KH Shiddiq al-Jawi: Tak Cukup Hanya Memilih Pemimpin
Pengantar Redaksi:
Sudah lama umat Islam, termasuk para tokohnya, tidak menyadari, bahwa seharusnya ada dua agenda besar umat di ranah politik: Pertama, mewujudkan pemimpin yang baik. Kedua, mewujudkan sistem yang baik.
Faktanya, politik umat Islam seolah hanya fokus pada bagaimana mewujudkan pemimpin yang baik. Itu pun faktanya sering gagal. Mereka lupa bahwa ada yang jauh lebih penting, yakni mewujudkan sistem yang baik. Tidak lain adalah sistem Islam.
Lalu apa yang dimaksud dengan sistem Islam? Bagaimana pula caranya umat mewujudkan sistem Islam?
Itulah di antara pertanyaan yang diajukan Redaksi kepada KH Shiddiq al-Jawi dalam wawancara kali ini.
Kiai, apa sebenarnya cita-cita politik umat Islam?
Cita-cita politik umat Islam itu intinya ada dua hal yang tidak dapat dipisahkan: Pertama, mewujudkan pemimpin yang baik. Kedua, mewujudkan sistem kehidupan yang baik. Pemimpin yang baik itu yang dimaksud adalah Khalifah, atau Imam, yaitu pemimpin tertinggi dalam Negara Khilafah. Adapun sistem kehidupan yang baik maksudnya adalah segala peraturan hidup berupa syariah Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan tanpa kecuali, seperti sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem pergaulan, politik luar negeri, dan sebagainya. Sistem kehidupan Islam ini tidak mungkin ada, kecuali dalam Negara Khilafah.
Apa dasar cita-cita politik pertama, yaitu mempunyai pemimpin yang baik?
Keharusan mempunyai pemimpin yang baik didasarkan pada dalil-dalil syariah yang mewajibkan umat Islam untuk mempunyai seorang pemimpin. Antara lain sabda Rasulullah saw., “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di suatu tempat di muka bumi, kecuali mereka harus memilih salah seorang dari tiga orang itu untuk menjadi pemimpinya.” (HR Ahmad).
Pemimpin ini tentu tidak sembarang pemimpin, melainkan wajib pemimpin yang baik. Karena itulah para ulama kemudian merinci syarat-syarat pemimpin yang baik itu ada tujuh syarat, yaitu: Muslim, laki-laki, berakal (‘aaqil), balig (dewasa), merdeka (bukan budak), adil (bukan fasik), dan mampu. Jadi kalau calon pemimpin itu tidak memenuhi salah satu dari tujuh syarat tersebut, misalnya dia adalah Muslim, tetapi fasik dalam arti Muslim yang tidak taat, seperti tidak shalat lima waktu, suka minum khamr, terlibat transaksi riba, maka berarti dia tidak layak menjadi pemimpin bagi umat Islam.
Lalu apa dasar cita-cita politik yang kedua, yaitu sistem kehidupan yang baik?
Jadi begini, cita-cita politik Islam ini tidak hanya soal kepemimpinan. Ada satu lagi cita-cita politik umat Islam yang menggenapi persoalan kepemimpinan itu, yaitu sistem kehidupan islami yang menjadi ruang hidup bermasyarakat dan bernegara bagi umat Islam.
Keharusan sistem kehidupan Islami ini didasarkan pada dua hal. Pertama, sifat ajaran Islam itu sendiri yang merupakan agama yang sempurna, yang mengatur segala aspek kehidupan, tak hanya hanya mengatur ibadah. Allah SWT berfirman (yang artinya): Telah Kami turunkan al-Kitab (al-Quran) kepadamu (Muhammad) untuk menjelaskan segala sesuatu (TQS an-Nahl [16] : 89).
Kedua, sifat Rasulullah saw. itu sendiri yang bukan sekadar figur seorang nabi, melainkan juga figur seorang pemimpin/pemegang kekuasaan. Jelas sifat Rasulullah saw. ini akan berbeda secara kontras dengan sifat nabi yang tidak menjadi pemegang kekuasaan, seperti Nabi Isa as., Nabi Musa as., dan Nabi Harun as. Mereka itu para nabi, tetapi bukan pemegang kekuasaan. Ini beda dengan para nabi yang juga pemegang kekuasaan, seperti Nabi Sulaiman as. Jadi sifat Nabi Muhammad as. itu lebih dekat kepada figur Nabi Sulaiman as. yang menjalankan dua tugas sekaligus, yaitu tugas sebagai nabi, dan tugas sebagai pemimpin umat atau pemegang kekuasaan.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, cara yang paling tepat dengan apa?
Untuk mewujudkan cita-cita politik umat Islam tersebut, cara yang paling tepat adalah dengan meneladani cara yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Hal ini wajib hukumnya. Sebabnya, Rasulullah saw. merupakan uswah hasanah atau suri teladan yang wajib diikuti oleh umat Islam. Tidak hanya dalam tatacara ibadah, seperti shalat dan haji, melainkan juga dalam tatacara mewujudkan pemimpin Islam dan sistem kehidupan Islam. Allah SWT berfirman (yang artinya): Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian (QS al-Ahzab [33]: 21).
Secara garis besar, saat ini di tengah-tengah umat terdapat tiga varian pendapat di kalangan jamaah-jamaah Islam mengenai cara untuk mewujudkan cita-cita politik umat Islam. Pertama, ada yang menempuh jalan kekerasan, yang diyakini sebagai jihad. Kedua, ada yang menempuh jalan demokrasi. Ketiga, ada yang menempuh cara mengemban dakwah Islam (hamlu ad-da’wah al-islaamiyyah), tanpa menggunakan kekerasan dan tidak pula menempuh jalan demokrasi. Cara ketiga inilah yang insya Allah merupakan cara paling tepat ditinjau dari segi kekuatan dalilnya.
Kiai, politik Islam dikatakan harus mengabdi pada Islam dan umat Islam. Mengapa demikian?
Karena hal itu sesuai dengan definisi politik Islam itu sendiri. Politik atau siyaasah itu sendiri maknanya secara umum adalah ri’aayah syu’uun al-ummah, yakni pengaturan berbagai urusan umat. Jadi dari frasa “syu’uun al-ummah”, memang sangat jelas bahwa politik dalam Islam wajib mengabdi kepada umat Islam. Ketika kata siyaasah itu kita gabungkan dengan kata Islam sehingga menjadi istilah politik Islam atau siyaasah islaamiyyah, artinya adalah ri’aayah syu’uun al-ummah bi al-Islaam, yaitu pengaturan berbagai urusan umat berdasarkan syariah Islam. Jadi, pengaturan berbagai urusan umat ini jelas tidak boleh dengan sembarang peraturan, melainkan wajib menggunakan syariah Islam semata, bukan yang lain. Nah, karena pengaturan urusan umat Islam tidak boleh kecuali dengan syariah Islam, dari sinilah kita paham bahwa politik Islam itu memang wajib mengabdi pada Islam itu sendiri.
Apa dasar politik Islam?
Dasarnya adalah Aqidah Islam, yaitu kalimat Laa ilaaha illalLaah Muhammad RasiululLaah. Itulah dasar politik Islam. Hal ini dapat kita pahami dari nas-nas syariah yang menjelaskan bahwa pengaturan urusan umat Islam atau ri’aayah syu’uun al-ummah, dilaksanakan hanya dengan syariah Islam, bukan yang lain. Misalnya, perintah Allah kepada Rasulullah saw. untuk menjalankan hukum yang Allah turunkan dalam QS Al-Maidah ayat 48 yang berbunyi: Fahkum baynahum bimaa anzalalLaah. Artinya: “Tegakkanlah oleh kamu, Muhammad, hukum yang telah Allah turunkan kepadamu, yaitu syariah Islam.”
Syariah Islam itu sendiri, yang berupa ayat-ayat hukum (ayaat al-ahkaam) atau hadits-hadits yang terkait hukum (ahaadits al-ahkaam), sebagian besarnya turun setelah hijrah, bukan sebelum hijrah. Misalnya, ayat yang mengharamkan khamr (minuman keras) dalam QS Al-Maidah ayat 90, ayat yang mengharamkan riba dalam al-Baqarah ayat 275, ayat yang mewajibkan qishaash dalam QS al-Baqarah ayat 178, dll. Jadi semua ayat-ayat hukum (ayaat al-ahkaam) tersebut adalah ayat Madaniyah, yang turun setelah hijrahnya Rasulullah saw. ke Madinah.
Namun, fase di Madinah ini tidak dapat dilepaskan dari fase perjuangan Rasulullah saw. di Makkah yang mendahului fase Madinah. Dakwah di Nabi saw. Makkah justru menjadi pondasi atau landasan bagi penerapan syariah Islam di Madinah. Pada fase sebelum hijrah itulah turun ayat-ayat yang berkaitan dengan keimanan, seperti iman kepada Allah, Hari Kiamat, surga, neraka, dan sebagainya. Jadi, keimanan, mendahului atau mendasari syariah Islam. Dengan kata lain, yang menjadi dasar politik Islam, adalah Aqidah Islam.
Bicara tentang politik akan terkait dengan arah perjuangan. Lalu bagaimana arah perjuangan politik Islam itu?
Saat ini arah perjuangan politik Islam tersesat mengikuti mainstream dari politik sekuler yang ada sekarang, yaitu berpolitik yang sudah dibatasi dalam kerangka negara demokrasi saat ini. Dalam arus politik mainstream seperti ini, kita umat Islam hanya akan terbawa pada cita-cita politik Islam yang pertama saja, yaitu persoalan kepemimpinan. Siapakah calon pemimpin yang baik bagi umat Islam, si A ataukah si B? Jadi hanya persoalan pemimpin yang akhirnya menjadi fokus berpikir kita. Kita akhirnya menjadi lupa atau tersesat, bahwa ada cita-cita politik Islam yang kedua, yaitu persoalan sistem kehidupan Islam yang mesti diwujudkan oleh umat Islam, yaitu sistem kehidupan Islam dalam kerangka Negara Khilafah.
Mengapa politik Islam dikatakan wajib menolak sekulerisme dan para pendukungnya serta partai-partainya, Kiai?
Tentu karena sekularisme itu sebenarnya sistem kehidupan yang tidak cocok bagi umat Islam. Sekularisme yang tumbuh dalam latar belakang historis dan sosiologis dari Eropa dan Amerika mengasumsikan bahwa agama itu hanya boleh mengatur soal ibadah yang sifatnya ranah privat. Agama tidak boleh mengatur berbagai aspek kehidupan manusia yang sifatnya merupakan ranah publik. Di sinilah persoalannya. Sekularime mungkin cocok bagi umat Kristiani yang meyakini bahwa agama Kristen itu memang agama privat, bukan agama publik yang mengatur bagaimana kita bermasyarakat dan bernegara. Ini sesuai dengan Bibel, khususnya dalam Perjanjian Baru (New Testament), bahwa kekuasaan dan agama itu terpisah, yang mempunyai ranah masing-masing. Dalam Matius 22:21, disebutkan: Kalau begitu, berilah kepada Kaisar apa yang milik Kaisar, dan kepada Allah apa yang milik Allah.
Sekularisme mungkin cocok bagi umat Kristiani, yang menyakini bahwa Nabi Isa as. hanyalah figur nabi—yang bagi mereka nabi Isa adalah tuhan, tetapi bukan figur pemimpin yang memegang kekuasaan.
Sekularisme ini jelas tidak mungkin cocok dengan umat Islam. Sebabnya, umat Islam meyakini bahwa Islam itu bukan hanya mengatur ranah privat seperti ibadah, tetapi juga mengatur ranah publik. Islam itu diimani oleh umat Islam sebagai agama sempurna, sebagaimana dinyatakan dalam QS al-Maidah ayat 3; sebagai agama yang mengatur segala segala aspek kehidupan, sebagaimana QS An-Nahl ayat 89. Demikian pula, Nabi Muhammad saw. itu figur yang sangat berbeda dengan Nabi Isa as. Nabi Isa as. itu hanya nabi, bukan pemimpin pemegang kekuasaan. Sebaliknya, Nabi Muhammad saw. itu adalah seorang nabi sekaligus seorang pemimpin yang memegang kekuasaan, persis seperti halnya Nabi Sulaiman as.
Kiai, bolehkan politik Islam itu hanya berupa politik pragmatis minus ideologis?
Tentu tidak boleh. Sangat berbahaya kalau ada Muslim yang berpolitik Islam, tetapi bersikap pragmatis dalam berpolitik. Pragmatisme itu paham yang mengajarkan bahwa baik dan buruk itu diukur dari manfaat (utility) suatu tindakan, yaitu terpenuhinya kebutuhan kita, misalnya meraih jabatan atau kedudukan politik, tanpa melihat lagi halal dan haramnya cara yang digunakan. Politisi Muslim yang pragmatis akhirnya menghalalkan cara-cara kotor untuk mencapai tujuan politiknya, seperti suap-menyuap, gratifikasi, dan sebagainya. Jelas ini bertolak belakang dengan cara berpolitik Islam, yang wajib menggunakan standar halal dan haram dalam berpolitik. Cara berpolitik yang berpatokan dengan halal-haram inilah yang disebut dengan berpolitik secara ideologis, yakni berpolitik sesuai dengan Islam.
Menurut Kiai, apa kriteria politisi Islam itu?
Politisi Islam adalah Muslim yang memperjuangkan cita-cita politik Islam, baik cita-cita mewujudkan pemimpin yang baik, yaitu seorang Khalifah atau Imam, maupun cita-cita mewujudkan sistem kehidupan yang baik, yaitu tegaknya Khilafah Islam, melalui cara-cara yang baik, yaitu sesuai syariah Islam.
Saat ini politik Islam hanya mengarah pada terpilihanya pemimpin yang baik semata. Apakah tepat? Bagaimana dengan terbentuknya sistem yang baik?
Arah politik Islam yang hanya fokus pada persoalan pemimpin, tetapi mengabaikan persoalan sistem kehidupan, adalah arah politik yang sesat. Mengapa? Karena umat Islam akan justru semakin jauh dari arah perjuangan politik idealnya, yaitu mewujudkan pemimpin yang baik, yaitu Khalifah atau Imam, dan sekaligus mewujudkan sistem kehidupan yang baik, yaitu Khilafah.
Dari pengalaman yang ada, arah politik yang hanya fokus pada pemimpin akhirnya hanya akan menghasilkan pemimpin yang lebih mengabdi pada kepentingan para pemodal, atau yang sekarang lebih sering disebut sebagai oligarki. Ini merupakan cacat bawaan dalam sistem demokrasi. Politik yang demikian ujung-ujungnya hanya melahirkan pemimpin yang melayani kepentingan oligarki, bukan melayani kepentingan rakyat.
Sebetulnya sejauh mana urgensi perjuangan Khilafah dalam arah politik umat?
Sangat urgen. Karena itu arah politik umat Islam harus dikoreksi. Sungguh tidaklah cukup umat Islam mempunyai pemimpin yang baik, tetapi sistem kehidupannya buruk, yaitu sistem demokrasi sekuler yang ada saat ini. Arah politik umat tidak akan mungkin bisa lurus sesuai dengan Islam, kecuali dengan dua cita-cita politik sekaligus, yaitu mewujudkan pemimpin yang baik, dan mewujudkan sistem kehidupan yang baik, yaitu sistem kehidupan dalam negara Khilafah.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh umat untuk menggapai itu semua?
Yang harus dilakukan secara garis besar ada dua. Pertama, mengarahkan perjuangan umat agar mempunyai dua buah cita-cita politik Islam yang saya sebutkan tadi. Kedua, menghentikan segala arah perjuangan yang masih mengikuti arus mainstream yang ada, yaitu arah politik yang hanya fokus pada persoalan pemimpin, tetapi mengabaikan arah politik untuk mewujudkan sistem kehidupan yang baik. []