
Akidah Islam
Para Sahabat tidak menggunakan istilah akidah (‘aqiidah) ketika membahas masalah-masalah keimanan. Mereka cukup menyebut istilah al-îmân. Kemudian Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (w. 321 H) mulai menggunakan istilah ‘aqiidah (akidah) ketika beliau menulis satu kitab yang secara khusus membahas masalah yang berhubungan dengan keimanan.
Karena itulah, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mendefinisikan bahwa akidah Islam adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, Hari Akhir, qadha dan qadar baik-buruk keduanya dari Allah. Syaikh Mahmud Syaltut menyatakan, “Al-Quran telah menyebut akidah dengan iman dan syariah dengan amal shalih.”
Dalam perkara akidah dituntut pembenaran yang bersifat pasti, tidak boleh ada keraguan sedikit pun.
اَلْعَقِيْدَةُ هِيَ الْجَانِبُ النَّظَرِي الَّذِيْ يَطْلُبُ اْلاِيْمَانَ بِهِ اَوَّلاً وَقَبْلَ كٌلِّ شَيْئِ اِيْمَانًا لاَ يُرَقِّقُ اِلَيْهُ شَكٌّ وَلاَ تُؤَثِّرُ فِيْهِ شُبْهَةٌ
Aqidah ialah aspek teoretis yang harus dipercaya lebih dulu sebelum segala perkara yang lainnya dengan kepercayaan yang tidak diliputi oleh keraguan dan tidak dipengaruhi oleh kesamaran (kepalsuan) yang menyerupainya.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan, “Iman adalah pembenaran yang pasti sesuai dengan fakta berdasarkan dalil.”
Akidah adalah pemikiran (fikrah) menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan; apa saja yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudahnya; serta hubungan ketiganya dengan kehidupan sebelum dunia dan kehidupan sesudahnya. Pemikiran menyeluruh tersebut merupakan jawaban terhadap tiga pertanyaan paling mendasar dalam hidup, yaitu: 1) dari mana alam semesta ini berasal; 2) untuk apa kehidupan di dunia ini; dan 3) kemana dan ada apa setelah kehidupan dunia ini berakhir?
Al-’Uqdah Al-Kubrâ
Tiga pertanyaan mendasar tersebut (dari mana, untuk apa, dan kemana kembalinya kehidupan ini) merupakan al-’uqdah al-kubrâ (simpul besar) yang membedakan akidah yang ada di dunia ini.
Islam memberikan jawaban bahwa alam, manusia dan kehidupan ini ada karena diciptakan oleh Allah SWT; manusia hidup di dunia ini untuk diuji-Nya dengan perintah dan larangan-Nya; dan kelak setelah kehidupan dunia ini mereka akan dihisab dan diberi ganjaran atas amal perbuatannya. Allah berfirman:
إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا2 إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا3 إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ سَلَاسِلَ وَأَغْلَالًا وَسَعِيرًا4 إِنَّ الْأَبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا
Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak menguji dia (dengan perintah dan larangan). Karena itu Kami menjadikan dia mendengar dan melihat. Sungguh Kami telah menunjuki dia jalan yang lurus. Ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. Sungguh Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala. Sungguh orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur (mata air surga) (QS al-Insan [76]: 2-5).
Adapun akidah Kapitalisme memandang bahwa ada-tidaknya Sang Pencipta tidaklah penting. Yang penting adalah bahwa agama (aturan Tuhan)—jika pun ada—mesti dipisahkan dari kehidupan publik. Inilah yang disebut dengan akidah sekularisme. Kemana setelah kehidupan dunia ini berakhir juga bukan hal penting.
Di sisi lain, akidah Sosialisme/Komunisme memandang bahwa materi adalah satu-satunya keberadaan yang mutlak dan menolak keberadaan apapun selain materi.
Adapun akidah agama-agama selain Islam, seperti Yahudi dan Nashrani, lebih bersifat spiritual semata; mengakui adanya Tuhan, mengakui adanya hisab di hari pembalasan, namun tidak memiliki sistem aturan yang lengkap untuk menjalani kehidupan di dunia ini.
Aqîdah ‘Aqliyyah
Akidah Islam adalah aqîdah ‘aqliyyah, yakni akidah yang bisa diverifikasi melalui jalan berpikir dengan menyelidiki realitas yang terindera, yaitu alam semesta, manusia dan kehidupan. Tidak harus jenius. Siapa saja yang memiliki akal, akan mampu untuk mengetahui keberadaan Allah SWT. Imam al-Ashma’i (w. 216 H) pernah bertanya kepada seorang Badwi, “Bagaimana engkau mengetahui adanya Allah?” Badwi itu menjawab:
البَعْرَةُ تَدُلُّ عَلَى الْبَعِيْرِ, وَالرُّوْثُ يَدُلُّ عَلَى اْلحَمِيْرِ, وَآثَارُ اْلأَقْدَامِ عَلَى الْمُسِيْرِ, فَسَمَاءُ ذَاتَ أَبْرَاجٍ, وَأَرْضُ ذَاتَ فِجَاجٍ, وَأَبْحُرُ ذَاتَ أَمْوَاجٍ أَلاَّ يَدُلُّ ذَلِكَ عَلَى اللَّطِيْفِ الْخَبِيْرِ
Tahi unta itu menunjukkan adanya unta. Kotoran keledai menunjukkan adanya keledai. Bekas tapak kaki menunjukkan adanya orang yang berjalan. Karena itu langit yang punya gugusan bintang, bumi yang memiliki jalan-jalan yang lebar, dan laut-laut yang bergelombang, tidakkah itu menunjukkan adanya (Allah) Yang Mahalembut lagi Mahatahu?”
Adapun untuk perkara yang tidak terindera tidak bisa dibuktikan secara langsung oleh akal bisa dibuktika—secara tidak langsung—melalui informasi dari al-Quran yang terbukti secara akal berasal dari Allah. Dengan demikian apa saja yang diberitakan di dalam al-Quran mesti dibenarkan pula oleh akal.
Mengenai bukti bahwa Al-Quran itu datang dari Allah, dapat dilihat dari kenyataan bahwa al-Quran adalah sebuah kitab berbahasa Arab yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw. Dengan realitas ini, dalam menentukan darimana asal al-Quran, akan kita dapatkan tiga kemungkinan. Pertama: Al-Quran itu merupakan karangan orang Arab. Kedua: Al-Quran adalah karangan Muhammad saw. Ketiga: Al-Quran berasal dari Allah SWT saja. Tidak ada lagi kemungkinan selain dari yang tiga ini. Sebabnya, al-Quran adalah khas Arab, baik dari segi bahasa maupun gayanya.
Kemungkinan pertama—bahwa al-Quran adalah karangan orang Arab—tertolak. Pasalnya, al-Quran sendiri telah menantang mereka untuk membuat karya yang serupa. Orang-orang Arab telah berusaha keras mencoba, namun tidak berhasil. Ini membuktikan bahwa al-Quran bukan berasal dari perkataan mereka.
Kemungkinan kedua—bahwa al-Quran itu karangan Muhammad saw.—juga tidak dapat diterima oleh akal. Sebabnya, Muhammad saw. adalah orang Arab juga. Selama seluruh bangsa Arab tidak mampu menghasilkan karya yang serupa, maka masuk akal pula jika Muhammad—yang juga termasuk salah seorang dari bangsa Arab—tidak mampu menghasilkan karya yang serupa. Apalagi dengan banyaknya hadis shahih yang berasal dari Nabi Muhammad saw., yang sebagian malah diriwayatkan lewat cara yang tawatur, yang kebenarannya tidak diragukan lagi. Jika setiap hadis dibandingkan dengan ayat manapun dalam al-Quran, tidak akan dijumpai adanya kemiripan dari segi gaya bahasanya. Padahal Nabi Muhammad saw., selain selalu membacakan setiap ayat-ayat yang beliau terima, dalam waktu yang bersamaan juga mengeluarkan hadis. Namun, keduanya tetap berbeda dari segi gaya sastranya. Bagaimanapun kerasnya usaha seseorang untuk menciptakan berbagai macam gaya bahasa dalam pembicaraannya, tetap saja akan terdapat kemiripan antara gaya yang satu dengan yang lain. Semua itu merupakan bagian dari ciri khasnya dalam berbicara. Oleh karena memang tidak ada kemiripan antara gaya bahasa al-Quran dengan gaya bahasa hadis, berarti al-Quran itu bukan perkataan Nabi Muhammad saw.
Dengan demikian tinggal kemungkinan ketiga yang pasti benarnya, yakni sesungguhnya al-Quran itu adalah firman Allah, kalamulLâh, yang menjadi mukjizat bagi pembawanya.
Akidah dan Kebangkitan Umat
Persoalannya, bagaimana akidah bisa membangkitkan umat sebagaimana dulu? Akidah Islam yang akan membangkitkan umat adalah akidah yang mengikat dan menyatukan mereka. Akidah inilah yang dulu menyatukan suku Aus dan Khazraj. Padahal mereka sebelumnya dilanda perang saudara yang tak kunjung henti. Akidah inilah yang tidak berhenti pada tataran teori, namun betul-betul dijadikan landasan dalam aktivitas sehari-hari, dibarengi dengan keyakinan bahwa tiap gerak mereka akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Imam al-Hasan al-Bashri berkata:
لَيْسَ اْلإِيْمَانُ بِالتَّمَنِّي وَلاَ باِلتَّحَلِّي وَلَكِنَّهُ بِمَا وُقِّرَ فِي الصُّدُوْرِ وَصَدَّقَتْهُ اْلأَعْمَالُ
Iman bukanlah angan-angan semata, bukan pula sekadar membaguskan (tampilan). Namun, iman adalah apa yang terhunjam di dada dan dibenarkan oleh amal.
Saat ini, umat Islam masih berakidah Islam. Namun, sebagian mereka energinya lebih tercurahkan untuk berpolemik dan berdebat antar akidah mazhab. Karena itulah akidah umat Islam saat ini telah kehilangan tiga hal:
- Kehilangan ikatan dengan pemikiran, kehidupan dan sistem hukum yang mengatur kehidupannya.
- Kehilangan konsepsi tentang apa yang akan datang setelah kehidupan (Hari Kiamat dan Hisab).
- Kehilangan tali ikatan antarsesama Muslim sebagai sebuah komunitas atau ukhuwah islamiyah.
Akibatnya, akidah umat ini seperti mayat, karena telah dipisahkan dari pemikirannya. Akidah umat ini juga tidak lagi mampu menggentarkan mereka akan azab Allah di akhirat serta kerinduan untuk mendapatkan surga-Nya. Terakhir, umat ini telah terbelah dan bercerai-berai menjadi bangsa dan negara, lebih dari 50 entitas politik yang tak berdaya, akibat dari hilangnya tali ikatan yang mengikat antar sesama Muslim.
WalLâhu a’lam. [M. Taufik NT]