
Perang Tarif, Mampukah Ekonomi Indonesia Bertahan?
Ekonomi dunia pada tahun 2025 mengalami perlambatan signifikan. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Cina, Kawasan Euro dan Jepang turut merasakan dampaknya. Menurut International Monetary Fund (IMF), pertumbuhan ekonomi global diperkirakan hanya mencapai 2,8% tahun ini, turun dari 3,3% pada 2024. Angka ini menunjukkan penurunan 0,8 poin persentase dibandingkan dengan prediksi sebelumnya. Di Amerika Serikat, pertumbuhan ekonomi merosot menjadi 1,8% dari 2,8%. Cina turun ke 4,0% dari 4,6%. Kawasan Euro hanya tumbuh 0,8% dan Jepang 0,6%.
Penyebab utama perlambatan ini adalah memanasnya ketegangan perdagangan, terutama akibat tarif tinggi yang diterapkan AS dan respon balasan dari mitra dagangnya. Di bawah Presiden Donald Trump, AS memberlakukan tarif 10% untuk hampir semua barang impor, dengan tarif khusus hingga 145% untuk produk dari Cina, 25% untuk barang dari Kanada dan Meksiko; serta tambahan tarif untuk baja, aluminium dan mobil. Kebijakan ini, yang diumumkan pada 2 April 2025, membuat tarif efektif AS mencapai sekitar 25%. Ini level tertinggi sejak Depresi Besar.
Sebagai respon, Cina membalas dengan tarif 125% untuk barang AS. Kanada dan Kawasan Euro menerapkan tarif balasan 25% dan menyiapkan langkah lanjutan. Akibatnya, rantai pasok global terganggu, efisiensi perdagangan menurun dan biaya melonjak. Ini menciptakan tekanan yang menekan produktivitas serta menaikkan harga. Penurunan tajam kegiatan perdagangan dunia terus memperparah kondisi ekonomi yang sudah lesu.
Negosiasi untuk meredakan tarif masih berlangsung dengan beberapa negara, termasuk Indonesia. Indonesia berjanji meningkatkan impor dari AS untuk mengurangi defisit perdagangan. Namun, kebijakan AS yang sulit diprediksi—seperti penundaan tarif selama 90 hari pada 9 April 2025 dan pengecualian untuk produk seperti ponsel pintar—membuat situasi semakin tidak pasti. Ketidakpastian ini membuat pelaku usaha ragu berinvestasi dan konsumen lebih menahan diri.
Pasar saham dunia juga mengalami guncangan parah. Pengumuman tarif pada 2 April menyebabkan nilai saham AS turun drastis sebesar $5,4 triliun dalam dua hari. Pasar saham di Asia, termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia, juga terpuruk dengan penurunan 9% dalam sehari. Pasar tetap labil. Indeks utama naik-turun mengikuti kabar terbaru soal kebijakan. Misalnya, harapan pelonggaran tarif sempat mendongkrak saham teknologi AS, tetapi ketidakpastian yang berlanjut membuat investor tetap berhati-hati. IMF memperingatkan risiko stabilitas keuangan yang meningkat. Ini karena harga saham dan obligasi yang tinggi, ditambah utang yang membengkak dari dana lindung nilai, dapat memperparah penurunan pasar. Negara-negara berkembang yang bergantung pada perdagangan tampil buruk. Namun, pengekspor komoditas seperti negara-negara Teluk masih diuntungkan oleh harga sumber daya yang relatif stabil.
Harga komoditas global, termasuk yang menjadi andalan impor Indonesia, turun signifikan pada awal 2025 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penurunan ini menjadi sinyal pelemahan permintaan dunia. Harga minyak mentah Brent merosot ke $68 perbarel, turun 25% dari $90 pada April 2024, dan mencapai level terendah dalam empat tahun akibat melambatnya aktivitas ekonomi. Batubara juga turun ke $95 perton, menurun 27% dari $135, karena permintaan industri yang melemah. Nikel, yang separuhnya berasal dari Indonesia, terpuruk ke $15.100 perton, turun 17% dari $18.200, akibat melambatnya produksi baterai kendaraan listrik. Namun, harga energi yang lebih rendah membantu meredakan tekanan inflasi di negara maju dan negara yang mengandalkan impor energi.
Ekonomi Domestik Melambat
Pertumbuhan ekonomi Indonesia ini tahun ini, menurut perkiraan IMF, turun tajam dari 5% tahun lalu menjadi 4,7%. Kebijakan proteksionisme AS di bawah pemerintahan Donald Trump menjadi salah faktor yang mengancam pertumbuhan ekspor Indonesia. Sejumlah barang yang mengandalkan pasar AS, seperti elektronik, pakaian, dan alas kaki, berpotensi menurun. Ancaman ini bergantung pada keberhasilan tim negosiasi Indonesia menghentikan kebijakan tarif AS terhadap Indonesia. Dalam beberapa pertemuan, Indonesia diminta meningkatkan impor dari AS, khususnya LPG, barang pertanian, dan peternakan.
Meskipun tarif baru dengan AS dibatalkan, perang dagang antara AS, Cina, dan negara lain tetap berdampak pada Indonesia. Penurunan harga komoditas akan menurunkan nilai ekspor Indonesia. Pelemahan ekonomi Cina dan negara tujuan ekspor lain juga akan mengurangi permintaan impor mereka dari Indonesia.
Pendapatan APBN tahun ini turun tajam sehingga mengurangi kemampuan belanja Pemerintah. Pelemahan ekonomi global dan domestik berdampak pada penurunan penerimaan pajak dan Pendapatan Negara Bukan Pajak. Misalnya, pendapatan perusahaan tambang yang mengandalkan ekspor menurun drastis karena harga dan volume permintaan turun. Akibatnya, pajak atas pendapatan mereka terpangkas. Penurunan harga komoditas juga mengurangi pendapatan royalti dan pajak ekspor barang tambang.
Belanja Pemerintah juga menurun sehingga daya stimulus fiskal terhadap ekonomi nasional berkurang. Pemangkasan anggaran pada awal 2025 semakin memperkecil belanja Pemerintah, yang tahun lalu telah dipangkas cukup dalam. Namun, Pemerintah tetap melanjutkan program populis, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menelan anggaran Rp 71 triliun. Program ini menghadapi masalah logistik, keamanan pangan, dan transparansi, serta belum didukung kajian yang jelas. Proyek Koperasi Merah Putih, yang menargetkan 80.000 koperasi desa, juga menuai skeptisisme akibat pengalaman buruk koperasi pada masa lalu dan keterbatasan anggaran negara.
Pelemahan rupiah, yang menyentuh Rp17.000 perdolar AS pada awal April 2025—level terendah sejak krisis 1998—memperburuk kondisi makro Indonesia. Kondisi ini meningkatkan biaya impor dan risiko inflasi. Utang dan bunganya, yang pembayarannya mencapai puncak pada 2025, semakin membengkak akibat pelemahan rupiah. Nilai utang Pemerintah dalam mata uang asing otomatis naik ketika rupiah melemah. Selain itu, imbal hasil obligasi Pemerintah meningkat karena investor menjual obligasi. Pada awal Mei 2025, bunga pasar obligasi Indonesia mencapai 7%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Cina (1,6%), Thailand (1,9%), Korea Selatan (2,6%) dan Vietnam (3,1%). Kondisi ini mencerminkan persepsi risiko ekonomi Indonesia yang lebih tinggi.
Cadangan devisa semakin tertekan akibat intervensi Bank Indonesia untuk menahan pelemahan rupiah. Dengan cadangan devisa hanya $152 miliar—jauh lebih kecil dibandingkan Thailand ($257 miliar) atau Cina ($3.282 miliar)—Indonesia kesulitan menghadapi arus keluar modal. Upaya Pemerintah mengurangi tekanan rupiah dengan menarik utang valas justru memperbesar risiko APBN, karena nilai utang makin rentan terhadap fluktuasi kurs. Utang ini juga dimaksudkan untuk menambal defisit APBN, yang melebar ke 2,53% dari PDB akibat penurunan penerimaan pajak sebesar 30% pada awal 2025. Kebijakan menahan Devisa Hasil Ekspor (DHE) selama setahun di dalam negeri hanya memberikan efek minimal pada penguatan rupiah.
Pelemahan daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah, berlanjut pada 2025. Indeks penjualan ritel hanya tumbuh 2% year-on-year pada Februari 2025, jauh di bawah tingkat pra-pandemi. Suku bunga kredit konsumsi yang bertengger di atas 10% membebani masyarakat yang mengandalkan kredit untuk cicilan rumah, kendaraan, dan kebutuhan rumah tangga. Jumlah tabungan di bawah Rp 100 juta juga menurun. Ini menandakan berkurangnya pendapatan rumah tangga untuk membiayai pengeluaran. Sebagian masyarakat berusaha mempertahankan gaya hidup meski terbebani utang. Salah satunya melalui pinjaman daring yang naik 29% per Februari 2025.
Tingkat upah riil yang stagnan memperparah tekanan finansial rumah tangga. Meskipun pengangguran terbuka turun ke 4,5–5% pada kuartal pertama, kebijakan perang tarif pada awal kuartal kedua berpotensi mendorong peningkatan PHK. Pada April, sektor manufaktur mulai tertekan, ditandai dengan penurunan Purchasing Manager Index (PMI) ke 46,7, angka terendah sejak pandemi empat tahun lalu.
Rendahnya daya beli ini juga disebabkan oleh tingginya angka kemiskinan yang masih menjadi masalah struktural yang gagal diperbaiki oleh Pemerintah. Menurut standar Bank Dunia, sebanyak 61,8% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan $6,85 perhari, standar untuk negara menengah atas seperti Indonesia. Sebagai perbandingan, dengan garis kemiskinan yang sama, penduduk miskin Vietnam hanya 19,75% dan Thailand 12,2% pada 2024.
Perlu Perubahan Fundamental
Perekonomian Indonesia pada 2025 terpuruk akibat ketergantungan berlebih pada ekspor komoditas yang rentan terhadap guncangan global. Hal ini diperparah oleh kebijakan domestik yang salah arah. Fokus Pemerintah pada proyek mercusuar seperti Makan Bergizi Gratis dan Koperasi Merah Putih, yang bermasalah dalam perencanaan dan pelaksanaan, mencerminkan prioritas yang tidak selaras dengan kebutuhan mendesak untuk ketahanan ekonomi. Perang dagang juga memperlihatkan lemahnya posisi tawar Indonesia di hadapan AS. Ini karena Indonesia masih sangat bergantung pada AS, tidak seperti Cina yang mampu melawan.
Sistem moneter dan fiskal Indonesia menunjukkan kerentanan dalam mengelola krisis. Kebijakan reaktif seperti intervensi nilai tukar yang menggerus cadangan devisa dan penarikan utang valas untuk menambal defisit APBN hanya memperdalam kerentanan. Ketidakseimbangan ini menunjukkan kegagalan Pemerintah membangun fondasi moneter dan fiskal yang kokoh. Korupsi yang semakin masif membuat belanja APBN semakin tidak efisien untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Pelemahan daya beli masyarakat, stagnasi upah riil, dan tingginya suku bunga kredit melemahkan konsumsi domestik yang selama ini menjadi penopang pertumbuhan. Investasi tertekan oleh hambatan struktural seperti suku bunga tinggi dan perizinan yang berbelit-belit. Tingginya angka kemiskinan dibandingkan dengan negara tetangga mencerminkan rendahnya kualitas pembangunan ekonomi dan kebijakan inklusif jangka panjang.
Karena itu Indonesia perlu mengadopsi sistem Islam sebagai landasan bernegara agar memiliki daya tahan kuat menghadapi tantangan ekonomi global maupun domestik. Sistem ekonomi Islam berbasis wahyu Ilahi, bukan buatan manusia yang lemah. Dalam APBN syariah, tidak ada pendapatan atau pembiayaan dari utang ribawi yang menjadi porsi terbesar pengeluaran Pemerintah. Sistem moneter didasarkan pada mata uang berbasis komoditas (emas dan perak) sehingga nilai riilnya stabil mengikuti harga komoditas. Islam juga mengatasi masalah distribusi kekayaan yang gagal dalam kapitalisme, yang menyebabkan kekayaan berputar di kalangan segelintir orang termasuk para oligarki. Maraknya korupsi, perizinan yang rumit, peraturan tumpang tindih, dan berbagai pajak serta pungutan mencerminkan rendahnya ketakwaan penyelenggara negara dan lemahnya kontrol rakyat. Penerapan sistem Islam yang dipadukan dengan nilai spiritual akan memperkuat ketakwaan penyelenggara negara, sehingga lebih amanah.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Muis].