Aji Mumpung
Sah. Rancangan Undang-undang (RUU) Ibu Kota Negara (IKN) disahkan menjadi Undang-Undang. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rapat Paripurna ke-13 masa persidangan III tahun sidang 2021-2022 pada hari Selasa, 18 Januari 2022, menngesahkan undang-undang tersebut. Nama kotanya adalah Nusantara. Jadi, ibukota Indonesia kelak bukan lagi Jakarta melainkan Nusantara.
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan satu-satunya Fraksi DPR-RI yang menolak pengesahan RUU tersebut. Salah satu alasannya, rencana pemindahan ibukota negara mulai tahun 2024 itu tidak terdapat dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) 2005-2025. RUU IKN ini pun masih memuat potensi masalah baik secara formil maupun materiil, mulai dari proses pembahasan yang sangat singkat hingga banyaknya substansi yang belum dibahas secara tuntas.
Mengapa harus pindah ibukota? Ini pertanyaan dasar dari masyarakat yang penting dijawab. Dalam UU IKN diungkapkan Jakarta sudah dianggap tak layak dengan pertumbuhan penduduk yang sangat cepat dan untuk pemerataan ekonomi di luar Jawa. Aktivis lingkungan Dandhy Laksono mengungkapkan bahwa alasan pemindahan ibukota yang dikemukakan Pemerintah sebagai pemerataan tak dapat diterima (19/1/2022). ”Pemerataan? Ibukota di mana pun akan mengulang masalah yang sama jika ekonominya dibangun berbasis pemusatan pada 1% oligarki dan yang lain mengharap tumpahan,” tambahnya.
Sebelumnya, kritik mengalir. Namun, anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Sekadar menyebut, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Manajer Kampanye Eksekutif Nasional Walhi Wahyu Perdana menyatakan dalam Siaran Pers (13/01/2022), “Alih-alih belajar dari proses pembentukan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang diputus inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, proses pembahasan RUU IKN dengan super cepat justru mereplikasi kembali proses yang salah.”
Benar perkataan Wahyu, prosesnya super cepat. Panitia Khusus RUU IKN mulai bekerja dengan menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan ahli dan akademisi pada 9 Desember 2021. Kemudian, diketok palu pada 18 Januari 2022. Hanya butuh waktu 41 hari.
“Di tengah pandemi. Masyarakat geraknya dibatasi. Protes lewat demontrasi sangat sulit dilakukan dengan alasan menghindari kerumunan. Dalam kondisi itu, UU yang super penting dibuat dengan sangat super cepat. Pasti ada apa-apanya,” Mas Hazi menyampaikan pikirannya kepada saya.
“Aji mumpung. Mumpung berkuasa. Mumpung rakyat diembargo dengan Covid-19. Seolah mereka sesumbar, ‘Ini yang gua mau, loe mau apa?’” tegasnya rada emosi.
“Kacamata yang dipakai kacamata kuda. Tidak peduli kiri-kanan, aturan pun dilabrak,” Mas Bowo menambahkan.
Dia segera mengingatkan, “Coba lihat saat pembuatan UU Cipta Kerja (Omnibus law), juga sangat cepat. Kalau tidak salah hanya butuh waktu 8 bulan. Kan dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai inkonstitusional.”
“Seingat saya, salah satu yang disoroti MK adalah pentingnya partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) dalam pembuatan UU. Dalam RUU IKN ini partisipasi publik yang bermakna diabaikan. Tidak melibatkan semua unsur masyarakat, baik petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan, juga organisasi masyarakat sipil,” paparnya.
Tak sekadar itu, dugaan korupsi dalam pembentukan IKN juga mencuat. Bersamaan dengan pengesahan UU IKN (18/1/2022), Komunitas Masyarakat Antikorupsi Tolak Pindah Ibu Kota menyampaikan laporan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tertera dalam Tanda Bukti Penerimaan Dokumen yang beredar di media sosial, laporan itu diterima jam 11.20.
Komentar tegas juga datang dari Ahmad Khozinuddin (18/1/2022), “Melalui peristiwa demi peristiwa legislasi, menjadi teranglah bahwa sejatinya DPR RI bukanlah wakil rakyat, melainkan wakil bahkan hamba oligarki.”
Advokat sekaligus Ketua Umum KPAU tersebut menambahkan, “Jelas, yang diuntungkan dari proyek pindah IKN adalah oligarki. Mereka pemilik lahan, pemilik usaha pengadaan barang dan jasa, perusahaan konstruksi, para oligarki tambang yang diputihkan dosanya via proyek IKN, dan para pejabat culas yang ngalap berkah dari proyek ini.”
Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang biasanya kritis, hanya bisa menyatakan dalam akun Twitter @fadlizon (18/1/2022), “Usul sy nama ibu kota langsung saja “Jokowi”. Sm dg ibu kota Kazakhstan “Nursultan” (dr nama Presiden Nursultan Nazarbayev)”.
“Nusantara” kurang cocok jadi nama ibukota baru. Nusantara punya pengertian sendiri sbg wilayah Indonesia, belum lg ada “Wawasan Nusantara”,” lanjutnya.
“Itulah demokrasi,” Mas Hazi lagi.
“Mengaku kedaulatan di tangan rakyat, tapi meaningful participation saja tidak dilakukan. Katanya kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dan kebijaksanaan. Namun, pembahasannya pun sangat terburu-buru. Kejar tayang,” tambahnya.
“Iya ya, bilangnya check and balances. Faktanya, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif satu gerbong. Mana bisa melakukan check and balances,” Mas Bowo menimpali.
“Teman saya pernah menyampaikan, yang terjadi saat ini bukan Trias Politica melainkan Trias Corruptica. Dulunya saya ngambek sama dia tuh. Tapi sekarang saya pikir benar juga omongan teman saya itu,” tambahnya.
Saya sampaikan kepada kedua kawan itu, “Itulah realitas yang kita hadapi. Itulah pula sebabnya kita perlu melek politik. Jangan sampai umat Islam buta politik apalagi tidak memiliki kesadaran politik alias wa’yu siyasiy.”
Saya sampaikan juga kepada mereka untuk menghayati sebuah sabda Rasulullah saw. Dari Abu Hurairah r.a bahwa Nabi saw. bersabda: “Akan datang kepada masyarakat tahun-tahun yang penuh tipuan. Pada tahun-tahun itu pembohong dipandang benar. Yang benar dianggap bohong. Pada tahun-tahun tersebut pengkhianat diberi amanat. Orang yang amanah dianggap pengkhianat. Pada saat itu yang berbicara adalah ruwaybidhah.” Lalu ada Sahabat bertanya, “Apakah ruwaybidhah itu?” Rasulullah saw. menjawab, “Orang bodoh yang berbicara/mengurusi urusan umum/publik.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, Abu Ya’la dan al-Bazzar).
“Hal itu baru akan dapat kita ketahui realitasnya jika kita memiliki kesadaran politik,” saya tambahkan.
Kepada para pengambil kebijakan perlu diingatkan, “Berbahagialah orang yang mati, lalu mati (berhenti) pula dosa-dosa yang bersamanya. Kecelakaan panjang bagi orang yang mati namun dosa-dosanya masih tetap ada hingga seratus tahun, dua ratus tahum, atau bahkan lebih. Dia diazab di kuburnya karena dosa-dosanya dan ditanya tentangnya hingga berakhirnya.” (Al-Ghazali, Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn, hlm. 74).
Jangan aji mumpung! [Muhammad Rahmat Kurnia]