Pasal Penghinaan Presiden Masuk Ruu Kuhp, Perlukah?
Saat ini Pemerintah dengan DPR sedang menggodok RUU KUHP. Poin krusial yang menuai kontroversi adalah adanya pasal penghinaan presiden dan wapres serta lembaga tinggi negara di dalamnya.
Pasal yang dimaksud tertuang di dalam Bab IX tentang Tindak Pidana Terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara (Detik.com, 07/6/2021).
Pertanyaannya, mengapa tidak mencari akar persoalan yang mengakibatkan terjadinya penghinaan kepada presiden dan wapres termasuk DPR? Kesan yang timbul bahwa pemerintahan ini anti kritik. Apabila delik penghinaan tersebut masuk ranah pidana, tentunya kepolisian dan kejaksaan yang akan turun menanganinya. Keberadaan kedua lembaga ini adalah bagian dari eksekutif. Artinya, akan terdapat potensi sifat deliknya bersifat sensitif hingga mengarah seolah masyarakat akan berbuat makar dan hal-hal lain yang dianggap merugikan jalannya pemerintahan.
Sekali lagi seharusnya yang dilakukan adalah faktor yang memicu lahirnya respon masyarakat terhadap kekuasaan. Langkah yang mestinya diambil adalah melakukan koreksi. Apakah selama ini kekuasaan sudah berfungsi mengayomi seluruh warga negaranya tanpa pandang bulu? Apakah pemerintahan yang ada sudah mampu untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya ataukah malah meningkat kemiskinannya? Apakah pemerintahan yang ada mampu mewujudkan keadilan hukum bagi seluruh warga negaranya?
SDA yang seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat, malah dikangkangi korporasi. Justru negara mengambil kebijakan akan menaikkan Ppn produk konsumsi, pajak bagi sembako dan berbagai pajak lainnya. Mengapa pemerintah tidak mengambil langkah menasionalisasi SDA tersebut?
Pada masa pandemi ini, kebijakan yang diambil pemerintahan terlihat sangat kontradiktif. Rakyat begitu ketat untuk dibatasi pergerakannya. Di sisi lain, orang asing dari Cina dan India bisa leluasa masuk ke Indonesia. Padahal katanya tidak ingin Indonesia mengalami tsunami Covid sebagaimana India.
Satu lagi dalam hal pemberantasan korupsi. Kasus mega korupsi masih terbengkalai, seperti kasus Jiwasraya, Asabri dan lainnya. Namun, angkah yang diambil Pemerintah terkesan melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Baru baru ini TWK KPK diduga kuat termasuk bagian dari pelemahan KPK itu sendiri.
Di sinilah urgensi untuk menelaah kembali sistem politik kenegaraan yang diadopsi dan dijalankan selama ini. Sistem demokrasi yang dijalankan di negeri ini justru telah menjauhkan keadilan dan kesejahteraan umum. Pasalnya sistem demokrasi ini berasaskan sekularisme. Nilai halal dan haram tidak lagi menjadi perhatian. Kepentingan yang lebih mendominasi. Sistem demokrasi telah nyata melahirkan ketimpangan sosial.
Dalam sistem pemerintahan Islam, masyarakat akan memandang bahwa membela kehormatan negerinya adalah sama dengan membela Islam. Begitu pula membela wibawa pemerintahannya itu adalah wujud dari membela wibawa agama dan syariah Islam yang dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegaranya. Masyarakat merasakan akan kerahmatan dari penerapan Islam itu sendiri. Artinya, dengan sendirinya tidak diperlukan lagi adanya regulasi yang berkaitan dengan penghinaan kepada kepala negara dan kekuasaan yang sedang establish. [Ainul Mizan ; (Peneliti LANSKAP)]