Haram Menjual Barang yang Belum Dimiliki
Soal:
- Apakah penjualan oleh bank atas barang yang bukan miliknya itu diharamkan, baik bagi bank tersebut atau bagi pembelinya?
- Apakah seorang pedagang, jika belum punya barang, dan dia memesan barang tersebut dari pedagang lain, kemudian dia jual kepada pembeli, apakah ini termasuk “bay’[un] mâ lâ yumlaku” (menjual barang yang tidak dimiliki)?
Jawab:
Penjualan yang dilakukan oleh pedagang atas barang yang tidak dia miliki adalah haram. Ia merupakan akad yang batil. Dosanya menimpa penjual dan pembeli jika pembeli itu mengetahui bahwa barang yang dia beli bukan milik pedagang tersebut, yakni pedagang itu akan pergi dan membeli barang tersebut dari pasar dan menyerahkannya kepada pembeli. Kami telah menjelaskan perkara ini di dalam Kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Jilid 2 bab “Lâ Yajûzu Bay’[un] Mâ Laysa ‘Indaka (Tidak Boleh Menjual Barang yang Bukan Milik Anda)” sebagai berikut:
Tidak boleh menjual barang sebelum sempurna dimiliki. Jika seseorang menjual barang pada kondisi ini (belum dia miliki) maka jual beli itu batil. Ini berlaku atas dua kondisi: Pertama, menjual barang sebelum dia dimiliki. Kedua, ia menjual barang setelah dia beli, tetapi sebelum kepemilikannya atas barang itu sempurna dengan serah-terima jika memang kesempurnaan kepemilikannya mensyaratkan adanya serah-terima. Sebabnya, akad jual-beli itu tidak lain terjadi pada kepemilikan. Selama barang belum dimiliki, atau barang itu telah dibeli, tetapi kepemilikannya belum sempurna karena barangnya memang belum diterima, maka belum terjadi akad jual-beli atas barang tersebut. Sebabnya, secara syar’i memang tidak ada barang yang menjadi obyek dalam akad tersebut.
Rasulullah saw. telah melarang jual-beli barang yang belum dimiliki oleh penjual. Hakim bin Hizam berkata:
Aku berkata, “Rasulullah, seorang laki-laki mendatangi aku dan bertanya kepadaku tentang menjual barang yang belum aku miliki, kemudian aku membeli barang tersebut dari pasar.” Beliau bersabda, “Janganlah kamu menjual barang yang belum kamu miliki.” (HR Ahmad).
قُلْتُ : يا رَسُوْلَ الله يأْتِيْنِيْ الرَّجُلُ يَسْأَلُني عَنِ الْبَيْعِ لَيْسَ عِنْدِيْ مَا أَبِيْعُهُ، ثُمَّ أَبِيْعُهُ مِنَ السُّوْقِ، فَقَال: لا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Amru bin Syuaib, dari bapaknya, dari kakeknya, ia juga berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
لا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ، وَلاَ شَرْطَانِ فِيْ بَيْعٍ، وَلا رِبْحٌ مَا لَم تَضْمَنْ، وَلا بَيْعٌ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Tidak halal salaf dan jual-beli, tidak halal dua syarat dalam satu jual-beli, tidak halal keuntungan yang tidak kamu jamin, juga tidak halal jual-beli barang yang bukan milikmu (HR Abu Dawud).
Ungkapan Rasul “mâ laysa ‘indaka (barang yang bukan milikmu)” bersifat umum. Di dalamnya termasuk barang yang belum Anda miliki, barang yang tidak sanggup Anda serahkan dan barang yang belum sempurna Anda milik. Hal itu diperkuat oleh hadis-hadis yang menyatakan adanya larangan menjual barang yang belum diterima, yang memang di dalamnya disyaratkan adanya serah-terima agar kepemilikannya dipandang sempurna. Semua itu menunjukkan bahwa siapa saja yang membeli barang yang mensyaratkan adanya serah-terima sehingga pembelian atas barang itu sempurna, maka dia tidak boleh menjual barang tersebut sampai barang itu dia terima. Jadi hukumnya sama dengan hukum menjual barang yang tidak dimiliki. Hal itu karena sabda Rasul saw.:
مَنْ اِبْتَاعَ طَعَاماً فَلَا يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَه
Siapa saja yang membeli makanan maka jangan dia jual makanan itu sampai makanan tersebut dia terima (HR al-Bukhari).
Juga karena ada riwayat yang meriwayatkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاع حَتَّى يَحُوْزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ
Sungguh Nabi saw. telah melarang barang dijual sebagaimana dibeli sampai pedagang memindahkan barang itu ke tempat mereka.
Juga karena Ibnu Majah ra. meriwayatkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاع حَتَّى يَحُوْزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ
Sungguh Nabi saw. telah melarang pembelian (barang) sedekah sampai barang itu diterima (HR Ibnu Majah).
Juga karena ada riwayat dari Ibnu Abbas ra. bahwa: Rasulullah saw. pernah bersabda kepada ‘Utab bin Usaid ra.:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ شِرَاءِ الصَّدَقَاتِ حَتَّى تُقْبَضَ
Sungguh aku mengutus engkau kepada AhlulLaah dan penduduk Makkah. Laranglah mereka dari menjual barang yang belum mereka terima (HR al-Baihaqi).
Hadis-hadis ini gamblang menyatakan larangan menjual barang yang belum mereka terima, yakni yang kepemilikannya belum sempurna. Sebabnya, barang yang memerlukan serah-terima tidak sempurna kepemilikannya sampai si pembeli menerima barang tersebut dan karena barang itu termasuk dalam jaminan penjualnya.
Dengan demikian jelas bahwa dalam keabsahan jual-beli disyaratkan barang itu telah dimiliki oleh penjual dan telah sempurna kepemilikannya. Adapun jika barang itu belum di miliki atau dia miliki tetapi belum sempurna kepemilikannya, maka dia tidak boleh menjual barang itu sama sekali. Ini mencakup barang yang dia miliki tetapi belum dia terima, sementara atas barang tersebut disyaratkan adanya serah-terima untuk kesempurnaan jual belinya, yaitu barang al-makîl wa al-mawzûn wa al-ma’dûd (barang ditakar, ditimbang dan dihitung). Adapun apa yang tidak disyaratkan serah terima untuk kesempurnaan kepemilikannya yaitu selain barang yang ditakar, ditimbang atau dihitung semisal hewan, rumah, tanah dan semacamnya, maka si penjual boleh menjual barang tersebut sebelum dia terima. Sebabnya, semata-mata terjadinya akad jual-beli dengah ijab dan qabul maka telah sempurna jual-beli itu, baik sudah dia terima atau belum, sehingga jadilah dia menjual apa yang telah sempurna kepemilikannya. Jadi masalah ketidakbolehan jual-beli tidak terkait dengan adanya serah-terima atau tidak, melainkan berkaitan dengan kepemilikan barang yang dijual, dan dengan sempurnanya kepemilikan atas barang tersebut.
Adapun kebolehan menjual barang yang belum diterima selain barang yang ditakar, ditimbang dan dihitung, hal itu ditetapkan dengan hadis shahih. Ibnu Umar ra. Menuturkan bahwa unta milik Umar memiliki kesulitan:
إِنِيّْ قَدْ بَعَثْتُكَ إِلَى أَهْل اللهِ، وَأَهْل مَكَّةَ، فَانْهَهُمْ عَنْ بَيْعٍ مَا لَمْ يَقْبِضُوْا
Nabi saw. bersabda kepada beliau, “Juallah unta itu kepadaku.” Lalu Umar berkata, “Unta itu untukmu.” Lalu Nabi saw. membeli unta tersebut, kemudian beliau bersabda, “Dia untukmu, wahai Abdullah bin Umar. Perbuatlah dengan unta itu apa yang kamu mau.” (HR al-Bukhari).
Tasharruf (tindakan) pada barang yang dijual dengan menghibahkan barang tersebut sebelum adanya serah-terima menunjukkan atas sempurnanya kepemilikan barang yang dijual itu sebelum adanya serah-terima. Ini sekaligus menunjukkan kebolehan menjual barang tersebut karena telah sempurna kepemilikan penjual (yakni Rasulullah saw.) atas unta tersebut.
Atas dasar itu maka barang yang dimiliki oleh si penjual dan telah sempurna kepemilikannya boleh dia jual. Sebaliknya, barang yang belum dia miliki atau belum sempurna kepemilikannya maka tidak boleh dia jual.
Atas dasar itu, apa yang dilakukan oleh pedagang kecil berupa tawar-menawar dengan pembeli atas suatu barang, kemudian keduanya bersepakat atas harganya, lalu penjual menjual barang itu kepada pembeli itu, kemudian penjual baru pergi mencari barang tersebut ke pedagang lain untuk dia beli, lalu dia menyerahkan barang tersebut kepada pembeli itu, ini tidak boleh. Sebabnya, itu adalah tindakan menjual barang yang belum dimiliki. Ini karena pedagang itu, ketika ditanya tentang barang, barang itu belum ada pada dirinya dan belum di miliki. Namun, dia tahu bahwa barang itu ada di pasar pada pedagang yang lain. Artinya, dia berbohong dengan memberitahu pembeli bahwa barang itu ada dan kemudian dia jual kepada pembeli tersebut. Kemudian dia pergi untuk membeli barang yang dimaksud setelah akad jual-beli terjadi. Ini adalah haram, tidak boleh, sebab dia menjual barang yang belum dia miliki.
Demikian juga apa yang dilakukan oleh para pemilik toko sayur dan pasar biji-bijian berupa penjualan mereka atas sayur dan gandum sebelum sempurna kepemilkannya. Sebagian pedagang membeli sayur atau gandum dari petani, dan sebelum dia terima, dia jual. Ini tidak boleh sebab sayur dan gandum itu termasuk makanan yang tidak sempurna kepemilikannya kecuali dengan serah-terima.
Demikian juga apa yang dilakukan oleh para importir barang dari negeri lain. Sebagian mereka membeli barang dan mensyaratkan di dalamnya penyerahan di dalam negeri, kemudian dia menjual barang tersebut sebelum barang itu tiba, yakni sebelum sempurna kepemilikan mereka atas barang itu. Ini pun termasuk jual-beli yang haram sebab itu adalah penjualan apa yang belum sempurna kepemilikannya sama sekali.
Saya berharap di dalam ini ada kecukupan. WalLâh a’lam wa ahkam.
[Dikutip dari Jawab-Soal Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah tanggal 6 Dzul Qa’dah 1444 H – 26 Mei 2023 M]
Sumber:
https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/89017.html
https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/802385951448776