Duta-duta Allah SWT.
Haji adalah salah satu ibadah yang utama. Begitu utamanya, ibadah haji, misalnya, akan menghapuskan dosa-dosa pelakunya sehingga ia seperti bayi yang baru lahir alias tidak memiliki dosa. Rasulullah saw. pernah bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah ra. “Siapa saja yang menunaikan ibadah haji, sementara di dalamnya dia tidak berbuat dosa dan kefasikan, maka dia akan kembali seperti pada hari saat ia dilahirkan oleh ibunya.” (Muttafaq ‘alaih).
Jabir bin Abdillah ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pun pernah bersabda, “Siapa saja yang telah menyelesaikan rangkaian ibadah haji, lalu kaum Muslim selamat dari lisan dan tangannya, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu maupun yang akan datang.” (HR Abu Ya’la) .
Lebih dari itu, Rasulullah saw. pernah berdoa khusus bagi orang-orang yang beribadah haji, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah ra., “Ya Allah, ampunilah orang yang menunaikan ibadah haji dan ampunilah siapa saja yang memintakan ampunan untuk dirinya.” (HR ath-Thabarani dan Ibn Khuzaimah). Doa beliau tentu dikabulkan oleh Allah SWT.
Keutamaan lain ibadah haji tentu karena bisa mengantarkan pelakunya masuk surga. Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Dari satu ibadah umrah ke ibadah umrah yang lain menjadi kafarat (penghapus dosa) di antara keduanya. Adapun haji mabrur tidak ada balasan (bagi pelakunya) kecuali surga.” (Muttafaq ‘alaih).
Khusus bagi seorang Muslimah, pahala ibadah haji disetarakan dengan pahala jihad di jalan Allah SWT. Bahkan bagi Muslimah, ibadah haji adalah ‘jihad’ yang paling utama. Dalam hal ini Aisyah ra. pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah saw., kami melihat jihad adalah amalan yang paling utama. Bolehkah kami berjihad?” Rasulullah saw., “Akan tetapi, jihad yang paling utama (bagi kaum Muslimah, pen.) adalah haji mabrur.” (HR al-Bukhari).
Lalu apa tanda atau ciri-ciri dari haji mabrur itu? Haji mabrur bisa dikenali tandanya saat ibadah haji itu ditunaikan. Disebutkan bahwa haji mabrur adalah orang yang saat menunaikan ibadah haji tidak melakukan kemaksiatan apapun (Lihat: Imam an-Nawawi, Riyâdh ash-Shâlihîn, I/41).
Rasul saw. pun pernah ditanya, “Apa ciri haji mabrur itu.” Beliau menjawab, “Selalu berkata-kata yang baik dan biasa memberi makan (kepada orang-orang yang membutuhkan, pen.).” (Abu Thalib al-Makki, Qût al-Qulûb, II/39).
Menurut Imam al-Ghazali, ciri-ciri haji mabrur itu adalah pelakunya (saat kembali dari menunaikan ibadah haji) menjadi orang yang zuhud terhadap dunia, selalu rindu terhadap akhirat (surga) dan senantiasa berusaha mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Allah Pemilik Ka’bah setelah berjumpa dengan Ka’bah (Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, I/272).
Imam al-Hasan ra. berkata, “Sesungguhnya tanda/ciri bahwa ibadah haji diterima oleh Allah (haji mabrur) adalah ibadah haji yang menjadikan pelakunya meninggalkan berbagai maksiat, mengganti teman-temannya yang berperilaku buruk dengan orang-orang shalih, mengganti majelisnya yang penuh dengan senda-gurau dan kelalaian dengan majelis yang dipenuhi dengan zikir dan kewaspadaan. Siapa saja yang selaras perilakunya dengan apa yang disebutkan, berarti ibadah hajinya diterima oleh Allah (haji mabrur).” (Abu Thalib al-Makki, Qût al-Qulûb, II/44).
Al-Hasan pernah ditanya, “Apa itu haji mabrur?” Ia menjawab, “Ia yang kembali dari berhaji menjadi seorang yang zuhud terhadap dunia dan rindu terhadap akhirat.” (As-Suyuthi, Durr al-Mantsûr, I/473; al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubi, II/408).
Imam an-Nawawi berkata, di antara tanda haji mabrur adalah kembali dari menunaikan haji dalam keadaan menjadi lebih baik perilakunya dan tidak membiasakan diri bermaksiat kepada Allah SWT (As-Suyuthi, Hâsyiyah as-Suyuthi ‘alâ Sunan an-Nasâ’i, IV/98).
Dinyatakan pula oleh al-Fira’, “Haji mabrur adalah orang yang setelah haji tidak lagi terbiasa bermaksiat kepada Allah.” (Abu Hayyan al-Andalusi, Bahr al-Muhîth, II/263).
Alhasil, haji mabrur adalah haji yang mewujudkan ketakwaan pada pelakunya.
Yang menarik, dalam beberapa riwayat, keutamaan ibadah haji disandingkan dengan kemuliaan jihad. Rasulullah saw. pernah ditanya, “Amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Beliau ditanya lagi, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah.” Beliau kembali ditanya, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab lagi, “Haji mabrur.” (Muttafaq ‘alaih).
Nabi saw.. pun pernah bersabda, “Duta Allah itu ada tiga: orang yang terlibat perang (di jalan Allah), orang yang beribadah haji dan orang yang berumrah.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).
Dua hadis di atas menyandingkan keutamaan ibadah haji dengan kemuliaan jihad. Hadis kedua sama-sama menyebutkan orang yang pergi berjihad dan yang pergi berhaji sebagai duta-duta Allah SWT. Adapun hadis pertama malah menempatkan jihad di urutan pertama sebelum haji.
Benar. Di negeri ini jihad dalam arti perang tidaklah berlaku karena Indonesia bukan wilayah perang. Namun, sebetulnya ada amalan yang pahalanya menyamai amalan jihad, bahkan dinyatakan sebagai ‘jihad’ paling utama. Baginda Rasulullah saw. bersabda, “Jihad yang paling utama adalah menyatakan kebenaran di hadapan penguasa yang lalim.” (HR at-Tirmidzi dan Abu Dawud).
Semoga kita diberikan oleh Allah SWT untuk bisa meraih keutamaan haji/umrah dan jihad fi sabilillah atau meraih pahala yang setara dengan jihad fi sabilillah. Amin.
Wa mâ tawfîqi illâ bilLâh. [Arief B. Iskandar]