Pangkalnya Liberalisasi
Tak ada satu pun alasan rasional yang bisa diterima untuk menaikkan harga BBM. Apalagi di tengah kondisi rakyat yang tengah berusaha bangkit akibat dampak panjang pandemi Covid-19. Pemerintah mestinya membantu rakyat untuk bangkit, pulih secara ekonomi. Alih-alih membantu, Pemerintah malah memukul telak rakyat dengan menaikkan harga BBM.
Jika dikatakan harga BBM harus dinaikkan karena subsidi BBM yang jumlahnya kurang lebih Rp 150 triliun sangat membebani APBN, faktanya yang sebenarnya memberatkan APBN adalah pembayaran bunga dan cicilan utang yang tahun 2021 lalu saja sudah mendekati angka Rp 1000 triliun. Persisnya Rp 902, 3 triliun. Mestinya ini yang harus dikurangi. Lagi pula dengan menaikkan harga BBM, Pemerintah hanya menghemat anggaran Rp 31,8 triliun. Pada saat yang sama, Pemerintah mendapatkan Rp 519 triliun wind fall yang didapat dari kenaikan harga komoditas khususnya batubara di pasar internasional. Mengapa tidak mengambil dari rejeki nomplok itu untuk menahan kenaikan BBM?
Tak bisa dipungkiri, kebijakan penaikan harga BBM ini tak lain demi memuluskan program liberalisasi migas. Utamanya di sektor hilir. Apa yang terjadi ini hari sesungguhnya mengkonfirmasi apa yang pernah ditegaskan oleh Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro pada masa Presiden SBY dulu. Sebagaimana dikutip Koran Kompas edisi 14 Mei 2003, dia bilang, “Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas. Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi Pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.’’
Jadi, pangkalnya adalah liberalisasi. Liberalisasi ini dilakukan tak lain demi kepentingan perusahaan migas asing dan para kompradornya di dalam negeri. Mereka ingin jualan migas di negeri ini, yang memang pasarnya terus tumbuh membesar seiring dengan kenaikan jumlah penduduk dan konsumsi BBM. Ini ironi besar. Bagaimana bisa perusahaan asing itu menjual BBM yang sebagiannya adalah milik kita, kepada kita, di halaman rumah kita dengan harga internasional yang membuat kita susah, dengan keuntungan untuk mereka?!
Soal bakal masuknya pemain asing dalam bisnis eceran migas terang-terangan dikatakan oleh Dirjen Migas Dept. ESDM, Iin Arifin Takhyan ketika itu, yang dikutip oleh Majalah Trust edisi November 2004. Katanya, “Saat ini terdapat 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU). Di antaranya adalah perusahaan migas raksasa seperti British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika).
Selain demi mulusnya liberalisasi migas, kenaikan harga BBM tak lain juga untuk mencari dana demi kelangsungan apa yang mereka sebut PSN (Proyek Strategis Nasional), seperti proyek mercusuar IKN. Hal ini terang-terangan diakui oleh Meneg BUMN Erick Tohir seperti dikutip Detikcom (https://finance.detik.com/energi/d-6278690/erick-thohir-jelaskan-kaitan-pangkas-subsidi-bbm-dengan-psn/amp).
Benarkah IKN adalah proyek strategis? Sebegitu parahkah keadaan Jakarta sehingga harus bergegas pindah ibukota? Lantas untuk kepentingan siapa sebenarnya proyek pemindahan ibukota ini? Apakah rakyat benar-benar memerlukan ibukota baru? Jika tidak untuk rakyat, untuk siapa sebenarnya Pemerintah ini bekerja?
++++
Nyatalah slogan pemerintahan demokrasi dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat hanyalah jargon kosong tak bermakna. Faktanya justru melalui sistem demokrasi inilah para kapitalis dari dalam dan luar negeri bisa meraih seluruh keinginannya untuk memperbesar bisnis mereka melalui campur tangan kebijakan pemerintah, juga pihak legislatif, melalui lahirnya peraturan perundangan yang menguntungkan mereka, seperti UU Migas Nomer 22 Tahun 2001 itu. Karena itu mengharapkan dari mereka pengelolaan migas sesuai dengan kepentingan rakyat ibarat pungguk merindukan bulan.
Bukan hanya di sektor migas, liberalisasi juga terjadi di sektor batubara melalui lahirnya UU Minerba Nomer 3 tahun 2020. UU ini memberikan karpet merah kepada 7 perusahaan batubara besar pemegang PKP2B yang menguasai 380 ribu hektar ladang batubara dengan potensi mencapai Rp 13 ribu triliun jika diasumsikan harga pertonnya USD 70. Faktanya, sekarang harga pertonnya mencapai 450 USD. Artinya, potensinya menjadi sangat besar. Lebih dari Rp 65 ribu trilun!
Liberalisasi juga terjadi di sektor kelistrikan melalui terbitnya UU Kelistrikan Nomer 30 Tahun 2009. UU ini membuka pintu penguasaan swasta di sektor pembangkit. Dari sana perusahaan pembangkit swasta itu kemudian menjual kepada PLN dengan harga yang aje gile. Itulah yang membuat mengapa harga listrik terus membumbung naik.
Semua langkah liberalisasi itu menghasilkan 3 keadaan. Pertama, makin kecilnya peran negara dalam pengelolaan SDA. Jika peran negara direpresentasikan oleh BUMN, boleh dilihat sekarang bagaimana peran Pertamina di industri hulu dan hilir migas, juga peran PLN dalam industri kelistrikan khususnya di sektor pembangkit dan peran Bukit Asam, BUMN Batubara, di industri batubara. Semua terus makin mengecil. Bukit Asam hanya menguasai kurang lebih 5% produksi batubara nasional. Bagaimana bisa, BUMN yang notabene mewakili kepentingan rakyat, sang pemilik batubara yang sangat melimpah itu, hanya menguasai porsi segitu kecil?
Kedua, makin besarnya peran swasta. Itu artinya, makin besar pula keuntungan yang direguk oleh mereka. Wind fall yang didapat dari kenaikan fantastis harga komoditas batubara memang dinikmati oleh Pemerintah, tetapi itu hanya sebagian kecil. Sebagian besarnya tetap saja oleh perusahaan swasta. Dengan kekuatan finansial yang terus membesar itu, mereka kemudian masuk ke ranah politik, mempengaruhi pertarungan politik negeri ini demi melanggengkan kepentingan mereka. Merekalah oligarki pemegang kendali politik domestik ini hari yang makin menyesakkan itu.
Ketiga, makin besar beban rakyat, seperti terlihat pada terus menaiknya TDL, juga harga BBM yang baru saja dinaikkan oleh Pemerintah.
++++
Di sinilah relevansi sangat nyata pentingnya perjuangan penegakan syariah secara kâffah. Selain didorong oleh keimanan kepada Allah, penerapan syariah akan membawa kebaikan kepada seluruh rakyat.
Menurut syariah Islam, barang-barang tambang yang melimpah, juga energi seperti minyak bumi dan gas, merupakan sumberdaya alam yang masuk dalam kategori barang milik publik (al-milkiyyah al-‘âmmah). Pengelolaannya harus dilakukan oleh negara. Seluruh hasilnya dikembalikan kepada publik. Melalui penerapan syariah ini, penguasa, juga yang ngaku wakil rakyat itu, tidak bisa lagi semau sendiri dalam mengelola SDA, apalagi jika dilakukan untuk kepentingan asing.
Untuk sampai ke sana, tentu diperlukan perjuangan yang sungguh-sungguh. Tidak mudah memang. Pada setiap masa, perjuangan pasti berhadapan dengan ATHGR (ancaman, tantangan, hambatan, gangguan dan rintangan). ATHGR yang paling berat tak lain datang dari rezim yang tengah berkuasa. Apalagi kalau mereka berkolaborasi dengan kekuatan pemilik modal domestik dan asing seperti yang ini hari terjadi. Namun, semua itu harus dihadapi. Insya Allah, seberat apapun, dengan pertolongan Allah SWT, perjuangan akan mencapai tujuan, suatu hari nanti. [H.M. Ismail Yusanto]