Catatan Dakwah

Pengaburan dan Penguburan Sejarah

Sejarah—dalam al-Quran disebut dengan istilah kisah—penting dipelajari. Hal ini karena di dalamnya, sebagaimana disebut oleh Allah SWT dalam QS Yusuf ayat 111, ada ibrah atau pelajaran (lessoning). Seberapa benar ibrah atau pelajaran itu didapat tentu bergantung pada seberapa valid sejarah atau kisah itu. Melalui ayat itu pula, Allah menjamin ibrah dari kisah-kisah di dalam al-Quran—seperti kisah Musa dan Fir’aun, kisah Nabi Nuh dan putranya yang tidak mau taat pada perintah Allah, kisah Nabi Ibrahim dan keluarganya yang luar biasa, kisah Kaum Aad, kisah kaum Tsamud dan kisah-kisah lainnya—pasti benar. Tentu karena  kisah-kisah dalam al-Quran bukanlah cerita yang dibuat-buat (maa kaana hadiitsa yuftara).

++++

Berbeda dengan kisah dalam al-Quran, sejarah, persisnya penulisan sejarah, selalu mengandung masalah. Sejarah adalah realitas tangan ke dua (second-hand reality) yang sangat bergantung pada siapa yang menuliskan, juga atas dasar kepentingan apa sejarah itu ditulis. Di sinilah, demi memuluskan kepentingan politik penguasa, kejahatan penulisan sejarah kerap terjadi.

Setidaknya ada dua kejahatan penulisan sejarah yang dilakukan dengan tujuan untuk mengaburkan peran Islam dalam sejarah bangsa dan negara ini, yakni penguburan dan pengaburan sejarah.

Pertama: Penguburan sejarah. Penguburan sejarah adalah tindakan meniadakan penulisan sebuah peristiwa sejarah. Peristiwanya ada, tetapi tidak pernah ditulis dalam sejarah. Contoh paling nyata adalah soal Resolusi Jihad. Jika sejarah pergerakan  kemerdekaan ditulis secara jujur, mestinya akan terbaca sangat jelas peran besar para santri yang tergabung dalam Hizbullah dan para kiai yang tergabung dalam Sabilillah dalam periode mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Lebih khusus adalah peran KH Hasyim Asy’ari saat mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 untuk melawan penjajahan Belanda yang ketika itu, dengan membonceng sekutu, hendak kembali bercokol.

Pada 21 Oktober 1945, berkumpul para kiai se-Jawa dan Madura di kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama). Setelah rapat darurat sehari semalam,  pada 22 Oktober dideklarasikanlah seruan jihad fi sabilillah yang belakangan dikenal dengan istilah Resolusi Jihad. Intinya, membela kemerdekaan Indonesia sebagai negeri Muslim dari kaum penjajah adalah kewajiban syar’i. Inilah jihad, yang diperintahkan Allah SWT, dan pelakunya sangat dimuliakan.

Menurut cucu KH Hasyim, KH Salahuddin Wahid, resolusi atau fatwa itu telah mendorong puluhan ribu Muslim, utamanya di Surabaya, untuk bertempur melawan Belanda dengan gagah berani. Peristiwa heroik di Hotel Oranye, Surabaya, itulah yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan, 10 November. Tanpa resolusi itu, mungkin semangat  melawan Belanda dan sekutu tidak seperti yang terjadi pada saat itu.

Namun, dalam buku sejarah, peristiwa penting itu tidak ditulis. Sungguh aneh, Peristiwa 10 November selalu disebut-sebut, namun Resolusi Jihad yang membuat Peristiwa 10 November bisa terjadi malah disembunyikan.

Buku Resolusi Jihad Paling Syar’iy, yang ditulis oleh Gugun el Guyanie (Pustaka Pesantren, 2010) adalah salah satu buku yang dari sub judulnya “Biarkan kebenaran yang hampir setengah abad dikaburkan catatan sejarah itu terbongkar” menggambarkan semangat untuk mengungkap kebenaran sejarah, khususnya di seputar Resolusi Jihad. Menurut sejarahwan Belanda Martin van Bruinessen, peristiwa penting ini memang tidak mendapat perhatian yang layak dari para sejarahwan.

Kedua: Pengaburan peristiwa sejarah. Peristiwa sejarahnya ada, ditulis juga dalam sejarah, tetapi ditulis tidak dengan sebenarnya. Contohnya, siapa sebenarnya inspirator kebangkitan nasional melawan penjajah? Jika sejarah mencatat secara jujur, mestinya bukan Boedi Oetomo, melainkan Syarikat Islam (SI). SI merupakan pengembangan dari Syarikah Dagang Islam (SDI) yang antara lain dipimpin oleh HOS Cokroaminoto. SI-lah yang seharusnya disebut sebagai cikal bakal kesadaran nasional melawan penjajah. Sebagai gerakan politik, SI ketika itu benar-benar memang bersifat nasional. Ini ditandai dengan eksistensinya di lebih dari 18 wilayah di Indonesia, dan dengan tujuan yang sangat jelas, yakni melawan penjajah Belanda. Sebaliknya, Boedi Oetomo sesungguhnya hanya perkumpulan kecil, sangat elitis, bahkan rasis, serta sama sekali  tidak memiliki spirit perlawanan terhadap Belanda. Lalu mengapa justru sejarah menempatkan Boedi Oetomo sebagai pelopor?

Tentu bukan sebuah kebetulan belaka ketika Kebangkitan Nasional ditetapkan berdasar pada kelahiran Boedi Oetomo, bukan Sarekat Islam (SI). Ini sebagaimana juga Hari Pendidikan Nasional, bukan didasarkan pada kelahiran Muhammadiyah, dengan sekolah pertama yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912, kemana Ki Hadjar waktu itu banyak belajar. Ki Hadjar sendiri baru mendirikan sekolah Taman Siswa pada 1922.

Jelas, jika sejarah itu jujur dituliskan, maka yang akan mengemuka tentu adalah spirit atau semangat Islam. Dalam setting kepentingan politik penguasa saat itu, hal itu sangatlah tidak dikehendaki.

Padahal spirit Islam sesungguhnya telah lama menjadi dasar perjuangan kemerdekaan pada masa lalu. Peperangan yang terjadi pada abad ke-19 melawan Belanda tidak lain didorong oleh semangat jihad melawan penjajah. Ketika Pangeran Diponegoro memanggil sukarelawan, kebanyakan yang tergugah adalah para ulama dan santri dari pelosok desa. Begitu juga pemberontakan petani menentang penindasan yang berlangsung terus-menerus sepanjang abad ke-19 selalu di bawah bendera Islam. Perlawanan yang dilakukan oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan diteruskan oleh Cut Nyak Dien dari tahun 1873-1906 adalah jihad melawan kape-kape Belanda. Begitu juga dengan Perang Padri. Sebutan Padri menggambarkan bahwa perang ini merupakan perang keagamaan. Jadi, jelas sekali ada usaha sistematis untuk meminggirkan, bahkan menghilangkan peran Islam dalam sejarah perjuangan kemerdekaan serta menghilangkan spirit  Islam dari wajah sejarah bangsa dan negara ini.

Oleh karena itu, penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional yang sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu harus bisa dijadikan momentum untuk melawan kejahatan sejarah itu, serta usaha menulis ulang (re-writing) sejarah. Penting untuk meluruskan kembali apa yang disebut kebangkitan nasional, pendidikan nasional dan sejarah nasional lainnya, termasuk sejarah pergerakan pra kemerdekaan. Semua harus ditulis secara kritis, jujur dan obyektif sehingga peran Islam bisa diletakkan secara tepat.

Sebagaimana sudah disebut di atas, sejarah sebagaimana kisah dalam istilah al-Quran, mengandung ibrah atau pelajaran. Pengaburan apalagi penguburan sejarah dari fakta yang sebenarnya tentu akan menutupi ibrah yang mestinya bisa  didapat.

Dengan mengacu pada sejarah yang benar tentang peran Syarikat Islam, KH Ahmad Dahlan, dan lainnya, juga peran KH Hasyim Asy’ari dengan Resolusi Jihad-nya serta peran Hizbullah-Sabilillah, kita tentu akan mendapatkan spirit Islam itu. Juga bahwa kebangkitan hakiki adalah kembalinya kesadaran akan hakikat hidup manusia sebagai abdullah dan khalifatullah dengan misi untuk menyembah Sang Khaliq dan memakmurkan bumi dengan menjalankan segala titah-Nya. Jadi, kebangkitan bukan hanya sebuah kata sloganistik. Ia adalah suatu kata yang menginisiasi perjuangan bagi sebuah perubahan dalam seluruh aspek kehidupan bangsa dari penjajahan ideologi-ideologi jahiliah yang menyengsarakan rakyat menuju yang memberikan rahmat bagi semua. Itulah kebangkitan dengan spirit Islam,  yang  ketika itu digelorakan oleh Cokroaminoto dan Sarekat Islam. Spirit Islam semacam itulah yang diperlukan sebagai sumber kekuatan perjuangan guna membawa negeri ini ke arah yang lebih baik di bawah ridha Ilahi.

++++

Jelas, harus ada pelurusan sejarah melalui re-writing dan re-telling sejarah, khususnya terkait peran Islam dalam perjuangan bangsa ini. Misi ini sangat penting karena pelurusan sejarah akan berpengaruh besar dalam ikhtiar membangun kesadaran publik yang benar di masa mendatang. Dari sejarah yang benar akan didapat ibrah yang juga benar. Sebaliknya, dari sejarah yang ditulis secara salah, tentu akan memunculkan ibrah yang salah pula. Tentu kita tidak ingin hal ini terjadi. [H.M. Ismail Yusanto]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five + 16 =

Back to top button