
Nico Pandawa: Dulu, Para Haji Sangat Ditakuti Penjajah
Bagi kebanyakan Muslim, haji selama ini tak lebih dari sekadar ibadah ritual dan spiritual belaka. Padahal, selain memang bersifat ritual dan spiritual, peristiwa ibadah haji di Tanah Suci jelas merupakan peristiwa politik. Tak hanya sekadar berkumpul. Kaum Muslim sedunia yang beribadah haji juga bersatu. Disatukan oleh akidah yang sama. Mereka tampak bersaudara. Juga disatukan oleh kesamaan akidah. Mereka melepaskan segala atribut ashabiyah; bahasa, suku bangsa, warna kulit, asal negara, latar balakang organisasi, mazhab, dll.
Tak hanya itu, pada era Kekhilafahan Utsmaniyah, aspek politik haji sangat kuat pengaruhnya di Nusantara, khususnya di era penjajahan Belanda. Buktinya, banyak perlawanan terhadap penjajah Belanda di Nusantara diinisiasi oleh para haji. Betulkah demikian? Bagaimana penjelasan detilnya?
Untuk mendapatkan jawabannya, silakan simak wawancara Redaksi kali ini dengan sejarahwan muda, Nico Pandawa, berikut ini.
Ustadz, benarkah jamaah haji zaman penjajahan begitu ditakuti oleh penjajah?
Benar. Sejak penjajahan mulai terjadi di Nusantara pada abad ke-16, para haji selalu berada di garda terdepan dalam memimpin perlawanan jihad. Kita bisa melihat seorang putra Aceh bernama Fadhilah Khan alias Fatahillah, misalkan. Setelah pulang berhaji, Fatahillah langsung mengabdi di Kesultanan Demak begitu mendapati negerinya di Pasai sudah diduduki penjajah Portugis. Atas perintah Sultan Demak, Fatahillah memimpin kaum Muslim untuk mengusir Portugis yang ingin membuat markas di Sunda Kelapa. Berhasillah Sunda Kelapa di-futuhat oleh Fatahillah pada 22 Juni 1527. Lalu kota tersebut diganti namanya menjadi Jayakarta. Artinya, “Kota yang Menang”.
Demikian juga ketika aktor penjajah berganti menjadi Belanda. Para haji tetap menjadi pemuka mujahidin Nusantara. Contohnya seperti Kesultanan Banten. Negara Islam ini berperang melawan VOC Belanda. Sultan Ageung Tirtayasa mengangkat para haji dari berbagai suku untuk menjadi panglima pasukannya. Sebutlah Syaikh Yusuf al-Maqassari dari Makassar, Imam Haji Wangsakara dari Sumedang dan Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan yang disebut dalam arsip VOC sebagai “Hadjee Karang” dari Tasikmalaya.
Apa sebab mereka begitu ditakuti?
Dalam buku Indonesia dan Haji (1997: 9), Jacob Vredenbergt menyebut pengakuan pemerintah kolonial Belanda tentang ketakutan mereka terhadap para haji. Di mata penjajah, orang Islam yang telah berhaji ke Tanah Suci sangat terpandang di mata penduduk lainnya. Lazimnya para haji memiliki tingkat ekonomi di atas rata-rata. Mereka memiliki waktu luang untuk membentuk perkumpulan atau organisa-si, lantas memanfaatkan wibawa mereka untuk menentang pemerintah penjajah Belanda.
Di atas itu semua, ada yang lebih penting. Seseorang yang melakukan ibadah haji, jika hajinya mabrur, kesadarannya akan meningkat dalam keterikatannya kepada Allah, Rasul-Nya, juga dengan sesama kaum Muslim. Apalagi selama di Makkah ia menemui jutaan kaum Muslim dari berbagai bangsa. Mereka saling bertukar informasi dan saling menguatkan dalam ketaatan dan perjuangan untuk agama. Hal ini menyebabkan mereka tergerak untuk mengubah realitas rusak di kampung halamannya dengan melakukan amar makruf nahi mungkar.
Ada hal apa di Jazirah Arab sehingga para jamaah haji ketika pulang ke Indonesia mempunyai spirit perjuangan?
Kita mengetahui bahwa selain menjadi lokasi ibadah haji, Makkah dan Madinah yang berada di Jazirah Arab juga menjadi pusat keilmuan kaum Muslim sedunia. Untuk menjawab soal yang ditanyakan, biarlah Muhammad Ghauts Sayful ‘Alam Syah yang menjawab. Muhammad Ghauts adalah hulubalang Kesultanan Aceh pada zaman Sultan Manshur Syah (berkuasa 1838-1870). Beliau pernah menulis surat kepada Khalifah ‘Utsmaniyah tentang keadaan Aceh dalam bayang-bayang serangan Belanda. Dalam arsip berbahasa Arab yang kini tersimpan di Turki berkode BOA. I.HR 66/3208 (4), Muhammad Ghauts menjelaskan dengan gamblang: “(Penjajah Belanda) menghalangi para ulama untuk belajar, baik dalam hal mengajar maupun menuntut ilmu. Belanda mengatakan bahwa jika mereka mempelajari ilmu yang mulia, ketika mereka telah memperoleh ilmu, mereka akan menemukan di dalamnya bahwa perang dan jihad di jalan Allah diwajibkan atas mereka. Jadi mereka menghentikan orang-orang untuk datang ke Dua Tanah Suci karena mereka mengkhawatirkan diri mereka sendiri dari para haji.”
Siapa yang menjadi faktor kunci di Tanah Suci sehingga para jamaah haji pulang ke Indonesia menjadi begitu heroik?
Saya melihat ada tiga kelompok yang sangat berpengaruh dalam pembentukan heroisme para jamaah haji.
Pertama, para Khalifah ‘Utsmaniyah. Mereka adalah pemimpin agung yang diakui seluruh jamaah haji yang berasal dari berbagai negeri. Para khalifah tersebut juga menyandang gelar sebagai Khâdim al-Haramayn asy-Syarifayn, Pelayan Dua Tanah Haram yang Suci. Kepemimpinan ‘Utsmaniyah memberikan harapan kepada kaum Muslim bahwa mereka masih memiliki pemimpin Islam yang menjadi sandaran loyalitas (al-walâ’). Dari sini, para jamaah haji yang kampung halamannya dijajah bangsa Eropa akan melihat bahwa para penjajah kafir itu bukanlah pemimpin yang sah, sehingga mereka berdisloyalitas (al-barâ’) kepada kaum penjajah dan menyatakan perlawanan.
Kedua, para pejabat ‘Utsmaniyah di Tanah Suci. Dalam kepengaturan Khilafah ‘Utsmaniyah, Jazirah Arab–khususnya di Makkah dan Madinah–masuk dalam Vilayet-i Hicaz (Provinsi Hijaz). Ketika masa perang kolonial abad ke-19, para pejabat ‘Utsmaniyah di Hijaz sering membantu perjuangan Muslim Nusantara seperti di Aceh dan Jambi dalam bentuk suplai persenjataan dan logistik perang.
Ketiga, tentu saja para ulama. Banyak anak negeri Indonesia atau Nusantara yang mukim di tanah Arab dan menjadi ulama masyhur di sana. Mereka disebut ulama Jawiyyin, alias para ulama dari negeri Jawi, sebutan saat itu untuk menyebut seluruh kawasan Asia Tenggara. Banyak ulama Jawiyyin yang menggelorakan semangat jihad dari Tanah Suci. Salah satunya yang paling terkenal adalah Syaikh Abdush Shamad al-Falimbani, penulis kitab Nashîhah al-Muslimîn wa Tadzkirah al-Mu’minîn fî Fadhâ’il al-Jihâd wa Karamât al-Mujâhidîn. Sebuah risalah jihad yang sangat terkenal dan begitu memberikan efek dahsyat bagi kaum Muslim Nusantara dalam berperang melawan Belanda.
Apakah spirit perjuangan jamaah haji ada hubungannya dengan Khilafah Utsmaniyah sebagai pemerintahan untuk Dunia Islam waktu itu?
Tentu. Sangat jelas. Rasa keterikatan dan loyalitas kepada Khilafah menjadi salah satu faktor terbesar kaum Muslim Nusantara mengangkat senjata melawan penjajah Belanda. Sebagai contoh, dalam hal ini saya ingin mengutip kata-kata Panglima Polem selaku hulubalang Sagi 22 Mukim dari Kesultanan Aceh dalam suratnya yang sangat menyentuh kepada Gubernur ‘Utsmani di Makkah tahun 1872, Syarif Abdullah Kamil Pasya. Dalam surat yang tersimpan di Turki berkode BOA, A.MKT.MHM, 457/55 (21), Panglima Polem yang terkenal itu berkata: “Laysa lanâ ta’allaqa bi-ahadin min ad-duwal al-ajnabiyyah wa bi-hukkâmin.” Artinya, “Tidaklah kami ini bergantung pada bangsa dan pemerintahan asing manapun.”
“Bal mamlakatunâ mustaqillah fî amrihâ, fi khayrihâ wa syarrihâ.” Artinya, “Akan tetapi, kerajaan kami adalah kerajaan yang independen dalam urusannya, baik dalam keadaan baik dan buruknya.”
Begitu tulis Panglima Polem yang berusaha menjelaskan, bahwa Kesultanan Aceh adalah negara yang berdaulat. Tiada bangsa asing dan pemerintahan manapun yang bisa mengintervensi kedaulatan Aceh.
Namun, ada satu negara yang menjadi pengecualian bagi Panglima Polem, karena kemudian ia menyambung, “Ma’a ‘alimnâ, bi-anna as-sulthân al-‘a’zham huwa sulthân al-muslimîna wa al-Islâm.” Artinya, segenap rakyat Aceh menyadari, kata beliau, bahwa ‘Sultan yang Agung’ adalah sultan Islam dan kaum Muslimin.
“Wa huwa shâhib al-Khilâfah al-‘Uzhmâ ‘alâ jamî’ al-anâm.” Artinya, “Dialah sang pemilik Khilafah yang Agung atas seluruh umat manusia.”
“Fa-ntamâ’unâ al-‘a’zham wa-rtibâthu amrunâ al-atamm wa al-alzam innamâ li-khushûsh ad-Daulah al-‘Aliyyah al-‘Utsmâniyyah,” tegas Sang Panglima Aceh tersebut.
Artinya, “Kesetiaan kami yang besar dan keterikatan urusan kami yang sempurna dan penuh komitmen secara khusus hanyalah diperuntukkan kepada Negara Adidaya Utsmaniyah.”
Bisa disebutkan contoh jamaah haji yang pulang ke Indonesia yang kemudian menjadi penggerak perjuangan?
Sebenarnya tak terhitung. Dalam setiap perang jihad yang berkecamuk di Nusantara melawan penjajah, selalu ada sosok haji yang menggerakan perjuangan. Contoh-contoh yang paling terkenal bisa dilihat misalnya dalam Perang Paderi di Minangkabau. Perlawanan diawali dari gerakan amar makruf nahi mungkar, tiga orang Minang yang baru pulang dari Tanah Suci: Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik.
Juga dalam Perang Jawa pimpinan Pangeran Diponegoro. Beliau ditemani oleh para haji sebagai komandan pasukannya. Bahkan salah satu di antara mereka, Haji Badaruddin, pernah tercatat dimintai keterangan oleh Kyai Mojo mengenai contoh-contoh praktik Pemerintahan ‘Utsmaniyah untuk mengatur pasukan Diponegoro. Haji Badaruddin adalah panglima pasukan Suronatan yang telah naik haji dua kali atas tanggungan Kraton Yogyakarta sebelum Perang Jawa berkecamuk.
Apa yang selanjutnya dilakukan oleh penjajah untuk “membendung” pergerakan jamaah Haji?
Belanda amat sadar bahwa jamaah haji ketika pulang acapkali menyulitkan pemerintah kolonial Belanda. Karena itu mereka mengeluarkan peraturan khusus (resolutie) guna menyulitkan rakyat Nusantara untuk naik haji dan menghilangkan apa yang mereka sebut sebagai “fanatisme agama”. Dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008: 83), Dien Majid menyebut bahwa Resolutie Haji dikeluarkan Belanda pertama kali pada tahun 1825, dan terus mengalami revisi di tahun 1827, 1830, 1831, 1850, 1859, 1872, dan tahun 1922.
Bisa disimpulkan bahwa haji bukan hanya bernilai ibadah, tetapi juga bermakna politis. Betulkah begitu?
Tepat sekali. Aspek politik dari ibadah haji tidak bisa dipisahkan. Seperti misalkan ketika menjalani wukuf di Arafah, gambaran persatuan umat Islam dengan satu imam sangat tergambarkan di sana. Berbagai bangsa, ras, suku, warna, budaya dan bahasa bersatu dalam satu ikatan saja: akidah Islam. Apalagi ketika dulu Tanah Suci Makkah dan Madinah masih berada dalam kepengaturan Khilafah. Psikologi persatuan itu sangatlah terasa. Jamaah haji yang berbeda-beda latar belakangnya sama-sama merasa memiliki pemimpin yang satu, Khalifah Utsmaniyah.
Apa yang harus dilakukan oleh jamaah haji agar tidak hanya beribadah semata, namun juga berpikir tentang persatuan dan perjuangan?
Para haji Nusantara yang banyak saya sebutkan sebelumnya memiliki kemiripan yang sama: Mereka naik haji bukan hanya untuk melaksanakan kewajiban individu. Dalam perjalanannya ke Tanah Suci, mereka tetap memikirkan nasib keluarga dan kaumnya yang tertekan di bawah penjajahan. Apalagi ketika sampai ke Makkah, mereka mendapat gambaran persatuan umat Islam yang nyata. Inspirasi yang dibawa pulang inilah yang menjadikan mereka bersemangat untuk mengubah realitas rusak di negerinya dan mewujudkan persatuan sebagaimana yang mereka lihat selama ibadah haji.
Sampai zaman kita sekarang, ibadah haji terus diselenggarakan setiap tahunnya. Alangkah beruntungnya bagi mereka yang bisa mengambil pelajaran! []