Ibrah

Ingat Umur

Salah satu modal manusia yang paling berharga, menurut Imam al-Baghawi di dalam kitab tafsirnya, adalah umur (waktu)-nya. Sayangnya, umur (waktu) manusia itu terus berkurang setiap saat. Itulah mengapa Allah SWT menyebutkan bahwa manusia itu sungguh benar-benar merugi (QS al-’Ashr [103]: 2). Sebabnya, modal umur (waktu)-nya terus berkurang. Tidak akan pernah bertambah.

Dikecualikan dari orang-orang yang merugi adalah mereka yang menghabiskan modal (umur/waktu)-nya selalu dalam keadaan beriman (taat) kepada Allah SWT, beramal shalih dan saling menasihati (berdakwah) (QS al-’Ashr [103]: 3). Sebabnya, saat demikian, modal umur (waktu)-nya yang terus berkurang tergantikan dengan keuntungan besar berupa pahala yang berlipat ganda di akhirat.

Karena itulah Imam Ibnu Katsir rahimahulLâh menyatakan, “Di antara keuntungan terbesar adalah saat Anda memperbanyak amal-amal shalih di sisa usia Anda. Lalu dosa-dosa Anda yang telah lalu pun diampuni (oleh Allah SWT) (Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 10/318).

Karena itu penting untuk selalu membiasakan diri memperbanyak amal-amal shalih. Lebih penting lagi untuk membiasakan diri menjauhi banyak dosa. Sebabnya, pada akhirnya setiap manusia bakal mati, dan umum manusia mati sesuai dengan kebiasaannya.

Faktanya, ada orang meninggal dalam keadaan taat kepada Allah SWT: saat shalat berjamaah di masjid, membaca al-Quran, berzikir atau bertobat kepada Allah SWT; saat menghadiri majelis ilmu atau mengajarkan ilmu; saat berdakwah atau berjihad di jalan Allah SWT; dll. Sebabnya, begitulah kebiasaan mereka sehari-hari.

Sebaliknya, banyak orang mati dalam keadaan maksiat kepada Allah SWT: mati di tempat dugem, di meja judi atau di tempat pelacuran; mati saat mabuk-mabukkan atau mati karena narkoba; mati saat menikmati uang hasil korupsi, suap-menyuap atau riba; mati dalam keadaaan memamerkan aurat atau saat berlenggak-lenggok di atas panggung; mati dalam keadaan menyakiti orangtua, mengabaikan hak-hak suami/istri atau menzalimi orang lain; dll. Banyak pula yang mati dalam keadaan menunda-nunda bahkan meninggalkan shalat, lalai dari zikir mengingat Allah SWT, jarang sekali membaca al-Quran; dalam keadaan asyik bermain games, berpesta-pora di tempat-tempat hiburan, dll. Sebabnya, begitu pula kebiasaan mereka sehari-hari.

Semua bergantung pada kebiasaan masing-masing saat hidup. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu Katsir dan Imam as-Sa’adi serta ulama lainnya rahimahumulLâh, “Sungguh siapa saja yang hidup di atas suatu kebiasaan tertentu, ia pun akan diwafatkan di atas kebiasaan tersebut.” (Ibnu Katsir, Tafsiir al-Qur’ân al-’Azhiim, 2/101; as-Sa’adi, Taysiir al-Kariim ar-Rahmân fii Tafsiir Kalâm al-Manân, 1/130).

Karena itu kita boleh saja berharap mati dalam keadaan husnul khatimah. Namun pada akhirnya, kita akan mati sesuai dengan kebiasaan kita saat hidup. Apakah biasa taat kepada Allah SWT ataukah biasa berbuat dosa dan bermaksiat kepada-Nya.

Inilah yang acapkali kita lupakan. Kita sering lupa bahwa ujung kehidupan di dunia ini adalah kematian. Kita sering lupa bahwa umur kita setiap saat berkurang dan bakal habis. Lalu habis pula kesempatan bagi kita untuk bertobat kepada Allah SWT. Tinggal bagaimana di akhirat kita mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita saat hidup di dunia.

Berkaitan dengan umur manusia, Rasulullah saw. bersabda, “Umur umatku rata-rata mencapai 60-70 tahun. Sangat sedikit dari mereka yang melampaui umur tersebut.” (HR Ibnu Majah).

Karena itulah, menurut Imam an-Nawawi, dulu penduduk Madinah, jika mereka sudah memasuki usia 40 tahun, mereka fokus untuk beribadah dan bertaqarrub kepada Allah SWT. Banyak bertobat dan makin giat memperbanyak bekal untuk kehidupan akhirat. Hal senada diungkapkan oleh Imam al-Qurthubi di dalam Al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, dengan menukil pernyataan Imam Malik bin Anas.

Karena itu penting untuk selalu mengingat umur kita. Apalagi yang sudah mendekati usia senja. Jangan sampai kita terus-menerus diperbudak oleh dunia. Terus-menerus mengejar harta, jabatan dan kekuasaan. Apalagi untuk itu kita tak peduli halal dan haram.

Ingatlah senantiasa. Hidup tak akan lama. Jangan sampai kita terlena. Saat ajal tiba, tentu harta, jabatan dan kekuasaan tak akan kita bawa. Hanya amal-amal shalih yang akan menjadi andalan kita, untuk menyelamatkan diri kita, dari dahsyatnya siksa neraka.

Karena itu sekecil apapun amal shalih yang dilakukan, juga sekecil apapun dosa yang dijauhi, adalah cara  kita agar terhindar dari siksa neraka. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda, “Jauhkanlah diri kalian dari siksa neraka meskipun hanya dengan setengah biji kurma.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Menurut  Imam as-Suyuthi hadis di atas mengandung dua pengertian: Pertama: Jauhkanlah diri kalian dari siksa neraka walau dengan sedekah yang sangat sedikit. Kedua: Janganlah kalian menzalimi seorang pun meski dengan kadar kezaliman sebesar setengah biji kurma. Sebabnya, hal itu bisa menjadi sebab kalian dimasukkan ke dalam siksa neraka (As-Suyuthi, Mishbâh az-Zujâjah ‘alâ Sunan Ibni Mâjah, 1/115).

Karena itu, dalam hidup ini, janganlah kita sepelekan pahala kebaikan sekecil apapun. Jangan pula kita sepelekan dosa sekecil apapun. Sebabnya, sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan, juga sekecil apapun dosa yang kita jauhi, sama-sama bisa menyelamatkan diri kita dari siksa neraka.

Lebih dari itu, sudah sepantasnya kita memiliki amal andalan. Itulah amal yang—meski kita sudah meninggal—pahalanya tetap mengalir (pahala jariyah) kepada diri kitasampai Hari Kiamat. Di antara amalan tersebut adalah gemar berwakaf, menyebarluaskan ilmu, menulis kitab, berdakwah sehingga banyak orang dapat hidayah, dll.

Sebaliknya, sudah seharusnya kita menjauhi dosa-dosa yang—meski kita sudah meninggal—tetap mengalir (dosa jariyah) kepada diri kita sampai Hari Kiamat. Di antaranya adalah dosa karena menzalimi orang lain tanpa sempat bertobat dan minta maaf, menjadi pelaku keburukan yang kemudian ditiru oleh orang banyak dll.

Berkaitan dengan itu Imam Asy-Syathibi rahimahulLâh berkata, “Beruntunglah orang yang mati dan mati (berhenti) pula dosa-dosanya. Sebaliknya, penderitaan yang panjang bagi orang yang mati, sementara dosa-dosanya tetap mengalir (dosa jariyah).” (Asy-Syathibi, Al-Muwâfaqât, 1/229).

Wa mâ tawfîqi illâ bilLâh. [Arief B. Iskandar]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

13 − 10 =

Back to top button