Ancaman Nyata Bagi Keluarga dan Masyarakat
Cinta kedua PNS itu awalnya indah. Mereka menikah pada 2002 dan dicatatkan ke KUA Pasar Minggu. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai tiga anak. Dalam perjalanannya, satu anak meninggal dunia. Biduk rumah tangga yang awalnya indah, mulai terkoyak saat si suami mulai mengalami disorientasi seksual, yaitu mencintai sesama jenis dan berujung terkena HIV/AIDS.
Hubungan itu membuat gonjang-ganjing rumah tangga yang akhirnya tidak bisa dipadamkan. Sejak 2018, mereka memilih pisah kamar/ranjang. Akhirnya, si istri meminta izin pimpinan pada April 2020 untuk menceraikan suaminya dan dikabulkan.
*****
Cerita di atas bukanlah cerita fiksi, namun kisah nyata yang diunggah di Harian Detik, Kamis, 22 Oktober 2020.
Mirisnya, kasus perceraian serupa yang dipicu oleh faktor perselingkuhan, yang terjadi dilakukan dengan sesama jenis, meningkat dari tahun ke tahun. Satu contoh di wilayah Bekasi, perceraian yang dominan dipicu judi online dan penyimpangan seksual pada tahun 2022 menghasilkan 3.957 janda dan duda baru. Angka ini nyaris melampaui periode yang sama pada tahun 2021.1 Begitu pula di wilayah Bogor dan dan wilayah lainnya.
LGBT Merusak Bangunan Keluarga
Keluarga dalam Islam merupakan rumah tangga yang dibangun dari suatu pernikahan antara seorang pria dan wanita yang dilaksanakan sesuai syariah Islam. Hanya dengan berkeluargalah kelanjutan kehidupan manusia bisa mewujud. Kehidupan rumah tangga, yang menjadikan suami dari jenis laki-laki dan istri dari jenis perempuan, sejalan dengan fitrah manusia. Secara fitrah, Allah telah ciptakan jenis laki-laki berbeda dengan jenis perempuan. Perempuan dan laki-laki mempunyai organ reproduksi yang berbeda satu sama lainnya. Tak bisa dipertukarkan dan tak bisa pula diganti. Misalnya pada kaum perempuan, Allah SWT menciptakan rahim, sel telur, hormon prolaktin yang nantinya membentuk ASI. Adapun lelaki memiliki hormon testosteron dan sel sperma.
Oleh karena itu bagaimana mungkin akan lahir keturunan dari pasangan lelaki dengan lelaki atau perempuan dengan perempuan? Jelas tidak mungkin. Hal demikian menyalahi fitrah. Ini sebagaimana tersurat dalam al-Quran (QS an-Nisa’ [4]: 1).
Naluri untuk berketurunan tidaklah mudah pula dihilangkan karena merupakan fitrah manusia. Karena itu, ketika kaum gay dan lesbian tidak mungkin mendapatkan keturunan, sementara mereka menginginkan anak, biasanya mereka mengadopsi anak dari pasangan lain atau melakukan sewa rahim (surrogacy). Di sinilah munculnya kerusakan baru, yakni kacaunya nasab anak yang juga diharamkan oleh syariah Islam.
Ketidakjelasan nasab akan berimplikasi besar bagi kehidupan anak ke depannya. Mulai berkaitan dengan hukum mahram, waris, wali dan lainnya. Lebih berbahaya lagi, anak akan mempunyai patron keluarga yang salah sejak dini, dan ini bisa diduplikasi saat dewasa nanti.
LGBT Merusak Generasi
Komunitas LGBT tahu betul bahwa tak mungkin dari perilaku mereka melahirkan keturunan. Satu-satunya jalan untuk menjaga eksistensi komunitas mereka adalah dengan jalan menularkan perilaku mereka ke pihak lain.
Masifnya penularan perilaku menyimpang tak lepas adanya agenda global dan kucuran dana yang besar bagi perkembangan komunitas ini. Target utama penularan perilaku mereka adalah kalangan muda. Dalam perkembangannya, perilaku LGBT menyasar kalangan anak-anak dan remaja. Aktivitas kaum LGBT pun dapat termonitor jelas dan cukup tinggi di dunia maya.
Pakar media sosial yang juga Founder Aplikasi Drone Emprit, Ismail Fahmi mengungkapkan dirinya memperoleh data mengejutkan perihal transmisi konten negatif LGBT, khususnya Gay. Ia mengatakan, berdasarkan data dalam satu bulan saja telah ada 7751 percakapan di Twitter tentang Gay (belum termasuk Lesbian, Biseksual, Transgender). Percakapan juga termasuk berbagi video dan gambar. Di antara kata kunci yang digunakan adalah #gayindonesia #gayschool #gaysma #gaysekolah #gaypku #gaykids #gaylokal #gaybrondong.
Bahkan dari penelusurannya, Ismail menemukan banyak juga akun-akun yang menjajakan prostitusi gay. Ia mengatakan sejauh ini perbincangan dan pembagian konten-konten Gay paling tinggi terjadi di DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur.
Seiring dengan meningkatnya pelaku LGBT, meningkat pula jumlah penderita HIV AIDS. Dulu penularan HIV AIDS dominan pada pemakai narkoba akibat pemakaian jarum suntik bersama. Dalam beberapa tahun terakhir penularan justru didominasi oleh pelaku LGBT.
Sebagaimana disampaikan badan kesehatan dunia yang menangani epidemik AIDS, UNAIDS, di seluruh dunia perilaku gay berpotensi 25 kali lebih besar tertular HIV. Penelitian yang dilakukan Cancer Research Inggris juga menemukan bahwa homoseksual lebih rentan terkena kanker, terutama kanker anus, karena perilaku seks menyimpang yang mereka lakukan.
Penularan HIV AIDS di kalangan gay pun merupakan hal yang wajar karena adanya kebiasaan mereka yang doyan berganti pasangan. Didapati dari sebuah studi menyebutkan, bahwa seorang gay punya pasangan antara 20-106 orang pertahunnya. Bahkan ditemukan bahwa sekitar 43 persen kaum gay tersebut selama hidupnya melakukan aktivitas homoseksual dengan 500 orang bahkan lebih.2
Penyebaran HIV AIDS di Indonesia sendiri sudah sangat meresahkan. Merujuk data Kemenkes per Juni 2022, kasus HIV terbanyak di DKI Jakarta: 90.958 kasus, Jawa Timur: 78.238 kasus, Jawa Barat: 57.426 kasus, Jawa Tengah: 47.417 kasus, Papua: 45.638 kasus, Bali: 28.376 kasus, Sumatera Utara: 27.850 kasus, Banten: 15.167 kasus, Sulawesi Selatan: 14.810 kasus, Kepulauan Riau: 12.943 kasus.3
Dengan melihat penyebaran yang begitu luas, kerusakan yang ditimbulkan oleh perilaku seksual menyimpang LGBT bukan lagi sekadar ancaman bagi keluarga, namun bagi eksistensi masyarakat, bahkan bagi bangsa.
Pemerintah Tidak Tegas
Melihat kerusakan massif yang dilakukan komunitas LGBT, harusnya Pemerintah bersikap tegas dengan memberi ‘warning’ di tengah masyarakat akan “Indonesia Darurat LGBT”, serta menindak tegas para pelakunya.
Jika tidak, masa depan suram akan menghampiri negeri ini. Pasalnya: Pertama, sampai saat ini upaya pencegahan dan pengobatan HIV AIDS yang efektif belum ditemukan. Kedua, surveilans faktor risiko makin sulit dilakukan karena melubernya kelompok risiko tinggi tanpa terdeteksi. Ketiga, minimnya dana untuk menanggulanginya. Sejak Indonesia dikategorikan sebagai negara berpenghasilan menengah ke atas (upper middle income country) pada tahun 2019, bantuan global makin berkurang bagi pemberantasan HIV AIDS Tanah Air.
Pemerintah ciut nyali di hadapan LGBT yang berlindung atas nama HAM. Bahkan beberapa sikap jajaran Pemerintah menunjukkan sikap ‘pro LGBT’. Ini bisa dilihat statemen mereka saat diminta menyikapi LGBT. Sekelas menteri agama – Lukman Hakim Saifudin saat menjabat sebagai menag mengatakan, bahwa bukan berarti kaum LGBT itu harus disisihkan dari agama dan umat beragama. Kita sebagai masyarakat beragama, kata dia, justru harus merangkul mereka agar perilaku dan orientasi seksualitasnya tidak lagi menyimpang dari ajaran agama. Bahkan dia pun tak risih hadir dalam even apresiasi penghargaan terhadap LGBT.4
Lembaga legislatif sebagai wakil rakyat justru mendudukkan penyimpangan seksual LGBT sebagai kodrat Tuhan sehingga dalam KUHP tidak boleh ada larangan maupun hukuman terhadap orang lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Yang lebih membuat putus asa rakyat, sikap pro LGBT pun ditunjukkan oleh pemimpin tertinggi negeri ini. Jokowi, saat wawancara eksklusif di Solo, menyatakan bahwa tak ada diskriminasi terhadap kaum minoritas di Indonesia. Jika ada yang terancam karena seksualitasnya, polisi harus bertindak melindungi mereka.5
Jika semua petinggi negeri semua bersikap sama, lalu kecemasan masyarakat akan tsunami kerusakan moral ini diadukan kepada siapa?
Butuh Tiga Kekuatan Tangguh
LGBT adalah tindak kriminal, bukan kodrat. Dalam Islam, LGBT dikenal dengan dua istilah, yaitu Liwaath (gay) dan Sihaaq (lesbian). Syariah Islam secara tegas mendudukkan LGBT sebagai kejahatan (kriminal). Pelakunya wajib dihukum dengan sanksi pidana syariah. LGBT disebut kriminal karena hukumnya haram dalam Islam. Kriminal (al-jariimah) dalam Islam didefinisikan sebagai perbuatan melakukan yang haram atau meninggalkan yang wajib. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhaam al-‘Uquubaat, hlm. 15).
Sanksi pidana syariah tersebut hanya mungkin diterapkan oleh negara, bukan individu ataupun masyarakat. Individu-individu yang bertakwa—yang terbentuk dalam keluarga sehingga menjadi pribadi yang tangguh dan tidak mudah terpengaruh dengan hal-hal yang merusak—tentu harus ada. Begitu pula masyarakat yang terkondisikan dengan suasana keimanan. Bukan masyarakat cuek dan permissif dengan kerusakan.
Namun, hari ini berharap negara bertindak tegas kepada pelaku kiminal LGBT, seolah menggantang asap. Negara ada, namun seolah tiada. Negara menutup mata dan telinga terhadap kerusakan yang ada. Wajarlah jika negara bersikap demikian karena menganut sistem kapitalis liberal. Hegemoni kapitalis global telah memasung kebijakan mereka dalam melindungi rakyatnya.
Hanya satu jalan menyelamatkan umat ini. Tak lain kembali menerapkan syariah Islam secara kaaffah dalam institusi Daulah Khilafah Islamiyah sebagai wujud ketakwaan kepada Allah SWT. Dengan takwa, bukan hanya keluarga, nasab dan masa depan gerasi yang terjaga, namun juga turunnya keberkahan dari langit dan bumi sebagaimana yang Allah janjikan(QS al-A’raf [7]: 96).
WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Retno Sukmaningrum]
Catatan kaki:
1 https://radarbekasi.id/2022/11/14/judi-online-dan-lgbt-picu-perceraian-di-bekasi-3-957-janda-baru/
2 https://media.neliti.com/media/publications/154451-ID-none.pdf
3 https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-6258386/10-provinsi-di-ri-dengan-kasus-hiv-terbanyak-dki-nyaris-100-ribu
4 https://kemenag.go.id/nasional/penjelasan-sikap-menag-soal-lgbt-1eiwwt
5 https://www.bbc.com/indonesia/indonesia/2016/10/161019_indonesia_wwc_jokowi_lgbt