Afkar

Peristiwa Penting Pada Rabi’ul Awal

Bukan hanya kelahiran Nabi saw., banyak peristiwa penting terkait umat Islam yang terjadi pada Bulan Rabiul Awal ini, baik yang menggembirakan maupun yang memilukan. Di antara peristiwa yang menggembirakan adalah kelahiran Nabi Muhammad saw., sampainya beliau di Madinah yang menandai awal tegaknya Daulah Islam, juga dilantiknya Abu Bakar as-Shiddiq r.a sebagai khalifah.

Hal memilukan yang terjadi pada bulan Rabi’ul Awal juga tidak sedikit; wafatnya Rasulullah saw.; runtuhnya  kekuasaan Islam di Andalusia;  lebih dari seratus kali berulang Rabiul Awal, umat Islam di seluruh dunia masih hidup tanpa naungan khilafah, yang menjadikan mereka tercerai-berai dan lemah kekuatannya, hingga sekadar membebaskan Palestina dari Zionis Israelpun belum mampu.

 

Kelahiran Nabi saw: Rahmat Bagi Alam Semesta

Nabi saw. dilahirkan hari Senin, 12 Rabiul Awal Tahun Gajah di Makkah. Kelahiran Nabi saw. adalah rahmat bagi semesta alam. Allah SWT berfirman:

وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ  ١٠٧

idaklah Kami mengutuskan engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam (QS. al-Anbiya’ [21]: 107).

 

Imam Abul Hasan al-Wâhidi (w. 468 H) mengutip perkataan Ibnu Abbas ra., “Maksudnya adalah rahmat bagi orang yang berbuat kebajikan maupun kemungkaran. Sebabnya, setiap nabi, selain Nabi Muhammad, jika didustakan, maka Allah akan menghancurkan orang yang mendustakan tersebut. Namun, Allah akan menunda penghancuran orang yang mendustakan Nabi Muhammad saw. sampai orang tersebut mati atau sampai Hari Kiamat. Adapun orang yang membenarkan Nabi Muhammad maka kami segerakan baginya rahmat di dunia dan akhirat.”[1]

Imam Al-Baidhawi (w. 685 H) menjelaskan bahwa rahmat itu terletak pada risalah yang beliau bawa, “Karena risalah yang engkau (Muhammad saw.) bawa merupakan sebab kebahagiaan mereka, sekaligus menyebabkan  kemaslahatan kehidupan mereka, dunia dan akhirat.”[2]

Oleh karena itu, dari sisi ini, orang-orang yang mengingkari beliau tidaklah mendapatkan rahmat, sebaliknya justru mendapatkan fitnah dan kerugian.[3]

Hanya saja mereka tetap mendapat rahmat dari sisi lain, yakni mereka tidak dihancurkan seperti umat-umat terdahulu, juga memperoleh rahmat dari sisi tidak langsung, yakni jika hukum syariah diterapkan dalam masyarakat sehingga mereka dengan sukarela atau terpaksa mengikuti sebagian syariah yang bersifat publik, maka mereka akan memperoleh kebahagiaan hidup di dunia.[4]

Dengan menjalankan risalah Nabi Muhammad saw inilah rahmat Allah akan terwujud. Nasab dan kehormatan manusia terjaga saat zina diharamkan, juga diharamkan menuduh orang berzina tanpa mendatangkan 4 orang saksi. Di sisi lain Islam memudahkan urusan nikah. Nyawa manusia terpelihara membunuh diharamkan dan adanya hukum qishaash dalam masalah pembunuhan dan penganiayaan. Rumah tangga terpelihara dengan syariah yang mengatur pembagian fungsi utama antara laki-laki dengan wanita, pengaturan nafkah, pengasuhan, serta syariah dalam urusan sosial. Akal manusia terjaga saat khamr diharamkan dan hukuman yang berat bagi Muslim peminumnya diberlakukan. Kebutuhan pokok juga dijamin dengan aturan syariah dalam masalah ekonomi, juga saat privatisasi kekayaan milik umum diharamkan. Manusia pun akan punya visi jauh ke depan, yakni meraih kebahagiaan akhirat, tanpa melalaikan hidup mereka di dunia, dan menjadikan standar kebahagiaan mereka adalah ridha Allah SWT.

Bukan hanya manusia, hewanpun mendapatkan rahmat ini. Islam melarang membebani hewan dengan pekerjaan di luar kemampuannya, melarang membunuh binatang untuk main-main, dan menyuruh memudahkan dalam penyembelihan. Kezaliman kepada hewan juga diancam dengan siksaan, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Seorang wanita masuk neraka disebabkan  seekor kucing. Dia mengikatnya, tidak memberinya makan dan tidak melepaskannya agar dapat memakan serangga tanah.”[5]

 

Tibanya Nabi saw di Madinah: Tegaknya Daulah Islam

Nabi saw. meninggalkan rumah beliau pada 27 Shafar  tahun 1 H menuju Gua Tsur. Malam Senin tanggal 1 Rabiul Awal beliau meninggalkan Gua Tsur, lalu sampai di Quba’ pada hari Senin tanggal 8 Rabiul Awal. Beliau berdiam di Quba selama empat hari. Selanjutnya beliau memasuki Madinah pada hari Jum’at tanggal 12 Rabiul Awal tahun 1 H.[6]

Tibanya beliau di Madinah merupakan awal adanya Daulah Islam secara fakta (de facto). Adapun secara hukum (de jure) Nabi saw. sudah menjadi kepala negara di Madinah sejak Peristiwa Baiat Aqabah II di Makkah. Baiat ‘Aqabah II ini berkonsekuensi penyerahan kekuasaan kepada Nabi saw, penobatan beliau sebagai kepala negara, dan pendirian Daulah Islam. Al-Murakibi dalam disertasinya menyatakan:

وَمِمَّا يَنْبَغِيْ عَلَيْنَا مُلاَحَظَتُه أَنَّ هَذِهِ الْبَيْعَة كَانَتْ بِمُثَابَة عَقْدِ تَأْسِيْسِ الدَّوْلَةِ اْلاِسْلاَمِيَّةِ بَين رَسُوْلِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ بَين قَادَة اْلاَوْسِ وَاْلخَزْرَجِ وَمُمَثِّلِيْهِمْ

Yang mesti kita perhatikan adalah bahwa Baiat (Aqabah II) ini sama dengan akad pendirian Negara Islam antara Rasulullah saw. dengan para pemimpin Aus dan Khazraj dan perwakilan mereka.[7]

 

Dengan demikian, 12 Rabiul Awal 1 H  merupakan tanggal sempurnanya pendirian Daulah Islam secara de jure maupun de facto. Begitu tiba di Madinah, Rasulullah saw. segera  menjalankan syariah Islam dan bertindak sebagai kepala negara.

 

Wafatnya Nabi saw dan Pembaiatan Abu Bakar r.a Sebagai Khalifah

Nabi saw. wafat pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 H.[8]  Pada hari yang sama, saat jenazah Nabi saw. belum dimakamkan, umat Islam telah membaiat Abu Bakar ash-Shiddiq ra. dengan baiat in’iqâd (baiat khâshah) sebagai khalifah. Selasa pagi Abu Bakar ash-Shiddiq ra. dibaiat oleh kaum Muslim di masjid dengan baiat taat (bai’at ‘âmmah) dan baru selesai waktu isya malam Rabu. Setelah itu barulah Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. memimpin proses pemakaman jenazah Nabi saw. dan selesai pertengahan malam pada malam Rabu itu.

Setelah menceritakan sikap para Sahabat pada hari wafatnya Rasulullah saw., yakni saat mereka tidak segera memakamkan Nabi saw, namun lebih mendahulukan urusan baiat ini hingga berhasil mengangkat Abu Bakar ash-Shiddiq r.a, dan mereka menyebutnya sebagai Khalifah Rasulillah saw., Imam al-Khatthabi (w. 388 H) menyatakan:

وَذَلِكَ مِنْ أَدَلِّ الدَّلِيْلِ عَلَى وُجُوْبِ الْخِلاَفَةِ

Yang demikian merupakan dalil yang paling jelas dan tegas tentang kewajiban penegakan Khilafah.[9]

 

Imam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H) juga menyatakan:

… بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ

“…bahkan mereka menjadikan hal itu (pengangkatan khalifah) sebagai kewajiban yang terpenting.”[10]

 

Tugas penting Khilafah adalah menjaga pelaksanaan syariah, sumber rahmat bagi semesta. Karena itulah Khalifah Abu Bakar ra. mempertaruhkan nyawa dan jabatannya demi memastikan tidak ada hukum syariah yang hilang dari penerapan, “Apakah Islam akan berkurang sementara aku masih hidup?” kata beliau.[11]

Ini sebagaimana kata Imam al-Ghazali:

وَهَذَا قَاطِعٌ في اَنَّ نَصْبَ اْلاِمَام اَمْرٌ ضَرُورِيٌّ فِي حِفْظِ الْإِسْلَامِ

Ini memastikan bahwa mengangkat Imam adalah perkara yang sangat penting untuk menjaga Islam.[12]

 

Penutup

Apa yang terjadi pada bulan Rabiul Awal, tidaklah terjadi tiba-tiba, melainkan berproses pada bulan-bulan selainnya. Jika proses yang dijalani baik, dengan izin Allah akan menghasilkan yang baik. Begitu juga sebaliknya jika kita lupa memprosesnya, atau membiarkan proses pembusukan terjadi di tengah-tengah umat, maka buah busuklah yang akan dipanen.

Apa yang terjadi di Andalusia pada Rabiul Awal tahun 897 H, setelah 800 tahun umat Islam berjaya di sana, Abu Abdullah Muhammad, penguasa Islam terakhir di sana menyerahkan kunci Granada kepada Raja Ferdinand, tidaklah terjadi seketika itu juga. Ada proses panjang yang lalai untuk diantisipasi oleh segenap elemen umat Islam. Karena itulah ketika Abu Abdullah menangis saat meninggalkan istananya, ibunya berkomentar, “Kamu menangis seperti perempuan yang kehilangan, padahal kau tidak menjaganya sebagaimana laki-laki.”[13]

Nabi saw. diutus dengan membawa risalah adalah rahmat dan obat penyembuh derita umat manusia. Hanya saja, obat akan berkhasiat jika dipakai. Untuk itu, umat tidak cukup menjadi seperti apoteker, seperti cerita seorang murid yang pernah mendengar gurunya -semoga Allah merahmatinya- ditanya oleh salah seorang peserta seminar di Damaskus, “Apakah Islam tidak punya solusi atas masalah ekonomi yang menimpa dunia ini?” Gurunya menjawab, “Kami hanyalah para apoteker yang menyediakan obat. Sayangnya, para umara itu tidak mau membelinya.”

Apoteker, dokter dan nakes memang perlu, namun tidak cukup. Perlu “sales” yang proaktif menawarkan obat bagi umat ini, terutama kepada para ‘umaranya, sehingga mereka bukan hanya mau memakainya, namun merasa wajib untuk memakai obat ini. Semua peran itu, baik sebagai dokter, apoteker, hingga ‘sales’ dijalankan oleh Rasulullah saw, teladan umat ini.

 

Catatan kaki:

[1]      Abul Hasan Ali bin Ahmad Al-Wâhidi, Al-Wasîth Fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, Pensyarah dan Penta’liq: Adil Ahmad Abdul Maujud dkk (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), Juz 3, h. 255.

[2]      Nashiruddin Abu Said Abdullah bin ‘Umar Al-Baidhawi, Anwâr At-Tanzîl Wa Asrâr at-Ta’wîl, Pentahkik. Muhammad Abdurrahman al-Mar’asyali, Cet. I. (Beirut: Dâr Ihya al-Turats al-Arabi, 1418), Juz 4, h. 62.

[3]      Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari, Jâmi Al-Bayân Fî Ta’wîl al-Qur’ân, Pentahkik. Ahmad Muhammad Syakir, Cet. I. (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2000), Juz 18, h. 552.

[4]      Tafsir Departemen Agama RI dalam Kitab Suci Alquran (Harf Information Technology (Software ver. 8.0), 2002).

[5]      Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Pentahkik. Muhammad Zuhair bin Nashir, Cet. I. (Dâr Tûq al-Najâh, 1422), Juz 4, h. 130; Muslim bin Hajjâj, Shahih Muslim, Pentahkik. Muhammad Fuad Abd al-Baqi (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi, t.th), Juz 4, h. 2110.

[6]      Safiyurrahman Al-Mubarakfuri, Al-Rahîq al-Makhtûm (Beirut: Dâr al-Basyir, 1994), h. 148 dst.

[7]      Jamal Ahmad as-Sayyid Jad Al-Murakibi, “Al-Khilâfah al-Islâmiyah Bayna Nuzhûm al-Hukm al-Mu’âshirah” (Disertasi, Universitas Kairo, 1414), h. 16.

[8]      Abu al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir, Al-Sîrah al-Nabawiyyah (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1976), Juz 4, h. 507.

[9]      Zainuddin Abdurrahim bin al-Husain Al-’Iraqi, Tharhu At-Tatsrîbi Fi Syarhi at-Taqrîb (at-Thab’ah al-Islamiyyah al-Qadimah, t.th), Juz 8, h. 75. At Taqrib di sini adalah Taqrîbul Asânid Wa Tartîbul Masânid.

[10] Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar Al-Haitami, As-Shawâiq al-Muhriqah Muhriqah ‘ala Ahl Ar-Rafdhi Wa Adh-Dhalâl Wa Az-Zandaqah, Pentahkik. Abdurrahman bin Abdullah at-Turki, Cet. I. (Libanon: Muassasah al-Risâlah, 1997), Juz 1, h. 25.

[11] Nûr al-Dîn al-Mulla al-Harawi al-Qâri, Mirqâtu Al-Mafâtîh Syarh Misykâtu al-Mashâbîh, Cet. 1. (Beirut: Dâr al-Fikr, 2002), Juz 9, h. 3890.

[12] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Fadhâih Al-Bâthiniyyah, Pentahkik. Abdurrahman Badawi (Kuwait: Muassasah Dar al-Kutub att-Tsaqafiyyah, t.th), h. 171.

[13] Raghib As-Sirjani, Bangkit Dan Runtuhnya Andalusia, Penerjemah. Muhammad Ihsan dan Abdul Rasyad Shiddiq, Cet. II. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), h. 814.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twenty + twelve =

Back to top button