Mengajari Anak Berpikir Serius
Ayah-Bunda, dengan semakin bertambah usia anak-anak kita, tentu semakin besar pula harapan kita terhadap mereka. Namun, tak jarang kita kecewa saat mereka belum bersungguh sungguh untuk meraih harapan dan cita-cita. Kadang anak sangat bersemangat melakukan sebuah aktivitas, tetapi kemudian berhenti di tengah jalan. Ada masalah sedikit langsung mengeluh, bahkan ngambek. Tak mau lagi melanjutkan. Tentu saja dengan berbagai alasan: karena sulit, capek, tak suka dan sebagainya. Mengapa hal itu bisa terjadi? Tentu karena mereka belum mampu berpikir serius.
Arti Berpikir Serius
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam kitabnya, At-Tafkîr, menjelaskan bahwa berpikir serius adalah berpikir tentang sesuatu dan berusaha merealisasikan sesuatu tersebut. Berpikir tentang bahaya, misalnya, bukan semata mata untuk membahas tentang bahaya, tetapi dalam rangka menjauhi bahaya tersebut. Berpikir tentang makan bukan sekadar membahas tentang makan, tetapi dalam rangka berupaya untuk memperoleh makanan.
Selanjutnya Syaikh Taqiyuddin menjelaskan bahwa berpikir serius meniscayakan adanya usaha untuk merealisasikan maksud yang dipikirkan. Usaha tersebut harus setara dengan maksudnya. Usaha yang dilakukan haruslah dengan menciptakan situasi, kondisi atau aktivitas tertentu baik berupa gagasan ataupun perbuatan-perbuatan fisik (nyata). Semua itu harus setara dengan apa yang dipikirkan.
Seseorang yang memiliki cita cita menjadi dokter, misalnya, tetapi tidak berusaha kecuali hanya berusaha menjadi seorang perawat, maka ia tidak bisa dipandang sebagai orang yang berpikir serius untuk menjadi dokter. Demikian juga seseorang yang ingin menjadi pejuang pena, yang hendak berdakwah melalui goresan penanya, tak mungkin bisa terwujud hanya dengan belajar membuat tulisan-tulisan ringan dan lucu atau hanya sebatas cerita picisan.
Rasulullah saw. juga mengajari kita untuk berpikir serius. Beliau selalu bersungguh sungguh dengan menempuh berbagai macam cara untuk merealisasikan semua yang beliau inginkan. Misalnya, ketika Rasulullah saw. menginginkan pendirian Negara Islam agar bisa menerapkan hukum Allah secara keseluruhan. Beliau merancang berbagai strategi dan melakukan semua aktivitas fisik yang dapat mengantarkan pada tujuan tersebut.
Beliau melakukan pembinaan, berdakwah ke masyarakat, meminta pertolongan kepada pihak yang kuat (tokoh) di kaumnya, hingga mengirimkan Mush’ab bin Umair sebagai duta untuk mendakwahkan Islam ke penduduk Madinah. Beliau tidak hanya sekadar berdoa kepada Allah SWT dalam khusyuknya shalat. Juga tidak sekadar puasa atau tenggelam dalam ibadah mahdhah (ritual) lainnya. Akhirnya, kita pun bisa melihat hasilnya. Daulah Islam tegak di Madinah.
Karena itu berpikir serius hakikatnya adalah melakukan segala upaya dengan bersungguh-sungguh, terus-menerus, dan komitmen, tidak berhenti hingga tujuan tercapai. Inilah yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim. Demikian juga yang harus kita ajarkan kepada anak-anak kita, sebagaimana firman Allah SWT:
وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٦٩
Orang-orang yang bersungguh sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sungguh Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik (QS al-Ankabut [29]: 69).
Mengajari Anak Berpikir Serius
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan Ayah-Bunda agar anak mampu berpikir serius. Pertama, memastikan terlebih dulu apakah anak kita sudah mampu berpikir benar ataukah belum. Ketika sudah mampu maka barulah kita ajak untuk berpikir serius karena berpikir serius merupakan tahap lanjutan setelah anak mampu berpikir benar.
Misalnya, ketika anak kita ingin menjadi penghapal Quran, kita perlu mengajak dia untuk berpikir benar terlebih dulu, untuk apa ia ingin menjadi penghapal Quran. Kita harus arahkan bahwa menghapal al-Quran bukan semata-mata karena ingin mendapat pujian, hadiah ataupun hal hal duniawi lainnya; tetapi karena ingin mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT. Juga yang sangat penting untuk dipahamkan, bahwa tak hanya menghapal, ia pun wajib mempelajari makna al-Quran sekaligus mengamalkan dan mendakwahkan al-Quran. Setelah kita pastikan anak berpikir benar, barulah kita mengajak anak berpikir bagaimana cara merealisasikan keinginan tersebut.
Kedua, setelah itu kita perlu mengajak anak memikirkan apa yang harus dilakukan untuk merealisasikan cita-cita dan harapan-harapannya. Tentu saja usaha tersebut harus setara dengan cita-citanya. Ketika anak ingin menjadi ulama yang faqîh fiddîn, misalnya, maka usaha apa yang harus dilakukan? Ilmu apa saja yang perlu ia kuasai? Mungkinkah menjadi ulama kalau hanya belajar ilmu pengetahuan umum dan sains, sementara sangat minim belajar tsaqaafah Islam. Bagaimana caranya agar mendapatkan tsaqâfah Islam tersebut? Apakah cukup hanya dengan membaca kitab ataukah perlu belajar dari guru? Demikian seterusnya.
Tentu sangat penting menggambarkan tahapan tahapan yang harus dilalui. Dengan itu sesuatu yang tampak sulit akan menjadi lebih mudah direalisasikan oleh anak.
Kemudian kita ajak anak membuat perencanaan. Berapa lama waktu yang dibutuhkan? Siapa yang akan membantu dia untuk meraih cita cita tersebut? Apa yang bisa dilakukan Ayah-Bunda untk membantu dia? Sarana-prasarana apa yang ia butuhkan? Metode apa yang akan digunakan? Demikian seterusnya.
Melibatkan anak dalam perencanaan, terutama untuk anak-anak yang sudah menjelang balig atau bahkan sudah balig, adalah hal yang sangat penting. Hal ini agar anak merasa bahwa ini adalah cita-citanya. Ini adalah proyeknya. Bukan cita-cita atau proyek ayah dan bundanya. Ketika anak merasa memiliki, ia akan berusaha dengan serius untuk mewujudkan cita-citanya. Namun, kalau semua perencanaan dibuat oleh Ayah-Bunda saja, tak jarang anak kurang bersemangat menjalankannya. Bahkan kadang putus di tengah jalan.
Ketiga, membiasakan anak melakukan aktivitas bukan hanya sekadar rutinitas dan kontinuitas (terus-menerus), tetapi harus ada tujuan dan target yang terukur. Kita bisa ajak anak membuat target seperti: “Setiap hari aku harus menambah hapalan satu halaman al-Quran dan murâja’ah lima halaman al-Quran,” atau, “Setiap hari aku harus membuat tulisan dengan konten dakwah satu halaman, dan meng-upload-nya di IG,” atau, “Setiap hari aku harus bisa belajar meng-i’râb dan menghapal dua hadis,” dan seterusnya.
Selanjutnya, target ini perlu kita evaluasi bersama dalam waktu tertentu, misalnya perminggu, perdua minggu, atau perbulan, dst. Kita perlu lihat apakah sudah tercapai atau tidak targetnya? Apa kendalanya dan bagaimana solusinya? Dalam evaluasi ini, kita perlu melibatkan anak. Bagaimana penilaian terhadap apa yang sudah dilakukan dan apa saja yang perlu diperbaiki agar target bisa tercapai.
Keempat, membentuk sikap ‘siap menanggung risiko’. Kita tanamkan kepada anak-anak kita bahwa untuk meraih sebuah tujuan pasti ada risikonya. Apalagi jika kita hendak meraih tujuan tujuan besar dan mulia, pasti butuh pengorbanan. Untuk itulah sangat penting bagi kita untuk membentuk sikap ‘siap menanggung ‘risiko’ pada anak. Kita bisa ajak anak untuk memikirkan risiko apa saja yang akan dihadapi. Kemudian hadirkan ayat-ayat al-Quran atau hadis-hadis yang bisa membuat anak kuat menghadapi ujian, rintangan dan hambatan dalam meraih sebuah tujuan. Ketika anak merasa malas, kita perlu terus memotivasi dirinya. Ketika ia jatuh, kitalah yang akan meraih tangannya. Ketika ia lemah, kitalah yang menjadi penopangnya. Jangan pernah tinggalkan ia sendiri dengan semua masalahnya. Kalau bukan kita orangtuanya, siapa yang akan menolong mereka meraih mimpi-mimpi mereka?
Sudah seharusnya Ayah-Bunda menjadi tempat sharing bagi anak, bukan sosok yang sering memaksakan kehendak. Anak-anak kita bukanlah robot, yang bisa kita paksa melakukan apapun yang kita minta. Mereka adalah manusia, sebagaimana kita, yang Allah anugerahi akal. Dengan akal inilah kita, juga anak-anak kita, mampu berpikir benar, dan juga mampu berpikir serius.
Khatimah
Demikianlah Ayah-Bunda, dengan berpikir serius, anak anak kita akan bersungguh sungguh dalam meraih harapan dan cita-cita. Mereka tak akan pernah mengenal kata ‘menyerah’ hingga sampai di akhir perjalanannya. Hanya saja, tak semua anak mudah diajak berpikir serius. Sebenarnya bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena mereka belum merasa perlu, dan belum terbiasa melakukannya. Tugas kitalah untuk terus membimbing, membina, mengawal juga membiasakannya. Tentu saja dengan terus diiringi dengan doa. Semoga mereka kelak menjadi anak anak shâlih-shâlihah, juga menjadi para pejuang Islam yang tangguh dan terpercaya.
Semoga kita semua bisa merealisasikannya, dengan seijin Allah SWT. AlLâhumma, âmîn.
WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [Wiwing Noeraini]