H.M. Ismail Yusanto: Tolak RUU HIP!
Pengantar Redaksi:
Sejak awal, RUU HIP penuh kontroversi. Terutama karena isinya mengarah pada sekularisme radikal. Selain terkesan longgar terhadap ide Komunisme.
Apa sebetulnya yang melatarbelakangi lahirnya RUU ini? Siapa inisiatornya? Apa kepentingannya? Siapa pula yang diuntungkan jika RUU ini disahkan meski dengan nama yang berbeda? Bagaimana dampaknya bagi umat Islam? Bagaimana pula sikap umat Islam seharusnya dalam merespon RUU ini?
Itulah di antara pertanyaan yang diajukan oleh Redaksi kepada Ustadz H.M. Ismail Yusanto dalam rubrik Hiwar kali ini. Berikut paparannya.
Mengapa RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) harus ditolak, Ustadz?
Karena sangat berbahaya. Jika dibiarkan lolos, RUU itu akan membawa negeri ini ke arah sekularisme radikal. Ke arah yang jauh lebih sekular. Sekarang saja keadaan negeri ini sudah seperti ini. Bagaimana jadinya kalau lebih sekular. Tentu akan lebih rusak lagi.
RUU ini juga akan membawa negeri ini menjadi pro Komunisme, atau setidaknya tidak tegas menolak Komunisme. Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, Organisasi Terlarang, dan Larangan Menyebarkan dan Mengembangkan Faham Komunisme/Marxisme-Leninisme yang tidak dimasukkan dalam konsideran Mengingat, menambah keyakinan bahwa RUU HIP ini memang mengajak kita untuk tidak perlu mengingat Tap MPRS penting ini. Bukan tidak mungkin dalam jangka panjang, jika rezim seperti ini terus berkuasa, Tap MPRS ini akhirnya tidak boleh alias haram diingat.
Adakah motif terselubung para inisiator memunculkan RUU HIP?
Ada semacam usaha monumenisasi ajaran Bung Karno. Diawali dari Keppres Nomor 24/2016 Tentang Hari Lahir Pancasila yang menyatakan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila. Lalu diterbitkan Perpres Nomor 7/2018 Tentang BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila). Disebutkan BPIP berfungsi antara lain menyusun Garis-Garis Besar Haluan Ideologi Pancasila dan Peta Jalan Pembinaan Ideologi Pancasila. Dilanjutkan dengan pengesahan UU Nomor 11/2019 Tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek). Di situ dinyatakan bahwa iptek sebagai landasan dalam perencanaan Pembangunan Nasional di segala bidang kehidupan yang berpedoman pada Haluan Ideologi Pancasila. Terakhir, dirancanglah RUU HIP ini.
Secara eksplisit misi Soekarnoisme tentang Pancasila menjadi Trisila lalu Ekasila tampak pada Pasal 7 RUU HIP. Disebutkan pada ayat (3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu Gotong-royong.
Siapa yang diuntungkan dengan adanya RUU HIP ini?
Pertama: Tentu saja rezim ini. Jika RUU ini disahkan, mereka menjadi punya alat untuk lebih mengokohkan kekuasaannya serta alat untuk memukul lawan-lawan politiknya. Mereka juga bisa menggunakan itu sebagai kedok untuk melancarkan kepentingan politik ekonomi oligarki pendukungnya.
Hal itu tampak, misalnya, dari pengesahan UU Minerba dan Perppu Covid-19 baru lalu. Substansi semua putusan itu jelas-jelas bertabrakan dengan apa yang tertulis dalam RUU ini. Jika benar melalui RUU HIP rezim ini ingin melaksanakan Pancasila, mengapa peraturan perundangan seperti itu bisa disahkan?
Jika selama ini DPR dikatakan sebagai wakil rakyat yang akan melaksanakan kedaulatan rakyat, pengesahan RUU Minerba itu membuktikan sebaliknya. DPR telah mengkhianati prinsip yang mereka sendiri. Dalam pengesahan RUU Minerba, DPR telah jelas-jelas lebih mengutamakan kepentingan pemilik modal, khususnya pemilik PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara). UU ini memberikan kepastian perpanjangan menjadi IUPK Operasi Produksi dengan luasan semula, berdasar pasal 169 a, b dan c UU Minerba yang baru. Bila mengacu pada ketentuan sebelumya, yakni pasal 63 dan 75 UU Minerba Nomor 4 tahun 2009, PKP2B yang telah habis masa berlakunya harus dikembalikan kepada negara sebagai wilayah pencadangan negara atau dilelang dengan mengutamakan BUMN dan BUMD. Ketentuan yang jelas lebih mengedepankan kepentingan publik ini justru dihapus dan diganti dengan ketentuan yang mengutamakan pemilik PKP2B. Ini sangat aneh, bagaimana bisa DPR yang hakekatnya adalah wakil rakyat, jutru bertindak merugikan rakyat yang mereka wakili?
Pengesahan Perppu Covid-19 lebih aneh lagi. DPR telah jelas-jelas mengebiri sendiri kewenangan yang mereka milik. Dalam hal ini hak budgeting. DPR malah memberikan hak itu kepada eksekutif. Melalui Perppu Covid-19, APBN cukup disusun berdasar Perpres. Bila melalui hak budgeting tersebut DPR bisa secara langsung mengontrol alokasi dan penggunaan anggaran negara yang hakikatnya adalah uang rakyat, mengapa hak itu justru dilepas? Jika demikian lantas apa fungsi DPR?
Tambahan lagi, melalui pengesahan Perppu Covid-19, DPR juga telah jelas-jelas mengebiri kewenangan yudikatif. Berdasar Pasal 27 diberikan imunitas bagi pejabat lembaga Pemerintah di bidang keuangan. Pasal itu juga menyebutkan setiap pengeluaran negara dengan tujuan penyelamatan ekonomi saat pandemi Covid-19 tak dihitung sebagai kerugian negara. Keputusan yang diambil berdasarkan Perppu juga bukan obyek gugatan di PTUN. Pasal ini dibuat untuk membuat Pemerintah kebal hukum. Ini jelas merupakan bentuk pengistimewaan hukum. Bertentangan dengan prinsip negara hukum dan kesamaan semua orang di muka hukum (equality before the law). Ini jelas bertentangan dengan substansi dari RUU HIP ini.
Apa bahayanya RUU HIP ini bagi umat Islam, khususnya ormas Islam dan para dainya?
Bahaya sekali. Melalui RUU HIP ini, rezim secara subyektif mendefiniskan apa itu masyarakat Pancasila dan siapa itu manusia Pancasila (Pasal 12 ayat 2 dan 3). Dengan rumusan itu, rezim akan dengan mudah memaksa umat Islam untuk berpikir dan bertindak mengikuti rumusan itu, lalu menyingkirkan siapa saja yang dianggap berbeda dengan rumusan tersebut. Tak peduli meski yang bersangkutan sesungguhnya tengah menjalankan perintah ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Lihatlah, belum lagi RUU HIP ini disahkan, rezim ini sudah bertindak sewenang-sewenang. Baru lalu, melalui Perppu Ormas yang nyata-nyata sangat dipaksakan, rezim dengan subyektivitasnya mencabut status BHP HTI, dengan tudingan anti Pancasila. Padahal yang dilakukan HTI tak lain adalah dalam rangka menjalan perintah ajaran Islam tentang dakwah.
Dengan cara serupa, RUU HIP, bila disahkan nanti, akan menjadi alat guna memukul siapa saja yang memperjuangkan penerapan syariah Islam secara kaffah dengan alasan usaha itu dianggap tidak sesuai dengan ciri masyarakat Pancasila dan manusia Pancasila sebagaimana dirumuskan dalam RUU HIP ini.
Apakah dengan adanya RUU HIP menunjukkan bahwa Pancasila belum final dan ada pertempuran ideologi di belakangnya?
Memang banyak pihak menyebut Pancasila sudah final. Bila benar sudah final, mengapa berubah-ubah warnanya? Pada masa Orde Lama pekat dengan warna sosialistik bahkan komunistik. Pada masa Orde Baru kapitalistik. Sekarang liberalistik. Menurut Profesor Suteki, Guru Besar FH Undip, keadaan itu tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa sebagai set of ideas, Pancasila itu terbuka. Bisa diisi atau diwarnai apa saja. Bisa kapitalisme–liberalisme, sosialisme–komunisme, atau Islam. Sesuatu yang terbuka tidaklah pernah final. Akan selalu berubah-ubah. Jadi bisa dimengerti jika hingga sekarang tidak pernah jelas, misalnya, seperti apa sih sistem ekonomi Pancasila itu? Dulu ada Prof. Mubyarto, yang berusaha menyusun sistem Ekonomi Pancasila. Namun, tetap saja hingga kini tak jelas sosoknya. Pertanyaan sederhana, sistem keuangan-perbankan dengan bunga itu sesuai dengan Pancasila atau tidak?
Ketika ada penolakan masif, Sekjen PDIP juga mengingkan agar paham Khilafahisme juga ditolak. Bagaimana menurut Ustadz?
Ini jurus dewa mabuk. Dari sana justru ketahuan, ternyata di balik RUU HIP memang ada maksud menghalangi bahkan usaha untuk menyingkirkan ajaran Islam. Karena itu layak umat Islam lebih keras lagi menolak RUU ini.
Dalam perkembangan penolakan, terjadi safari silahturahmi pimpinan MPR ke Ormas-ormas Islam. Salah satu hasilnya, mengusulkan mengubah nama, naskah akademik, dll berbeda dengan RUU HIP. Apakah ini upaya kompromi? Bagaimana dampaknya bagi umat Islam?
Saya kira sikap MUI Pusat sudah sangat tepat. Tidak ada kompromi. RUU HIP itu harus dicabut.
Ada yang mengatakan penolakan Komunisme sudah tidak relevan karena musuh nyata sekarang adalah Kapitalisme, bagaimana pandangan Ustadz?
Betul, musuh nyata saat ini adalah Kapitalisme. Namun, Sosialisme–komunisme tidak lantas bisa diabaikan begitu saja. Sebagai sebuah ideologi, Sosialisme-komunisme masih dianut oleh sejumlah negara, seperti Korea Utara dan Kuba. RRC, meski ekonominya menganut kapitalisme negara (state capitalism), secara politik negara tirai bambu itu masih dipimpin oleh PKC (Partai Komunis China). Artinya, secara ideologis, komunis masih memimpin negara yang saat ini menjelma menjadi raksasa ekonomi dunia, yang juga tampak tengah terus berusaha meluaskan pengaruhnya ke berbagai wilayah dunia. Bagaimana bisa dikatakan perang melawan Komunisme tidak lagi relevan?
Ada pula yang mengatakan tudingan sekularisme radikal itu berlebihan. Pasalnya, negara Indonesia tetap mengakui Ketuhanan yang Maha Esa. Bagaimana?
Memang betul, Ketuhanan Yang Maha Esa masih diakui. Kata iman dan takwa juga masih ada dalam RUU HIP ini. Namun, jangan lupa, Ketuhanan Yang Maha Esa yang diakui saat ini hendak dicoba dibawa dalam pemaknaan seperti yang Bung Karno maui, yakni Ketuhanan yang berkebudayaan.
Ada pula usaha untuk memarginalkan peran agama, sebagaimana tampak pada rumusan dalam Pasal 23. Kedudukannya menjadi sekadar sub bidang dari bidang mental spiritual. Fungsinya juga hanya menjadi alat dari pembentukan mental dan kebudayaan, bukan sebagai petunjuk dalam pengaturan hidup manusia di dalam semua aspek kehidupannya.
Tampak pula ada usaha untuk mendangkalkan makna iman dan takwa. Pasal 12 RUU HIP menyebut salah satu ciri Manusia Pancasila, yakni ‘beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab’.
Rumusan itu jelas sekali mengandung paham sekularisme-sinkretisme, bahkan pluralisme agama. Frasa “menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab” jelas meletakkan hakikat iman dan takwa yang semestinya dipahami dan dilaksanakan dengan dasar dan ukuran yang bersifat transeden atau wahyu—yang dalam konteks Islam tentu berdasar al-Quran dan al-Hadis—menjadi dengan dasar dari sesuatu yang bersifat imanen (sekular). Bagaimana bisa, iman dan takwa dengan dasar dan ukuran kemanusiaan? Bukankah iman dan takwa kepada Tuhan semestinya dengan ukuran Tuhan?
Kuatnya spirit sekularisme dalam RUU HIP ini juga tampak pada Pasal 34 jo Pasal 43 huruf c RUU HIP. Disebutkan bahwa Pembangunan Nasional terdiri dari: bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada sistem nasional ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dominasi ilmu pengetahuan dan teknologi, apalagi secara eksplisit disebut dalam sebuah norma hukum seperti RUU HIP, secara pasti akan mereduksi peranan agama dalam proses-proses pengambilan keputusan di bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Iptek akan menggeser pertimbangan-pertimbangan agama dalam proses pengambilan keputusan tersebut.
Dari sana bisa disimpulkan bahwa RUU HIP ini secara telak akan membawa negeri yang merdeka dalam konstitusi diakui ‘atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa’ ke arah sekular radikal, atau ke arah lebih sekular.
Bisakah Pancasila menjadi alternatif ideologi dunia?
Untuk bisa menjadi alternatif ideologi dunia, menurut Profesor Suteki, Pancasila mengandung persoalan besar, yakni tidak adanya watak progresif. Misalnya, apakah Pancasila itu mampu menandingi serangan brutal ideologi Kapitalisme?
Sebagai penggagas Pancasila, Bung Karno tampaknya ketika itu sadar betul bahwa di dunia ini ada ideologi besar yang dianggap mampu menandingi gempuran Kapitalisme, yaitu Komunisme. Dari sana kita menjadi mengerti, mengapa pada masa itu ada usaha untuk menyuntikkan warna komunisme ke dalam Pancasila melalui apa yang disebut Nasakom (Nasionalisme Agama Komunisme). Wajah Pancasila pun menjadi lebih progresif bahkan revolusioner. Watak Pancasila menjadi sangat KIRI, KEKIRIAN.
Faktanya, usaha ini bukan saja gagal melawan Kapitalisme, namun juga mendapat perlawanan keras dari umat Islam yang tentu saja sangat menentang Komunisme. Komunisme yang sempat mendapat ruang gerak di dalam pemerintahan negara sejak awal tahun 1950-an, berakhir selepas peristiwa G 30 S/PKI.
Pasca 1965, watak pemerintahan Indonesia berubah seiring perubahan kiblat dari negara komunis (China dan Rusia) ke arah negara kapitalisme-imperialis, utamanya AS. Namun, apakah Pancasila sanggup melawan Komunisme waktu itu? Tidak. Lagi, untuk menggerakannya menjadi ideologi revolusioner yang mampu melawan Komunisme, Pancasila harus diisi dengan ideologi lain, dalam hal ini Islam, melalui semangat menegakkan kalimat tauhid dan amar makruf nahi munkar. Fakta sejarah membuktikan bahwa umat Islamlah yang berada di garda terdepan memberantas Komunisme beserta organ-organnya yang bergabung dalam PKI.
Prof. Suteki menyimpulkan, bahwa Pancasila itu bukanlah sebuah ideologi murni, melainkan sebatas falsafah dalam bernegara negara, yang berwatak pasif. Progresivitas watak ideologisnya sangat bergantung pada ideologi apa yang mengisinya. Bisa Sosialisme bahkan Komunisme seperti yang terjadi pada masa Orde Lama, bisa juga Kapitalisme bahkan Liberalisme seperti di masa Orde Baru hingga sekarang.
Apakah benar ulama sudah sepakat dengan Pancasila, karena itu yang mempersoalkan berarti berkhianat terhadap kesepakatan ulama?
Memang ada yang berpendapat begitu. Namun, banyak pengamat menyebut, bila mau menyebut Pancasila sebagai hasil kesepakatan mestinya adalah rumusan 22 Juni 1945. Di sana, pada Sila Pertama terdapat 7 kata yang kemudian pada 18 Agustus 1945 dihapus. Nah, Pancasila yang ada sekarang adalah rumusan 18 Agustus itu, bukan 22 Juni. Karena itu mestinya harus dikatakan rumusan itu bukanlah hasil kesepakatan, melainkan hasil lobi yang berbau konspiratif mengatasnamakan tuntutan wakil dari Indonesia Timur yang hingga kini tidak jelas siapa.
Andai pun Pancasila rumusan 22 Juni dianggap sebagai buah kesepakatan, faktanya itu adalah kesepakatan diantara anggota PPKI yang di dalamnya memang ada sejumlah ulama, tetapi juga juga politisi. Perlu dicatat, terhadap rumusan itu, khususnya terkait 7 kata di Sila Pertaama, Ki Bagus Hadikusumo tidak sepenuhnya sependapat, karena katanya, rumusan itu tidak Islami. Syariah itu mestinya berlaku untuk semua manusia, bukan hanya umat Islam saja. []