Pilar Rezim Represif
Perhatian Rasulullah saw. terhadap kondisi umat Islam sesungguhnya menunjukkan perhatian besar beliau terhadap urusan politik. Pasalnya, politik terkait dengan pengaturan urasan-urusan umat. Pengabaian masalah politik tentu akan berakibat pada penelantaran urusan-urusan umat. Karena itu Rasulullah saw. sering mengingatkan tentang apa yang akan terjadi di tengah-tengah umat sepeninggalannya dan bagaimana sikap yang harus kita ambil.
Ath-Thabarani telah meriwayatkan di dalam Ash-Shaghir dan Al-Awsath hadis dari Abu Hurairah ra.: Telah bersabda Rasulullah saw., “Pada akhir zaman nanti akan ada para pemimpin yang zalim, menteri yang fasik, hakim yang khianat, dan fuqaha (ulama) yang pendusta. Siapa saja diantara kalian yang menemui zaman itu, janganlah menjadi tukang penarik (pajak) mereka, pembantu mereka dan polisi mereka.’
Dalam hadis itu, Rasulullah saw. menggambarkan tentang keberadaan pemimpin yang zalim di tengah-tengah umat. Rasulullah saw. menggambarkan ciri khas orang-orang yang zalim itu antara lain, membawa cambuk dan memukul manusia. Mereka adalah para aparat keamanan yang merupakan alat rezim yang berkuasa, sebagaimana dijelaskan oleh An-Nawawi dalam Shahih Muslim. Biasanya, pemimpin yang zalim ini lebih mengedapankan kekuasan yang mereka miliki untuk menindas rakyat. Dengan tangan besi mereka memberangus pihak-pihak yang dianggap mengancam kepentingan kekuasaan mereka atau menghalangi keinginan-keinginan rezim yang berkuasa.
Pemimpin yang zalim ini, untuk memperkuat kekuasaannya, dikelilingi oleh para pembantunya yang fasik. Mereka alih-alih mengingatkan pemimpin kalau pemimpinan mereka menyimpang, mereka malah membantu dan mengokohkan tindakan yang keji dari sang pemimpin. Bukan meluruskan kalau mereka salah, malah menjilat sang pemimpin untuk mencari muka dan mendapatkan kekuasaan.
Pilar penting lain dari penguasa zalim seperti ini adalah keberadaan hakim yang berkhianat. Hakim seharusnya berpihak pada kebenaran, bukan mengabdi pada kekuasaan yang zalim. Keputusan hakim seharusnya adil, objektif dan berpijak pada hukum. Namun, di bawah rezim zalim, posisi hakim justru ditujukan untuk memperkuat kekuasaan. Tidak mengherankan kalau keputusan hakim bukan berdasarkan hukum, malah berpihak pada kekuasaan. Memberangus lawan-lawan politik yang dianggap berbahaya bagi kekuasaan. Seolah-olah hukum masih ditegakkan. Padahal yang ada, hukum yang tunduk pada kekuasaan.
Inilah yang juga kita khawatirkan sedang terjadi pada penegakan hukum kita saat ini. Politisasi hukum dan kriminalisasi lawan politik sangat jelas di depan mata. Seperti yang terjadi dalam kasus Habib Riziq, semangat untuk menghabisi Habib Riziq secara politik bisa dirasakan banyak pihak. Begitu banyak kasus kerumunan yang dianggap melanggar protokol kesehatan, namun tidak dipersoalkan. Seperti kerumunan saat Presiden Jokowi berkunjung ke NTT. Kalau pun dipersoalkan cukup didenda. Tidak semua diproses jalur pidana. Sejumlah gerai restoran cepat saji, McDonald’s, hanya ditutup sementara; didenda administratif dalam kasus kerumunan saat promo “BTS Meal”.
Aroma diskriminasi hukum pun tampak saat Habib Riziq dituntut Jaksa penuntut umum (JPU) dengan hukuman enam tahun penjara terkait kasus tes usap (swab test) RS Ummi Bogor. Tuntutan 6 tahun juga diangggap berlebihan apalagi kalau dibandingkan dengan kasus korupsi Djoko Tjandra dan Jaksa Pinangki yang hanya dituntut 4 tahun penjara. Belum lagi, keputusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang mengurangi hukuman 10 tahun Jaksa Pinangki menjadi empat tahun yang dianggap mencederai keadilan hukum. Indonesian Corruption Watch (ICW) menganggap putusan ini benar-benar keterlaluan.
Seharusnya para hakim memperhatikan peringatan Rasulullah saw. kepada mereka. Sabda beliau, “Hakim itu ada tiga. Dua di neraka dan satu di surga. Seseorang yang menghukumi secara tidak benar, padahal ia mengetahui mana yang benar maka ia masuk neraka. Seorang hakim yang bodoh lalu menghancurkan hak-hak manusia maka ia masuk neraka. Seorang hakim yang menghukumi dengan benar maka ia masuk surga.” (HR at-Tirmidzi).
Rezim represif juga biasa didukung oleh ahli hukum, cendekiawan, yang membenarkan tindakan zalim mereka. Seolah-olah tindakan penguasa zalim itu benar secara hukum. Pada hal yang terjadi adalah pembenaran. Seolah-olah memiliki dalil. Yang terjadi adalah mencari dalih untuk membenarkan yang salah. Hal ini pun menjadi kekhawatiran kita saat ini. Munculnya ahli-ahli hukum, pakar, cendekiawan, yang berusaha mencari-cari alasan dan pembenaran untuk melegitimasi kebijakan zalim rezim represif. Padahal kesalahan rezim sudah sangat jelas di depan mata.
Yang menyedihkan kalau ini terjadi pada agamawan yang justru mencari-cari dalil dari agama untuk membenarkan kebijakan keliru rezim represif. Agamawan yang menukar kebenaran agama dengan harga yang murah. Allah SWT telah memperingatkan agamawan seperti ini, dalam firman-Nya (yang artinya): Janganlah kalian menukarkan ayal-ayat-Ku dengan harga yang rendah. (QS al-Baqarah [2]: 41).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan tentang ayat ini antara lain maksudnya: Janganlah kalian menukar penjelasan, keterangan, dan menyiarkan ilmu yang bermanfaat di kalangan manusia dengan cara menyembunyikannya dan memutarbalikkan kenyataan dengan tujuan agar kalian tetap lestari dalam menguasai keduniawian yang sedikit lagi rendah dan pasti lenyap dalam waktu yang dekat.
Dalam Islam keberadaan para ulama justru sangat mulia. Ulama adalah pewaris nabi. Mereka ada untuk menunjuki umat dari jalan gelap gulita, membela umat yang tertindas, berada di garda terdepan untuk melakukan amar makruf nahi munkar. Terutama mengkoreksi penguasa yang zalim dan menyimpang. Sebabnya, pahala melakukan muhasabah lil hukkam sangat besar yang oleh Rasulullah disebut sebagai sebaik-baik jihad (afdhal al-jihad). Pelakunya disamakan dengan Sayidina Hamzah, paman Rasulullah saw. yang syahid di Perang Uhud, menjadi pemimpin para syuhada.
Rasulullah saw. juga memberikan pedoman kepada kita untuk mennyikapi pemimpin yang zalim. Antara lain larangan mendukung apalagi membenarkan kezalimannya! Kaab bin Ujrah ra. berkata bahwa Rasulullah saw. pernah keluar mendekati kami, lalu bersabda, “Akan ada setelahku nanti para pemimpin yang berdusta. Siapa saja yang masuk kepada mereka, lalu membenarkan (menyetujui) kebohongan mereka dan mendukung kezaliman mereka, maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak bisa mendatangi telagaku (pada Hari Kiamat). Siapa yang tidak masuk pada mereka (penguasa dusta) itu, tidak membenarkan kebohongan mereka, dan tidak mendukung kezaliman mereka, maka dia adalah bagian dari golonganku, dan aku dari golongannya, dan ia akan mendatangi telagaku (pada Hari Kiamat).” (HR at-Tirmidzi, Ahmad dan An-Nasa’i).
Allahu Akbar! [Farid Wadjdi]