organization (WIPO). (2022). World Patent Report





