Fokus

Pergolakan Dunia Ke Arah Perubahan

Pergolakan politik, ekonomi dan sosial di dunia saat ini diprediksi akan mengarah pada suatu perubahan besar. Salah satunya, Kapitalisme global bakal ambruk. Pandemi yang telah menerpa dunia hampir dua tahun itu juga akan mempercepat berbagai perubahan besar tersebut. Pasalnya, pandemi telah menyebabkan perekonomian dunia tertekan yang bisa berujung pada krisis. Tidak hanya krisis ekonomi, tetapi juga krisis kepercayaan, politik dan sosial. Dampaknya telah menjalar ke hampir semua negara di dunia, baik berupa krisis pertumbuhan ekonomi maupun krisis lainnya.

Pandemi makin mempertegas kerentanan tatanan Kapitalisme global, khususnya pada aspek ekonomi. Banyak para ekonom dunia yang memprediksi kemungkinan besar akan terjadi keruntuhan ekonomi Kapitalisme global. Salah satu faktor pemicu utamanya adalah pandemi yang terus melanda dunia hingga kini.

Pandemi sejak 2020 hingga 2022 telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi global mengalami resesi di angka negatif. Berbagai negara di dunia mengalami perlambatan ekonomi yang kemudian berimbas pada krisis sosial dan politik. Pandemi ini pun memperlihatkan ketidakmampuan negara adidaya Amerika Serikat dalam meminimalkan dampak terhadap perekonomiannya.

 

Makin Melemah

Futurolog Yoshihiro Francis Fukuyama dalam bukunya, The End of History and the Last Man, menyatakan bahwa Kapitalisme merupakan akhir dari peradaban umat manusia. Ia berasumsi bahwa Kapitalisme merupakan titik final dari evolusi ideologi dan format politik pemerintahan, hingga ia menyebutnya sebagai akhir sejarah (the end of history).

Setelah 30 tahun berselang (1992-2022) kini peradaban Kapitalisme global semakin tampak kerapuhannya, bahkan telah berada di tepi jurang keruntuhannya. Ideologi ini sedang berjuang sekadar untuk memperpanjang masa eksistensinya. Berbagai gejolak politik global terakhir ini diprediksi akan menjadi rangkaian fase kejatuhan ideologi Kapitalisme.

Sebuah peradaban akan terus eksis dan bertahan jika mampu menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan manusia. Jika sebaliknya, atau peradaban itu justru melahirkan berbagai kerusakan dan kesengsaraan, maka peradaban tersebut akan ditinggalkan yang kemudian akan berujung pada keruntuhannya.

Hal inilah yang sedang terjadi pada peradaban Kapitalisme saat ini. Peradaban tersebut telah terbukti gagal menyelesaikan berbagai problem kehidupan. Kapitalisme bahkan banyak menyebabkan kerusakan dan kesengsaraan bagi umat manusia. Pada konteks global, di semua negara yang menganut sistem Kapitalisme telah tercipta kemiskinan dan kesenjangan sosial yang semakin parah.

Seperti yang dilaporkan oleh lembaga asal Inggris, Oxfam, yang berjudul, “Time to Care Unpaid and Underpaid Care Work and the Global Inequality Crisis”, ketimpangan ekonomi telah berjalan di luar kendali. Pada tahun 2019, sebanyak 2.153 miliarder dunia memiliki kekayaan melebihi total kekayaan 4,6 miliar orang penduduk dunia. Satu persen orang terkaya di dunia memiliki lebih dari dua kali lipat total kekayaan dari seluruh penduduk bumi (Qxfam.org, 2020).

Berdasarkan laporan World Economic Outlook edisi Oktober 2021, International Monetary Fund (IMF) menyatakan bahwa perekonomian dunia tumbuh negatif. Hal itu disinyalir akibat isu gangguan suplai di negara maju serta sempat memburuknya kasus pandemi di sejumlah negara. Pertumbuhan negatif tersebut terjadi secara luas di negara maju maupun negara berkembang. Kondisi ini menunjukkan adanya peningkatan risiko ekonomi global. Artinya, pandemi ini memberikan dampak yang sangat besar terhadap kinerja ekonomi global. Ini menggambarkan buruknya kinerja ekonomi kapitalisme saat ini.

Laporan Indeks Kelaparan Global (2021) yang dikeluarkan oleh Welthungerlife and Concern Worldwide mengungkapkan bahwa sekitar 50 negara di dunia saat ini menghadapi tingkat kelaparan serius. PBB juga menerbitkan data terbaru terkait jumlah orang yang tidak mendapatkan nutrisi yang layak di dunia. Menurut data PBB tersebut, pada tahun 2020 jumlahnya meningkat 320 juta menjadi 2,4 miliar orang. Ini berarti hampir sepertiga populasi dunia.

Berbagai fakta tersebut menunjukkan bahwa Kapitalisme telah gagal menciptakan kesejahteraan dan keadilan ekonomi. Bahkan sebaliknya, Kapitalisme menciptakan berbagai ketidakadilan dan kesenjangan yang berujung pada kesengsaraan. Para ekonom dunia peraih Nobel, seperti Paul Krugman dan Joseph Stiglitz, telah sejak lama memprediksi bahwa krisis ekonomi yang melanda Eropa, AS, Jepang dan pusat-pusat Kapitalisme lainnya tidak dapat diprediksi kapan berakhirnya. Karena itu McMurtry menganggap ekonomi kapitalisme itu bagaikan kanker, yang terus menjalar menuju pintu kematian (John McMurtry, The Cancer Stage of Capitalism, 2009).

 

Kegagalan Negara Adidaya

Hingga saat ini Amerika Serikat (AS) masih memegang posisi sebagai negara adidaya. Sekaligus sebagai jantung utama peradaban Kapitalisme. Namun, berbagai gejolak politik, militer, ekonomi dan sosial yang menerpa AS semakin menunjukkan bahwa negara tersebut sebenarnya sedang sempoyongan meski sekadar mempertahankan eksistensinya.

Berbagai media internasional bahkan menjuluki AS sebagai negara yang sedang sakit parah (the sick man). Media internasional Bloomberg membuat analisis kondisi AS yang sakit tersebut dengan judul “The U.S. Is the Sick Man of the Developed World” (Bloomberg.com, 31/07/2017). Media Foreign Policy mengulasnya dalam topik yang berjudul, “The American Empire Is the Sick Man of the 21st Century” (Foreignpolicy.com, 02/04/2019).

Analisis berbagai media internasional tersebut berdasarkan data riil kondisi AS dari berbagai sisi. Mulai dari sisi politik, ekonomi, sosial, militer dan sebagainya. Mereka menyimpulkan bahwa kondisi AS sedang sakit. Fakta terbaru hingga tahun 2022 ini bahkan menunjukkan kondisi lemah dan sakitnya AS tersebut semakin parah. Di antaranya adalah terjadi penarikan semua pasukan AS dari Afganistan mulai 31 Agustus 2021 lalu. Penarikan ini dilakukan setelah 20 tahun AS bersama NATO berupaya menggulingkan kekuasaan Taliban dan menggantinya dengan rezim boneka. Selama 20 tahun itu juga, AS melalui empat presiden yang pernah berkuasa, berusaha sekuat tenaga untuk menghancurkan Taliban. Namun, Taliban justru melakukan perlawanan sengit yang berakhir pada pengusiran tentara AS dan sekutunya dari wilayah Afghanistan. Terusirnya tentara AS dan sekutunya tersebut membuktikan bahwa AS tidaklah sedigdaya seperti yang selalu diopinikan oleh media pro-AS.

AS menghabiskan lebih dari 2 triliun dolar untuk perang di Afghanistan selama 20 tahun itu. Berbagai dokumen menyebutkan bahwa anggaran yang dihabiskan AS di Afghanistan lebih dari 300 juta dolar perhari. Perang di Afganistan juga telah membuat Amerika kehilangan banyak nyawa. Jumlah tentara Amerika yang tewas berjumlah sekitar 2.500 tentara. Hampir 4.000 kontraktor sipil AS tewas. Satu kesimpulan penting terkait hal ini bahwa AS bersama NATO telah gagal total dari sisi militer di Afganistan.

Kasus pandemi Corona semakin menambah fakta tentang rapuhnya kondisi dalam negeri AS, khususnya terkait penanganan penyakit dan kesehatan warganya. Hingga Januari 2022, sudah lebih dari 58 juta total warga AS terinfeksi virus Corona. AS menduduki ranking pertama di dunia sebagai negara yang paling banyak terinfeksi virus Corona. AS juga menduduki urutan pertama di dunia dari sisi jumlah warganya yang meninggal akibat Corona, yakni lebih dari 850 ribu orang (Worldometers.info, 06/01/2022).

Media internasional Associated Press (Apnews.com) pada tahun 2020 lalu pernah menjuluki New York sebagai ‘deadliest place on earth’ alias tempat paling mematikan di dunia. Kasus pandemi Corona di AS itu menjadi bukti nyata kegagalan sistem Kapitalisme yang mana AS menjadi pimpinannya.

Pada kondisi pandemi Corona ini AS tampak seperti negara kecil yang tidak berdaya. Padahal AS memiliki banyak rumah sakit dengan kategori terbaik di dunia. AS juga menjadi negara pengekspor teknologi kesehatan tercanggih ke berbagai negara. AS juga membelanjakan 3.6 triliun dolar pertahun untuk pelayanan kesehatan yang setara dengan 17 persen dari PDB AS atau setara lima kali lipat dari anggaran militer AS.

Hal ini menunjukkan satu fakta bahwa kegagalan AS dalam menghadapi wabah Corona ini bukan semata muncul akibat minimnya harta dan kemampuan. Namun, kegagalan itu lebih disebabkan oleh tatacara pendistribusian harta dan rusaknya pemeliharaan urusan masyarakat yang bersumber dari ideologi Kapitalisme yang mereka terapkan. AS membelanjakan lebih dari 70 persen anggaran kesehatannya itu pada perusahaan asuransi dan farmasi.

Dana tersebut dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asuransi dan farmasi yang perhatiannya hanya pada profit semata. Jadi yang menikmati anggaran besar dana kesehatan AS itu adalah perusahaan asuransi dan farmasi yang dikuasai oleh segelintir elit para pengusaha besar. Wajar saja banyak rumah sakit di AS di tengah pandemi Corona ini kekurangan alat-alat medis sederhana yang tidak memerlukan teknologi tinggi seperti ventilator, jas pengaman medis, dan sejenisnya.

Kalangan intelektual Barat sendiri sudah banyak yang mengeluarkan analisisnya berkaitan dengan kondisi kemerosotan AS yang mengarah pada kehancurannya. Di antaranya disampaikan oleh Morris Berman dalam bukunya, Dark Ages America: The Final Phase of Empire (2007). Ia mengatakan bahwa AS akan terpinggirkan dari panggung dunia dan hegemoninya akan segera berakhir.

Berman menggambarkan Amerika sebagai sebuah kultur dan emosional yang rusak oleh peperangan, menderita karena kematian spiritual dan dengan intensif mengeskpor nilai-nilai palsunya ke seluruh dunia dengan menggunakan senjata. Dikatakan juga bahwa republik yang berubah menjadi imperium itu berada pada zaman kegelapan baru dan menuju keruntuhannya sebagaimana dialami imperium Romawi.

 

Islam dan Arah Perubahan Dunia

Jelas, ideologi Kapitalisme kini sedang berada di tepi jurang keruntuhannya. AS sebagai pusat kapitalisme dunia juga sedang dilanda berbagai keterpurukan. Berbagai gejolak politik, ekonomi dan sosial serta kondisi buruk akibat pandemi diprediksi akan mempercepat rangkaian fase kejatuhan ideologi kapitalisme tersebut.

Pada konteks perang peradaban (clash civilization), kondisi ini sangat menguntungkan bagi umat Islam yang sedang berjuang mengembalikan ideologi Islam ke pentas kehidupan melalui penegakan kembali Negara Khilafah. Apalagi secara internal kesadaran umat Islam untuk membangun kembali institusi Khilafah kini semakin menguat. Hal tersebut tentu terkait dengan semakin meningkatnya pemahaman umat terhadap ide Khilafah sebagai ajaran Islam.

Apalagi kondisi keterjajahan dan keterpurukan umat Islam saat ini memang membutuhkan institusi Khilafah sebagai kekuatan global untuk menyelesaikannya. Misalnya kasus genosida terhadap Muslim Uighur di wilayah Xinjiang Cina yang tidak mampu dicegah dan dihentikan oleh negara-negara Muslim yang ada saat ini.

Demikian juga yang terjadi di Palestina, Suriah dan negeri-nengeri Islam lainnya. Sudah ada ratusan resolusi yang dikeluarkan PBB untuk Palestina dan Suriah. Namun, tebukti resolusi tersebut tidak menyelesaikan masalah bahkan justru makin memperpanjang penderitaan umat Islam di sana.

Pada sisi lain, rezim lokal di negeri-negeri Islam kini semakin tidak dipercaya oleh umat. Termasuk para penguasa boneka hasil dari peristiwa Arab Spring. Pasalnya, mereka terbukti refresif terhadap umat Islam dan bahkan menjadi perpanjangan tangan negara penjajah. Misalnya, pada kasus genosida terhadap Muslim Uighur tersebut, para penguasa di negeri-negeri Islam hanya diam tanpa melakukan apa pun untuk menghentikannya. Mereka tidak berani karena disinyalir akan membahayakan hubungan ekonomi mereka dengan Cina.

Hal ini menunjukkan fakta kelemahan dan keterpurukan umat Islam akibat terpecah-belah ke dalam nation-state. Kondisi makin parah karena rezim di negeri-negeri Islam justru bersahabat dengan negara penjajah dan refresif kepada umat Islam. Berbagai fakta empiris ini tentu akan semakin memperkuat keinginan umat Islam untuk segera menegakkan kembali Khilafah sebagai satu kekuatan global dan pelindung umat di dunia internasional.

Berbagai potensi SDM dan SDA yang dimiliki umat Islam, baik secara kuantitas maupun kualitas, ditambah dengan kekuatan i’tiqaadi akan semakin memperkokoh perjuangan umat untuk segera menegakkan kembali Khilafah Rasyidah tersebut. Khilafah akan mengatur dunia berdasarkan hukum syariah yang penuh rahmat.

Karena itu perjuangan untuk menegakkan syariah secara kaaffah dalam naungan Khilafah Rasyidah itu harus dapat dibaca sebagai perjuangan mewujudkan perubahan demi mencapai kesejahteraan hakiki bagi masyarakat dunia, sekaligus mengakhiri berbagai kesengsaraan yang diakibatkan oleh tatanan kapitalisme global. [Dr. Muhammad K. Shadik]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eighteen − two =

Back to top button