FikihTsaqafah

Hakikat Rezeki

Soal:

Apakah rezeki itu terbatas berupa harta saja, dengan makna segala sesuatu yang dimiliki melalui sebab syar’i? Ataukah harta berupa uang, harta bergerak dan tidak bergerak merupakan bagian dari rezeki? Tidak mencakup semua jenis rezeki? Misalnya, apakah istri yang salehah merupakan rezeki? Apakah kesehatan, keberhasilan anak keturunan yang salih juga termasuk rezeki?

 

Jawab:

Sesungguhnya rezeki adalah segala sesuatu yang bisa menjadikan orang kaya (kullu mâ yatamawwala bihi).

Dinyatakan di dalam Lisân al-‘Arab: rezeki (ar-rizqu) adalah pemberian (al-‘athâ`). Itu adalah mashdar dari ucapan Anda, “RazaqahulLâh (Semoga Allah memberi dia rezeki).”

Kadang hujan disebut rezeki. Dalam firman Allah SWT dinyatakan:

وَمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مِن رِّزۡقٖ فَأَحۡيَا بِهِ ٱلۡأَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِهَا ٥

Hujan yang Allah turunkan dari langit sebagai rejeki, lalu dengan air hujan itu Dia hidupkan bumi sesudah matinya (QS al-Jatsiyah [45]: 5).

 

Allah SWT juga berfirman:

وَفِي ٱلسَّمَآءِ رِزۡقُكُمۡ وَمَا تُوعَدُونَ  ٢٢

Di langit terdapat (sebab-sebab) rezeki kalian dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepada kalian (QS adz-Dzariyat [51]: 22).

 

Mujahid berkata: Itu adalah hujan dan ini merupakan perluasan dalam bahasa.

Frasa arzâqu al-jundi bermakna gaji mereka (athmâ’u al-jundi). Kalimat irtazaqû bermakna mereka mendapat rezeki. Ar-Razaqah adalah al-marrah al-wâhidah (satu kali). Bentuk jamaknya: ar-razaqât. Maknanya:  gaji tantara. Irtazaqa al-jundi bermakna: Mereka mengambil rezeki mereka.

Allah SWT berfirman:

وَتَجۡعَلُونَ رِزۡقَكُمۡ أَنَّكُمۡ تُكَذِّبُونَ  ٨٢

Kalian mengganti rezeki (yang Allah berikan) dengan mendustakan Allah (QS al-Waqi’ah [56]: 82).

 

Kalimat Wa razaqa al-amîru jundahu fartazaqû irtizâq[an] bermakna: Pemimpin memberikan tentaranya rezeki sehingga mereka mendapat rezeki.

Dikatakan: Ruziqa al-jundu razqat[an] wâhidat[an] lâ ghayr (Tentara diberi rezeki satu kali, tidak yang lain). Ruziqû razqatayn, yakni dua kali. Ibnu Bariy…

Dinyatakan di dalam Al-Qâmûs al-Muhîth: Ar-rizqu (rezeki) adalah apa yang dimanfaatkan, seperti al-murtazaqu dan al-mathar (hujan). Jamaknya arzâq[un]; dengan fathah adalah mashdar hakiki. Razaqatu artinya satu kali (al-marratu al-wâhidatu), dengan hâ‘. Jamaknya adalah razaqât[un] dan itu adalah gaji tentara (athmâ’u al-jundi). RazaqahulLâh bermakna: Semoga Allah memberi dia rejeki.

Dinyatakan di dalam Ash-Shihâh fî al-Lughah: Ar-Rizqu adalah apa saja yang bisa dimanfaatkan. Jamaknya al-arzâqu. Ar-Rizqu bermakna  al-‘athâ` (pemberian). Itu merupakan mashdar dari ucapan Anda: RazaqahulLâh (Semoga Allah memberi dia  rezeki). Ar-Razaqatu artinya al-marrah al-wâhidah (satu kali). Jamaknya ar-razaqâtu dan itu adalah gaji tentara (athmâ’u al-jundi), yakni mereka mengambil gaji mereka.

Hujan disebut dengan rezeki. Hal itu dinyatakan dalam firman Allah SWT:

وَمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مِن رِّزۡقٖ فَأَحۡيَا بِهِ ٱلۡأَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِهَا ٥

Hujan yang Allah turunkan dari langit sebagai rejeki, lalu dengan air hujan itu Dia menghidupkan bumi sesudah matinya (QS al-Jatsiyah [45]: 5).

 

Allah SWT juga berfirman:

وَفِي ٱلسَّمَآءِ رِزۡقُكُمۡ وَمَا تُوعَدُونَ  ٢٢

Di langit terdapat (sebab-sebab) rezeki kalian dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepada kalian (QS adz-Dzariyat [51]: 22).

 

Itu merupakan perluasan dalam bahasa.

Dinyatakan di dalam Al-Kurâsah (Izâlatu al-Athribah ‘an al-Judzûr) tentang ar-rizqu (rezeki): Terkait masalah rezeki, banyak ayat-ayat yang qath’iy ad-dalâlah tidak menyisakan ruang untuk orang yang mengimani al-Quran kecuali dia mengimani bahwa rezeki di tangan Allah, yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki.  Rezeki bukan masalah al-qadar. Sebabnya, al-qadar adalah bahwa Allah mengetahui bahwa perkara fulani akan terjadi, Allah mengetahui sebelum terjadinya perkara itu. Jadi Dia telah menuliskan dan telah menetapkan. Adapun terkait rezeki, bukan hanya bahwa Allah mengetahui bahwa si Fulan akan diberi rezeki, sehingga Dia telah menuliskan dan menetapkan. Allah pun telah menetapkan rezeki. Artinya, yang memberi rezeki adalah Allah, bukan hamba. Ini yang ditunjukkan oleh ayat-ayat:

لَا نَسْئَلُكَ رِزۡقٗاۖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُكَۗ وَٱلۡعَٰقِبَةُ لِلتَّقۡوَىٰ  ١٣٢

Kami tidak meminta rezeki kepadamu. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa (QS Thaha [20]: 132).

وَكُلُواْ مِمَّا رَزَقَكُمُ ٱللَّهُ حَلَٰلٗا طَيِّبٗاۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِيٓ أَنتُم بِهِۦ مُؤۡمِنُونَ  ٨٨

Makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang telah Allah berikan kepada kalian dan bertakwalah kepada Allah yang telah kalian imani (QS al-Maidah [5]: 88).

 

Allah SWT pun berfirman:

ٱللَّهُ لَطِيفُۢ بِعِبَادِهِۦ يَرۡزُقُ مَن يَشَآءُۖ وَهُوَ ٱلۡقَوِيُّ ٱلۡعَزِيزُ  ١٩

Allah Mahalembut kepada hamba-hamba-Nya. Dia memberikan rezeki kepada yang Dia kehendaki-Nya dan Dia Mahakuat lagi Mahaperkasa (Qs asy-Syura [42]: 19).

 

Apa yang Anda sebutkan selain sesuatu yang bisa menjadikan kaya (ghayru mâ yatamawwalu bihi)—semisal anak keturunan yang salih, kesehatan, kebebasan dari segala penyakit, dan apa saja yang ada di ranah yang Anda kuasai, yakni bukan perbuatan Anda yang bersifat ikhtiyâri—ada di ranah al-qadhâ‘. Ini mencakup rezeki dan semua perbuatan yang terjadi dari Anda atau terhadap Anda tanpa pilihan Anda. Dinyatakan di al-Kurâsah (Izâlatu al-Athribah ‘an al-Judzûr) pada topik al-qadhâ‘ wa al-qadar di bawah judul, “Ar-Ra‘yu ash-Shawâbu fî Mas‘alati Af’âli al-‘Ibâd (Pendapat yang Benar dalam Masalah Perbuatan Hamba)” sebagai berikut:

Pendapat yang benar dalam masalah ini berkenaan perbuatan-perbuatan hamba bahwa manusia hidup di dua ranah: Pertama, ranah yang dia kuasai, yaitu ranah yang terjadi dalam cakupan tindakan-tindakannya dan dalam cakupannya terjadi perbuatan-perbuatannya yang dia lakukan semata dengan pilihannya.

Kedua, ranah yang menguasai manusia, yaitu ranah yang dia berada di dalam cakupan ranah itu. Di dalam ranah ini, terjadi perbuatan-perbuatan yang dia tidak punya hubungan apapun dengannya, baik perbuatan itu terjadi dari dia atau terhadap dia. Perbuatan-perbuatan yang ada di ranah yang mengendalikan manusia ini, dia tidak punya peran dengannya dan dia tidak punya hubungan dengan keberadaannya. Itu ada dua bagian: (1) bagian yang dituntut oleh aturan eksistensi (nizhâm al-wujûd); (2) bagian yang di dalamnya perbuatan-perbuatan itu terjadi di luar kemampuannya, dia tidak kuasa menolaknya, tetapi tidak diharuskan oleh aturan eksistensi (nizhâm al-wujûd).

Adapun apa yang diharuskan oleh aturan eksistensi (nizhâm al-wujûd) maka dia tunduk kepadanya dan oleh karenanya dia berjalan sesuai dengan nizhâm al-wujûd itu secara terpaksa. Sebabnya, dia berjalan bersama alam dan bersama kehidupan menurut aturan yang khusus yang tidak meleset. Oleh karena itu perbuatan-perbuatan di ranah ini terjadi tanpa kehendak darinya. Dia di situ dipaksa dan bukan diberi pilihan.

Perbuatan-perbuatan ini semuanya, yang terjadi di ranah yang menguasai manusia, adalah yang disebut qadhâ‘. Sebabnya, Allah sajalah yang memutuskan (menentukan)-nya. Oleh karena itu seorang hamba tidak dihisab atas perbuatan-perbuatan ini; betapapun yang ada di dalamnya baik manfaat atau bahaya, suka atau tidak suka berkaitan untuk manusia. Artinya, betapapun di dalamnya ada kebaikan atau keburukan menurut penafsiran manusia terhadapnya. Sebabnya, manusia tidak punya pengaruh dengannya dan tidak mengetahuinya serta tidak mengetahui tatacara pengadaannya. Manusia sama sekali tidak memiliki kuasa untuk menolaknya atau mendatangkannya. Manusia wajib mengimani qadhâ’ ini bahwa itu berasal dari Allah SWT.

WalLâh a’lam wa ahkam. []

 

[Dikutip dari Jawab-Soal Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 11 Shafar 1444 H – 07 September 2022 M]

 

Sumber:

https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/84211.html

https://web.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/628263805527659

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eighteen − fourteen =

Back to top button