Ibrah

Harta Simpanan

Banyak manusia yang suka menumpuk-numpuk harta. Karena itu mereka gemar berburu harta. Dengan beragam cara. Kadang dengan cara-cara tercela. Yang tentu mendatangkan dosa. Dari mulai korupsi, suap-menyuap hingga riba.

Padahal jangankan harta yang haram, harta yang halal pun bakal musnah. Hanya harta yang disedekahkan yang bakal abadi. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah saw. bersabda: Seorang hamba berkata, “Ini hartaku. Ini juga hartaku.” Padahal sungguh hartanya itu ada tiga bagian: yang dia makan, lalu habis; yang dia pakai, lalu menjadi rusak; dan yang dia sedekahkan, itulah yang menjadi simpanannya (untuk kehidupan di akhirat) (HR Muslim).

Dari hadis di atas jelas, harta simpanan kita yang sebenarnya bukanlah yang kita terus tumpuk-tumpuk di dunia. Harta sebenarnya adalah yang kita sedekahkan. Karena itu seorang Muslim sudah selayaknya lebih suka menumpuk-numpuk harta di akhirat, yakni dengan cara disedekahkan, ketimbang menumpuk-numpuk harta di dunia. Apalagi banyak keutamaan bersedekah harta, sebagaimana telah banyak dijelaskan di dalam al-Quran maupun as-Sunnah.

Salah satu sedekah harta terbaik adalah yang diberikan kepada fakir-miskin, orang-orang yang tengah mengalami kesulitan atau mereka yang sangat membutuhkan bantuan. Terkait ini Nabi Muhammad saw. bersabda, “Manusia yang paling Allah cintai adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia lain. Amalan yang paling Allah cintai adalah membuat Muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahannya, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang Muslim untuk memenuhi keperluannya lebih aku cintai daripada beritikaf di masjid ini (Masjid Nabawi) selama sebulan penuh.” (HR ath-Thabarani).

Adanya kemampuan sekaligus kemauan untuk bersedekah sebetulnya merupakan nikmat dari Allah SWT. Sebabnya, di situ tentu ada pahala yang besar yang Allah SWT sediakan untuk kita. Kata Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah rahimahulLaah, “Andai saja orang yang bersedekah benar-benar paham bahwa sedekah yang dia berikan sampai terlebih dulu di tangan Allah sebelum sampai di tangan orang fakir (yang dia sedekahi), tentu nikmat orang yang memberikan sedekah jauh lebih besar daripada nikmat orang yang menerima sedekah.” (Ibnu al-Qayyim, Madaarij as-Saalikiin, 1/26).

Karena itu saat kita merasa jemu/bosan dan lelah dimintai tolong/bantuan oleh orang-orang yang membutuhkan bantuan/pertolongan, berarti sama saja dengan kita jemu/bosan dan lelah dengan nikmat (berupa pahala yang besar) yang Allah SWT karuniakan kepada kita.

Di sinilah pentingnya kita untuk selalu mengingat apa yang dinyatakan oleh Fudhail bin Iyadh rahimahulLaah, “Sadarilah oleh Anda bahwa saat orang membutuhkan (bantuan/pertolongan) Anda, itu adalah sebuah nikmat dari Allah SWT untuk Anda. Karena itu hati-hatilah, jangan sekali-kali Anda merasa jemu/bosan dan lelah dalam memenuhi kebutuhan orang-orang yang membutuhkan.” (Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iimaan, 10/119).

Tak hanya tidak boleh jemu dan bosan, kita pun sejatinya tidak menunda-nunda untuk bersedekah atau membantu/menolong orang lain yang membutuhkan. Terkait itu Sufyan ats-Syauri rahimahulLaah berkata, “Jika engkau berkeinginan untuk bersedekah, atau melakukan suatu kebajikan, atau beramal shalih maka segerakanlah untuk ditunaikan pada waktunya sebelum engkau dipisahkan dengan keinginan tersebut oleh setan.” (Al-Ashbahani, Hilyah al-Awliyaa’, 7/62).

Dengan demikian hendaklah kita tidak membiasakan diri untuk menunda-nunda untuk bersedekah, untuk membantu fakir-miskin, untuk menolong orang-orang yang kesulitan serta untuk melakukan ragam amal kebaikan lainnya. Sebabnya, setan tak pernah lengah untuk mencegah kita dari meraih pahala dan keberkahan dari Allah SWT.

Banyak teladan dari generasi salafush-shalih dalam hal bersedekah, khususnya kepada fakir-miskin, atau membantu orang-orang yang kesulitan. Selain Rasulullah saw., dan para Sahabat, kita bisa meneladani generasi salafush-shalih setelahnya. Di antaranya Imam Abu Hanifah rahimahulLaah. Suatu hari Imam Abu Hanifah pulang dari mengunjungi salah seorang sahabatnya yang sakit. Saat di perjalanan, ia melihat seorang laki-laki yang berusaha bersembunyi dan mencoba menghindar dengan mencari jalan lain. “Fulan, tetaplah di jalan yang engkau lalui!” seru Imam Abu Hanifah dari kejauhan.

Saat lelaki itu tahu bahwa Imam Abu Hanifah telah melihat dia, Dia pun terlihat salah tingkah dan berhenti. Lalu Imam Abu Hanifah menghampiri dia. Mengapa engkau membatalkan untuk berjalan melalui jalan yang engkau telah lalui?” tanya Imam Abu Hanifah.

“Abu Hanifah, saya kan masih memiliki hutang kepada Anda 10 ribu dirham (sekitar Rp 700 juta). Dalam waktu yang cukup lama hingga saat ini saya belum mampu melunasi utang itu. Karena itu saat saya melihat Anda, saya sangat malu kepada Anda,” jawab lelaki tersebut.

“Mahasuci Allah. Keadaanmu sampai seperti ini. Jika engkau melihat aku, engkau bersembunyi. Jika demikian, aku telah merelakan hartaku itu untuk engkau dan engkau sekarang sudah bebas dari tanggungan utangmu kepadaku,” jawab Imam Abu Hanifah (Al-Manaaqib al-Imaam Abi Haniifah, 1/206).

Contoh lainnya Imam Ibnu Sirin rahimahulLaah, seorang ulama besar dari kalangan Taabi’in. Suatu saat ia pernah bertanya kepada seseorang, “Bagaimana kabarmu?”

Orang itu balik bertanya, “Bagaimana jika ada orang yang memiliki hutang 500 dirham, sedangkan ia juga harus menanggung nafkah keluarganya?”

Imam Ibnu Sirin pun paham. Orang itu sedang menceritakan dirinya sendiri yang sedang mengalami kesulitan dan butuh uang. Karena itu Imam Ibnu Sirin segera masuk ke rumah dan keluar kembali dengan membawa uang 1000 dirham (sekitar Rp 70.000.000,-) hingga tidak ada sisa uang di rumahnya. Lalu ia berkata kepada orang tersebut, “Ini untuk melunasi hutangmu 500 dirham dan untuk menafkahi keluargamu 500 dirham.” (Al-Ghazali, Ihyaa’ ‘Uluum ad-Diin, 6/1052).

Semoga kita bisa mengikuti jejak keteladanan generasi salafush-shalih, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Ibnu Sirin dan masih banyak yang lainnya, dalam bersedekah harta.

Alhasil, yuk kita terus memperbanyak harta simpanan kita di akhirat. Caranya, sedekahkan harta kita sebanyak-banyaknya, terutama untuk menolong fakir-miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan.

Wa mâ tawfîqi illâ bilLâh. [ABI]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

13 − four =

Check Also
Close
Back to top button