Lahirnya Para Ksatria
Kami hidup demi Lâ ilâha illâlLâh dan kami mati di atas Lâ ilâha illalLâh.” Begitu salah satu meme yang merupakan reaksi dari pembakaran bendera tauhid oleh oknum Banser.
Bertepatan dengan hari Santri, 22 Oktober 2018, terjadi insiden pembakaran bendera tauhid di Garut. Reaksi pun bermunculan. MUI dalam pers rilisnya menegaskan bahwa yang dibakar itu bukan bendera ormas tertentu, melainkan bendera hitam yang bertuliskan kalimat tauhid. Muhammadiyah menyampaikan hal senada. “MUI dan umat Islam mengutuk keras pembakaran bendera tauhid oleh oknum Banser usai Peringatan Hari Santri. Kami minta agar penegak hukum segera menangkap oknum tersebut dan diadili sesuai hukum yang berlaku,” kata KH Muhyiddin Junaidi.
Berbagai reaksi kemarahan pun menggema. Bahkan di Jakarta pada 4 Nopember 2018 diselenggarakan aksi Bela Tauhid. Tidak kurang dari 500 ribu orang hadir. Bendera yang dikibarkan al-Liwa’ dana ar-Rayah, bertuliskan Lâ ilâha illalLâh. Kalimat yang dikumandangkan juga satu: Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh. Tuduhan bahwa bendera itu adalah bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terus dibangun pihak rezim. Padahal Juru Bicara HTI, Ustadz Muhammad Ismail Yusanto, menegaskan, “Itu bukan bendera HTI. HTI tidak punya bendera.”
Berbagai seruan ulama di banyak kota menegaskan bahwa bendera yang dibakar adalah bendera tauhid yang merupakan milik umat Islam. Bukan milik ormas tertentu. Pergolakan opini pun terus terjadi. Dari kondisi demikian justru lahir kecintaan umat Islam pada kalimat tauhid. Topi bertuliskan kalimat tauhid. Kaos bertuliskan Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh dengan huruf Arab di dada, menjamur. Giant banner berwarna putih bertuliskan kalimat tauhid berwarna hitam pun menghiasi beberapa kota. Makin diinjak, perlawanan semakin membuncah. “Satu bendera dibakar, seribu bendera berkibar,” begitu slogannya.
Ada beberapa pelajaran yang dapat diambil. Pertama: Masih kuatnya islamophobia alias benci terhadap Islam. “Sebenarnya, yang dibenci oleh mereka itu adalah ajaran Islam,” ujar Pak Mufti.
Tampaknya kesimpulan itu tak berlebihan. Narasi awal terkait Islam radikal, intoleran, antikebinekaan. Awalnya, perda-perda syariah dan seruan penerapan syariah Islam dipojokkan sebagai sesuatu yang membahayakan. Khilafah dipandang mengancam. Padahal, “Khilafah adalah ajaran Islam, lebih khusus lagi adalah ajaran Ahlussunah waljamaah,” begitu menurut KH Umar ash-Shiddiq saat Ijtima’ Ulama Bogor beberapa waktu lalu.
Belum lagi cendekiawan asal Iraq Prof. Ali Allawi dalam bukunya, The Crisis of Islamic Civilization, menuliskan bahwa keberadaan Kekhalifahan telah menjadi bagian integral dalam peradaban Islam. Ulama, ustadz dan aktivis Islam dipersekusi. Gerakan Islam yang konsisten menyerukan syariah Islam secara kâffah dan menyerukan agar umat Islam menjalin ukhuwah islamiyah yang diwujudkan dalam Khilafah, dicabut Badan Hukum Perkumpulan (BHP)-nya. Setelah itu tuntutan pembubaran FPI sebagai ormas Islam yang konsisten melakukan amar makruf nahi mungkar terus diopinikan. Lalu bendera tauhid sebagai simbol persatuan umat Islam pun dibakar. “Ini merupakan kesatuan. Ajarannya, ulama dan ustadznya, organisasinya dan simbolnya dimonsterisasi. Harapannya, umat Islam takut pada ajaran agamanya sendiri,” tegas Ustadz Ismail.
Begitulah islamophobia. Margarito Kamis mengatakan, “Ini kejahatan sistemik yang dibiarkan. Kita tidak bisa berharap pada rezim saat ini. Rekam jejaknya sangat jelas. Tak peduli dengan kehidupan negara, apalagi kehidupan keagamaan.”
Beliau menambahkan, “Di rezim ini sangat buruk kehidupan keagamaan. Khususnya nasib umat Islam.”
Kedua: Upaya adu domba antarumat Islam. Prinsip devide et impera atau farriq tasud (pecah belah. lalu kuasai) merupakan prinsip penjajahan yang tidak berubah. “Bila sesama orang Islam atau sesama ormas Islam gontok-gontokan, pasti yang rugi umat Islam. Kaum penjajah akan tepuk tangan kegirangan,” kata Pak Hery.
Oleh karena itu, benar kata Pak Edy Mulyadi, “Yang anti Islam harus tegas dilawan dengan tetap memelihara ukhuwah antarsesama umat Islam.”
Fenomena monsterisasi dan kriminalisasi ajaran Islam, ulamanya, organisasinya dan simbolnya menunjukkan adanya kekuatan besar di belakangnya. “Musuh kita di sebelah kiri adalah komunisme/sosialisme, dan di sebelah kanan adalah kapitalisme/liberalisme,” simpul Ustadz Ismail.
Ada penjajah asing dan kaki tangannya yang sedang melemahkan umat Islam di Indonesia. Mereka tidak mau Indonesia menjadi negara besar, apalagi superpower.
Ketiga: Momentum lahirnya para ksatria. Tatkala Islam disudutkan, justru lahirlah para rijâl, para kstaria. Pada saat slogan ‘Islam garis keras’ diulang-ulang, justru pada saat itulah fenomena hijrah kawula muda menjadi tren. Ketika al-Liwa’ dan ar-Rayah, bendera tauhid, diopinikan sebagai bendera organisasi tertentu, saat itulah umat Islam dengan bangga mengibarkannya. Para ksatria senantiasa berzikir kepada Allah, menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Takut pada hari saat kala itu hati dan mata terbelalak. Perdagangan dan jual beli tidak mampu memalingkan mereka dari semua itu. Begitu di antara yang dijelaskan dalam surat an-Nur ayat 37.
Berbeda dengan orang munafik, para Mukmin ksatria selalu menepati janji taat yang telah mereka ikrarkan kepada Allah SWT (QS al-Ahzab ayat 23). Dalam surat Yasin ayat 20 digambarkan bahwa para ksatria adalah mereka yang meyakini Islam, lalu menyampaikan kepada masyarakatnya agar mengikuti utusan Allah SWT. Mereka kini telah bermunculan dari rahim umat Islam. Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian para penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada para pengikutnya yang setia, “Siapakah yang akan menjadi para penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Para pengikut yang setia itu berkata, “Kamilah para penolong agama Allah.” Lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan (yang lain) kafir. Kemudian Kami memberikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman atas musuh-musuh mereka. Lalu mereka menjadi orang-orang yang menang (TQS ash-Shaf [61]:14).
Para ksatria pun menyambut seruan itu. WalLâhu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]