
Tasharruf Harta Menjelang Kematian
«إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ تَصَدَّقَ عَلَيْكُمْ بِثُلُثِ أَمْوَالِكُمْ عِنْدَ وَفَاتِكُمْ زِيَادَةً فِي حَسَنَاتِكُمْ لِيَجْعَلَهَا لَكُمْ زَكَاةً فِي أَمْوَالِكُمْ»
Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah bersedekah kepada kalian dengan sepertiga harta kalian ketika (menjelang) kematian kalian sebagai tambahan dalam kebaikan kalian agar Dia menjadikan itu sebagai penyucian dalam harta kalian. (HR ad-Daraquthni no. 4289, ath-Thabarani di dalam Mu’jam al-Kabîr no. 94, al-Baihaqi di dalam Al-Khilâfiyât).
Ibnu al-Mulaqin (w. 804 H) berkomentar di dalam Al-Badru al-Munîr, “Ini adalah hadis dari Ismail bin ‘Ayyasy, dari Utbah bin Humaid, dari al-Qasim, dari Abu Umamah, dari Muadz bin Jabal. Al-Qasim adalah Ibnu Abdirrahman dan pada dirinya ada kelemahan. Ismail bin Ayyasy dha’if dalam riwayatnya dari selain asy-Syamiyyin. Hadis ini termasuk riwayatnya dari selain mereka sebab dari Utbah bin Humaid dan dia Bashriy. Selain itu Utbah didhaifkan oleh Ahmad.”
Namun, al-Haytsami (w. 807 H) di dalam Majma’ az-Zawâ‘id mengatakan bahwa Utbah bin Humaid disahihkan oleh Ibnu Hibban dan lainnya.
Hadis ini juga diriwayatkan dengan redaksi serupa dari Abu Hurairah, Abu ad-Darda’, Abu Bakar ash-Shiddiq dan Khalid bin ‘Ubaidullah as-Sulami.
Hadis Abu Hurairah ra. diriwayatkan oleh Ibnu Majah di dalam Sunan Ibni Mâjah no. 2709, al-Bazzar di dalam Musnad al-Bazar no. 9316 dan al-Baihaqi di Al-Khilâfiyât dari Thalhah bin Amru al-Makkiy dari Atha’ bin Abiy Rabah dari Abu Hurairah. Tentang Thalhah, az-Zaila’iy (w. 762 H) mengatakan di dalam Nashbu ar-Râyah: Al-Bazzar berkata: “…Dia, meski jamaah meriwayatkan dari dirinya, bukan perawi kuat.”
Ibnu al-Mulaqin berkata di dalam Al-Badru al-Munîr, “Mereka mendhaifkannya. Ahmad berkata: lâ syay‘a (tidak ada apa-apanya), matrûk al-hadîts. Al-Bazzar menilainya layyin. Ia berkata: bukan perawi yang hâfizh (hapalannya kuat).”
Hadis Abu ad-Darda’ diriwayatkan oleh Ahmad no. 27482, al-Bazar no. 4133, ath-Thabarani di dalam Musnad asy-Syâmiyyîn no. 1484. Ibnu al-Mulaqin berkata, “Di dalam sanadnya ada Abu Bakar bin Abiy Maryam dan pada dirinya ada kelemahan; mencampuradukkan hadis. Ibnu Hibban berkata: ia buruk hapalannya, tidak dijadikan hujjah jika menyendiri.”
Al-Harits bin Khalid bin Ubaidullah as-Sulami meriwayatkan dari bapaknya, bahwa Rasul saw. bersabda:
Sesungguhnya Allah memberi kalian ketika (menjelang) wafat kalian sepertiga harta kalian sebagai tambahan dalam amal-amal kalian (HR ath-Thabarani di Mu’jam al-Kabîr no. 4129, Ibnu Abiy ‘Ashim di al-Ahâd wa al-Matsâniya no. 1385).
Al-Haytsami (w. 807 H) di dalam Majma’ az-Zawaid menilai hadis ini hasan. Ibnu al-Mulaqin di dalam Al-Badru al-Munîr berkata, “Isnad hadis ini jayyid (baik). Namun, dinyatakan oleh Ibnu al-Atsir di dalam Ma’rifatu ash-Shahâbah bahwa Khalid diperselisihkan sebagai Sahabat…Abu Umar berkata: Isnad hadis ini tidak tegak hujjah dengannya, sebab mereka majhûl.”
Alhasil, semua riwayat hadis di atas tidak kosong dari penilaian lemah. Namun, tidak ada yang lemah karena mungkar atau perawinya dituduh dusta. Maka dari itu, riwayat di atas dapat menjadi syâhid satu sama lain sehingga hadis di atas menjadi hasan li ghayrihi. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani (w. 852 H) berkata di dalam Bulûgh al-Marâm tentang semua riwayat di atas, “Semuanya dha’if, tetapi sebagian menguatkan sebagian yang lain.”
Alhasil, hadis ini adalah hasan dan sah dijadikan hujjah dalam hukum syariah.
Sabda Rasul saw., “InnalLâh tashaddaqa ‘alaykum ‘inda wafâtikum bi tsulutsi amwâlikum”, menurut Nuruddin as-Sindi (w. 1138 H) di dalam Hâsyiyah as-Sindi ‘alâ Sunan ibni Mâjah, yakni Allah telah menjadikan untuk kalian dan memberi kalian hak tasharruf meski ahli waris tidak ridha.”
Imam al-Munawi (w. 1031 H) menjelaskan hadis ini di dalam Faydh al-Qadîr, yakni memungkinkan kalian untuk melakukan tasharruf harta ketika itu dengan wasiat dan yang lainnya. Jadi wasiyat sepertiga harta adalah sah meski bersama dengan adanya ahli waris dan ketidaksetujuan mereka. “Wa ja’ala dzâlika ziyâdat[an] lakum fî a’mâlikum”. Artinya, pahala wasiat tersebut termasuk amal si mayit dan dia diberi pahala jika wasiatnya diterima.
Jadi, tasharruf atas harta pada waktu menjelang kematian, terutama dalam kondisi sakit (maradh al-mawt) baik wasiat, hibah, dan lainnya, maka boleh maksimalnya sepertiga dari harta yang dimiliki. Menurut para ulama, itu dinilai sebagai wasiat dan dijalankan pada maksimal sepertiga harta.
Hal itu ditegaskan oleh hadis dari Imran bin Hushain ra:
Seorang laki-laki memerdekakan enam orang budak miliknya ketika menjelang kematiannya. Dia tidak memiliki harta selain mereka. Lalu Rasulullah saw. memanggil mereka dan membagi mereka menjadi tiga bagian (kelompok tiap kelompok dua orang), Beliau mengundi di antara mereka lalu memerdekakan dua orang dan tetap menjadikan empat orang sebagai budak. Beliau kemudian mengatakan ucapan yang tegas untuk dirinya (HR Muslim no. 1668, Ahmad no. 19826, Abu Dawud no. 3958, Ibnu Majah no. 2345, an-Nasai no. 1958, at-Tirmidzi no. 1364 dan lainnya, ini adalah redaksi Imam Muslim).
Hadis Imran ini sekaligus menegaskan kebolehan wasiat untuk selain kerabat. Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) menyatakan di dalam Al-Istidzkâr: Wasiat ini untuk mereka (6 orang budak) pada sepertiganya karena perbuatan orang yang sakit itu semuanya adalah wasiat pada sepertiganya. Rasulullah saw. memperbolehkan wasiat tersebut dengan memerdekakan sepertiga dari mereka dan mereka tidak diragukan lagi bukan kerabatnya.”
Selain itu al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm menyatakan: jika tasharruf seseorang berupa memerdekakan budak tidak diterapkan, seraya ada dorongan dari asy-Syâri’ atasnya, maka tasharruf lainnya lebih utama lagi tidak diterapkan.
Jadi seseorang dilarang menghibahkan, menghadiahkan, mewasiatkan atau melakukan tasharruf lainnya atas hartanya di kala menjelang kematian atau sakit menjelang maut (maradh a-mawt). Jika dia melakukan itu maka diterapkan pada maksimal sepertiga dari hartanya.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]