Fikih

Hukum Transaksi Muamalah Secara Online

Soal:

Pertama: Terkait transaksi membeli dinar, minyak, emas dll dengan menggunakan Dolar AS pada waktu murah, kemudian menjual semua itu pada waktu mahal. Tujuannya tentu untuk mendapatkan keuntungan. Semua ini ada di internet (online). Seseorang dapat mentransfer uangnya ke bank dan menarik (mendebet)-nya kapan dia mau. Apa hukumnya dalam perkara ini?

Kedua: Apakah ketika mempertukarkan mata uang disyaratkan serah-terima dengan tangan? Ataukah cukup serah-terima secara online melalui internet tanpa serah terima dengan tangan? Untuk melengkapi pertanyaan tersebut: Jika seseorang membeli minyak, apakah dia harus menerima barangnya (secara fisik)? Lalu jika dia mau menjual tanpa memiliki barangnya, apakah boleh? Perlu diketahui, jika dia membeli minyak, besi, emas dll, seseorang tidak mungkin menerima barang-barang tersebut kecuali setelah dia mengubahnya ke Dolar dan menerimanya dalam bentuk Dolar. Jika Anda membeli minyak, Anda tidak mungkin menerimanya dalam bentuk minyak, tetapi mengubahnya ke Dolar.

Ketiga: Dinyatakan di dalam An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm, “Tidak boleh menjualnya sama sekali. Ini mencakup apa yang Anda miliki, tetapi belum Anda terima. Di antara kesempurnaan jual-beli yang disyaratkan adanya serah-terima adalah jual-beri yaitu barang yang ditakar, ditimbang dan dihitung (al-makîl wa al-mawzûn wa al-ma’dûd). Adapun barang yang kepemilikannya tidak disyaratkan serah-terima, maka itu bukan barang yang ditakar, ditimbang dan dihitung semisal hewan, rumah, tanah dan semacamnya. Dalam hal ini si penjual boleh menjual barangnya sebelum dia menerima barang tersebut). Pertanyaannya: Bagaimana menetapkan sesuatu itu termasuk barang yang ditakar, ditimbang atau dihitung ataukah bukan? Disebutkan contoh barang yang tidak ditakar, ditimbang atau dihitung adalah hewan dan rumah. Namun, hewan seperti domba di negeri kami, ketika kami beli, kami timbang, lalu dijual sesuai dengan timbangannya itu. Artinya, menurut yang tampak, hewan itu ditimbang. Demikian juga rumah. Dikatakan satu atau dua lantai. Jadi, rumah juga dihitung. Bagaimana bisa hewan itu bukan termasuk yang ditimbang dan rumah itu bukan termasuk yang dihitung?

 

Jawab:

Pertama: Terkait tranksasi muamalah secara online (melalui internet) maka kami telah menjawab pertanyaan serupa dengan pertanyaan Anda sebabagi berikut:

Mengenai minyak, pertanyaan itu tidak jelas: Apakah Anda mengisi mobil Anda dari SPBU menggunakan kartu debet, lalu Anda memberikan kartu itu kepada penanggung jawab SPBU, kemudian dia mengisi mobil Anda dengan minyak? Jika masalahnya demikian maka boleh. Sebabnya, andai dia tertunda satu atau dua hari menarik (mendebet) harga itu dari rekening Anda maka boleh membeli barang ini secara tidak tunai (kredit) tanpa riba. Jadi Anda menerima barang (bensin untuk mobil Anda) dan dia mengambil harga secara segera atau sehari atau dua hari kemudian. Jika faktanya begitu maka tidak ada masalah.

Adapun jika yang dimaksud adalah Anda membeli sejumlah tertentu minyak, kemudian menjual minyak itu sebelum Anda terima barangnya, maka ini tidak boleh. Sebabnya, serah-terima merupakan syarat dalam jual beli komoditas ini. Zaid bin Tsabit ra. menuturkan:

فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ نَهَى أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ

Sungguh Rasulullah saw. telah melarang barang dijual sebagaimana dibeli sampai pedagang membawa barangnya ke kendaraan mereka.

 

Artinya, barang-barang ini tidak boleh dijual kecuali setelah diperoleh dan diterima. Serah-terima itu merupakan syarat atas keabsahan jual-beli kecuali jika dinyatakan nas yang khusus dalam barang tertentu sehingga boleh dijual tanpa syarat lainnya… Atas dasar itu maka jual-beli sejumlah minyak tanpa serah-terima adalah tidak boleh secara syar’i.

Adapun jika yang Anda maksud adalah menjadi mitra (syarîk) dalam sumur minyak dengan cara membayar dana dengan kartu elektronik melalui internet, maka ini tidak boleh. Sebabnya, sumur-sumur minyak merupakan milik umum sehingga tidak boleh dimiliki sebagai kepemilikan pribadi…

Kedua: Transaksi emas dan perak. Jual-beli emas dan perak, sebagian dengan sebagian lainnya, atau dengan uang, wajib ada serah-terima langsung (hâ‘a wa hâ‘a [kontan/yad[an] bi yad[in]). Ini sebagaimana dinyatakan di dalam hadis dari penuturan Umar ra.:

الذَّهَبُ بِالْوَرِقِ رِباً إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ

(Jual-beli) emas dengan dirham termasuk riba, kecuali kontan (HR al-Bukhari dan Abu Dawud).

 

Oleh karena itu, pembelian emas dengan perak atau uang tidak sah kecuali dengan adanya serah-terima.

Setelah kami telaah tata cara transaksi jual-beli emas dan perak melalui internet maka transaksi tersebut tidak sempurna seketika (kontan), tetapi bisa mengambil waktu berjam-jam atau berhari-hari. Oleh karena itu tidak boleh membeli emas dan perak menggunakan kartu elektronik melalui internet kecuali jika kartu itu didebet dari rekening tersebut seketika ketika membeli emas atau perak yakni, kontan. Jadi janganlah Anda terima emas atau perak itu kecuali pada waktu pembayaran harganya didebet langsung dari rekening Anda. Karena transaksi melalui ineternet, di situ tidak terjadi serah-terima seketika, tetapi setelah satu atau dua hari. Ini tidak boleh.

Ketiga: Transaksi saham dan surat berharga adalah haram. Sebabnya, saham adalah saham syirkah musâhamah (PT) yang secara syar’i batil, juga karena surat berharga itu terkait dengan riba. Kami telah merinci topik syirkah musâhamah (PT) di Kitab An-Nizhâm al-Iqtishâdî. Juga di Booklet Keguncangan Pasar Keuangan (Hazât al-Aswâq al-Mâliyah) dan buku-buku lainnya. Kami menyebutkan di Booklet Keguncangan Pasar Keuangan secara ringkas sebagai berikut:

Hukum transaksi saham dan obligasi, baik menjual maupun membeli, adalah haram. Alasannya, karena saham adalah saham PT yang secara syar’i batil. Saham PT adalah surat berharga yang mengandung sejumlah campuran dari modal yang halal dan keuntungan yang haram dalam akad dan muamalah yang batil. Setiap surat berharga/setiap lembar saham dengan nilai bagian dari aset PT batil. Ia bercampur dengan transaksi batil yang dilarang oleh Syariah. Ini merupakan harta haram. Tidak boleh dijual dan dibeli. Tidak boleh bertransaksi dengan saham. Demikian juga dengan surat utang. Di situ uang diinvestasikan dengan riba, seperti saham bank atau yang semacamnya. Surat utang itu mengandung sejumlah harta haram. Oleh karena itu maka menjualbelikannya menjadi haram. Pasalnya, harta yang dikandung dalam surat utang adalah harta haram.

Keempat: Transaksi pertukaran (jual-beli) mata uang secara online (melalui internet) seperti Dolar dan Euro adalah haram. Ini karena tidak ada serah-terima. Serah-terima itu harus ada dalam transkasi pertukaran mata uang. Serah-terima secara kontan sebagaimana yang berlaku pada emas dan perak juga berlaku pada pertukaran mata uang kertas dengan ‘illat “moneter (an-naqdiyah)”, yakni penggunaannya sebagai harga dan upah. Kami telah menyebutkan di dalam Jawab-Soal pada 11/7/2004 sebagai berikut:


Transaksi kertas berharga (uang kertas). Benar. Atas uang kertas berlaku apa yang berlaku terhadap emas dan perak dari sisi riba dan hukum-hukum uang lainnya. Hal itu karena terealisasinya ‘illat “moneter (an-naqdiyah),” yakni penggunaannya sebagai harga dan upah pada uang kertas ini. Ini yang menjadikan uang kertas mengambil hukum-hukum uang.

Oleh karena itu, atas jual-beli ragam jenis ribawi dengan uang kertas ini berlaku apa yang dinyatakan di dalam hadis: “yad[an] bi yad[in] (kontan)”, yakni bukan secara tempo/krdeit/terutang (dayn).

Rasul saw. bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ, وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ, وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ, وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ, وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ, وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ, مِثْلًا بِمِثْلٍ, سَوَاءً بِسَوَاءٍ, يَداً بِيَدٍ, فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَداً بِيَدٍ»

(Pertukaran) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelay dengan jelay, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, harus semisal, sama, dan kontan. Jika berbeda jenisnya maka juallah sesuka kalian jika kontan (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Lafal al-ashnâf (jenis) itu dinyatakan secara umum pada semua jenis barang ribawi, yakni enam jenis harta. Tidak dikecualikan dari keenamnya sesuatu pun kecuali dengan nas. Karena tidak ada nas yang mengecualikannya, maka boleh gandum dengan jelay, gandum dengan emas, jelay dengan perak, kurma dengan garam, kurma dengan emas, atau garam dengan perak dsb betapapun berbeda nilai transaksi dan harganya, dengan syarat, harus kontan (yad[an] bi yad[in]), bukan secara tempo/kredit/terutang (laysa dayn[an]). Apa yang berlaku atas emas dan perak juga berlaku atas uang kertas karena sama-sama mengandung ‘illat “moneter (an-naqdiyah)”, yakni penggunaannya sebagai harga dan upah.

Dengan mengkaji tata cara transaksi ini melalui internet, yakni jual-beli emas secara online, menjadi jelas bahwa transaksi itu tertunda serah-terimanya selama sehari atau dua hari dari tanggal akad. Ini menyalahi syarat berupa keharusan adanya serah-terima secara kontan, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi saw. (HR al-Bukhari dari dari Bara‘ bin ‘Azib dan Muslim dari Malik bin Aws bin al-Hadatsan).

Atas dasar itu, tidak boleh transaksi jual-beli Euro, Dolar dan mata uang lainnya melalui internet (secara online) karena tidak adanya serah-terima langsung/seketika.

Kelima: Mengenai pertanyaan tentang barang yang ditakar, ditimbang dan dihitung (al-makîl wa al-mawzûn wa al-ma’dûd), maka kami telah menjawab pertanyaan semisal ini dalam Jawab-Soal (12 Februari 2006). Dinyatakan di situ sebagai berikut:

Barang yang dihitung, ditimbang dan ditakar itu sesuai dengan fakta yang ada dalam jual-beli barang. Lihatlah di pasar bagaimana barang ini dijual? Apakah dijual dengan hitungan, yakni apakah ditawarkan di pasar tiap biji sekian atau tiap satuan sekian? Apakah dijual dengan timbangan sehingga ditawarkan tiap kilogram sekian? Atau ditawarkan tiap meter sekian? Atau tiap sha’ sekian?

Jika masalahnya demikian maka atas barang-barang itu berlaku sifat yang dihitung (al-ma’dûd), ditimbang (al-mawzûn) atau ditakar (al-makîl). Baik itu sifat untuk satu atau banyak, yakni bahwa barang tersebut bisa disifati ditimbang dan dihitung (al-mawzûn wa al-ma’dûd). Contoh: gandum, jelay, dll. Ini dengan timbangan dan takaran. Apel, jeruk, dll. Ini dengan timbangan dan hitungan (di sebagian negeri dijual dengan hitungan). Kain dll Ini dengan takaran (hasta dan meter). Juga berdasarkan patokan sifatnya ketika serah-terima. Ini merupakan perkara yang penting untuk menghilangkan ketidakjelasan. Ketika dikatakan, “Aku punya 100 kilogram gandum.” Ini saja tidak cukup untuk menetapkan sifat. Namun, wajib ditentukan jenis gandum tersebut. Dengan itu timbangan itu menghilangkan ketidakjelasan. Begitu pula yang ditakar dan dihitung.

Lalu apakah hewan dijual dengan hitungan sehingga orang menawarkan “setiap unta harganya seribu”, atau ia dijual dan si pembeli melihat unta itu seraya mengatakan bahwa “unta ini tidak setara dengan harga seribu”, kemudian dia memilih unta yang kedua? Ataukah setiap unta itu seperti unta-unta yang lainnya yang mana jual belinya dengan hitungan?

Kemudian apakah rumah dijual dengan hitungan atau timbangan atau takaran, dengan makna, orang menawarkan, “dia punya sepuluh rumah dan dia mengatakan bahwa satu rumah harganya seribu”? Ataukah pembelian rumah itu dengan melihatnya, sementara rumah itu berbeda dari rumah lainnya?

Oleh karena itu, hewan dan rumah tidak dijual secara takaran, timbangan dan hitungan. Mungkin Anda mengatakan, sebagian orang menjual hewan mereka dengan ditimbang. Namun, ini tidak terjadi pada semua hewan. Mungkin seseorang menjual domba tertentu dengan timbangan. Namun, dia tidak menjual setiap domba dan setiap hewan dengan cara ditimbang. Dia, misalnya, tidak menjual sapi dengan ditimbang sehingga tidak dikatakan, misalnya, “Aku punya seratus kilogram hewan.” (tentu yang dimaksud adalah hewan hidup).

Mungkin Anda mengatakan bahwa sebagian orang menjual rumah dengan diukur dengan meteran. Namun, ini tidak berlaku pada setiap rumah. Sebabnya, bisa jadi satu meter di rumah ini dengan harga sepuluh; satu rumah itu dengan harga dua puluh. Begitu seterusnya. Jadi patokan sifatnya tidak dengan takaran. Dengan demikian tidak bisa dikatakan, misalnya, “Aku punya piutang yang menjadi kewajiban Anda seratus meter rumah.”

WalLâh a’lam wa ahkam. []

[Dikutip dari Jawab-Soal asy-Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, tanggal 11 Rabiul Akhir 1446 H – 14 Oktober 2024 M]

 

Sumber:

Https://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/98197.html

https://www.facebook.com/AtaabuAlrashtah.A.HT/posts/122126393720447297

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nine + 17 =

Back to top button