Pelajaran dari Reuni 212
Bila dulu 212 simbol seorang pesilat Wiro Sableng, saat ini 212 merupakan gerakan yang dilakukan tanggal 2 bulan 12 (Desember) sebagai bentuk perlawanan terhadap kezaliman dan ketidakadilan. Apa beda Bela Islam 212 tahun 2016 dan Reuni 212 tahun lalu dengan Reuni 212 tahun 2018 sekarang?
Tahun 2018 ini semangatnya bela tauhid. Didominasi oleh kibaran liwa dan rayah. Topi yang dikenakan pun bertuliskan ‘Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh’. Ikat kepala yang dikenakan ikat kepala tauhid. Tua muda, laki perempuan mengenakannya. Penuh kebanggaan. Pesawat balon bertuliskan ‘Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh’. berwarna putih dengan latar berwarna hitam bergerak mengelilingi panggung utama. Peserta yang hadir berjumlah 8-10 juta orang. Mereka hadir dengan niat dan sikap tegap. Padahal sehari sebelumnya ada demo menentang acara itu. Aksi tandingan sudah dirancang. Pembatalan moda transportasi terjadi di beberapa tempat. Seruan beberapa tokoh agar tidak turut menghadiri Reuni 212 terus dinyanyikan. Sehari sebelum hari-H, ancaman penyerbuan pun terdengar jelas. Namun, semua itu tak menyurutkan langkah mereka. Sebaliknya, justru hal itu menjadi pendorong kehadiran mereka. Seakan-akan gambaran tersebut laksana peristiwa yang tercantum di dalam al-Quran surat Ali ‘Imran[3] ayat 173: (Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, “Sungguh manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian karena itu takutlah kepada mereka.” Lalu perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS Ali ‘Imran [3]:173).
Tiga Pendorong Utama
Pertanyaannya, mengapa hal itu dapat terjadi? Tentu, secara imani hal itu karena qadarulLâh. Secara manusiawi, ada beberapa faktor pengungkitnya. Pertama: Pemikiran/ide yang sama. Ide itulah yang memimpin mereka. Aa Gym menyebutnya panggilan hati. Rocky Gerung mengatakannya sebagai kepemimpinan intelektual. Saya ingin menamainya sebagai bagian dari qiyâdah fikriyah, kepemimpinan pikiran.
Bila pada tahun 2016 acara 212 di Monas didorong oleh adanya penistaan agama, Reuni 212 pada tahun 2018 tidak lepas dari itu. Penistaan terus terjadi. Agenda di Monas itu dituduh radikal. Pada tahun 2017, ormas Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dicabut Badan Hukum Perkumpulan (BHP)-nya melalui Peraturan Pemerintah, tanpa proses pengadilan. Kasus Sukmawati dan Victor Laiskodat menghina Islam. Para ulama terus dikriminalisasi. Khilafah yang merupakan ajaran Islam dianggap ide yang membahayakan. Bendera tauhid dibakar dengan sukacita di Garut. Upaya kriminalisasi HRS pun berlangsung hingga di Tanah Suci.
Semua ini dipahami oleh umat Islam bahwa saat ini sedang terjadi islamophobia, sikap anti-Islam. Pikiran mereka sama. Suara bahwa HTI adalah saudara, HTI dizalimi, atau HTI hanyalah merupakan kambing hitam banyak terdengar di mana-mana. Pelarangan acara-acara tablig akbar merupakan kriminalisasi terhadap ulama, ustadz dan aktivis Islam. Pihak yang menyuarakan Islam dibungkam. Khilafah merupakan ajaran Islam, namun terus dimonsterisasi. Bendera yang dibakar itu jelas-jelas bendera tauhid (rayatu tawhîd). Bendera hitam bertuliskan ‘Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh’. berwarna putih. Liwa dan rayah adalah bendera Rasulullah saw. Bendera milik umat Islam.
Pemikiran ini menyatu dalam diri umat Islam. Pemikiran yang sama dengan dilandaskan kepada akidah Islam inilah yang menggerakkan mereka.
Kedua: Adanya perasaan yang sama. Umat Islam merasakan adanya kezaliman dan ketidakadilan. Tokoh-tokoh Islam dengan cepat dijadikan tersangka, sementara pihak anti-Islam dibiarkan. Bendera tauhid dituduh membahayakan, sementara saat bendera Israel berkibar di Papua disebut sebagai bagian dari budaya. Orang yang mengenakan topi bertuliskan kalimat tauhid dikriminalisasi, sementara orang yang berkaos palu arit disebut hanya sekadar tren anak muda. Terhadap orang Islam sangat mudah menuduh radikal bahkan teroris, sementara OPM yang membantai 31 orang di Papua dan terang-terangan hendak memisahkan diri dari Indonesia sekadar dicap Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Pendekatannya pun berbeda. Bila terhadap orang Islam yang dituding radikal atau teroris dihadapi oleh Densus 88, tetapi terhadap pemberontak dilakukan dengan persuasif.
Selain itu, kelompok yang sok NKRI, sok Pancasilais, sok berbhineka tunggal ika dengan gampang menuding umat Islam yang hendak melawan hegemoni asing sebagai anti-NKRI, anti-Pancasila, anti-Bhineka tunggal ika, dst. Tudingan ini diarusutamakan dengan gencar dan bertubi-tubi. Umat Islam pun merasakan ada pihak tertentu yang seakan merasa paling Indonesia dan sok kuasa. Negeri Muslim terbesar ini seolah hanyalah milik mereka. Pada sisi lain, umat Islam tahu siapa sesungguhnya mereka. Omongannya berbeda dengan kelakuannya.
Perasaan bahwa Islam dan umatnya dizalimi dan diperlukan tidak adil pun turut menyatukan mereka. Perasaan yang sama ini melahirkan kekuatan yang luar biasa.
Ketiga: Tauhid menyatukan umat. Pembeda Reuni 212 dengan acara sebelumnya adalah Bela Tauhid. Semuanya bersimbolkan tauhid. Prosesi seperti itu sebenarnya merupakan bentuk perlawanan. Seakan-akan ada seruan yang mereka sampaikan, “Wahai umat manusia, saksikanlah bahwa bendera yang dibakar itu adalah bendera tauhid. Milik umat Islam. Saksikanlah, kami bersatu di bawah kalimat ‘Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh’. Kami hidup dan mati untuk ‘Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh.’”
Hal ini wajar belaka. Sebab bendera tauhid bukan sekadar bendera. Setidaknya ada tiga hal terkandung di dalamnya. Pertama, merupakan pernyataan sikap berupa akidah. Dengan tauhid ini umat menyatakan tidak ada Zat yang wajib disembah selain Allah SWT dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Kedua, kalimat tauhid menyatukan umat Islam. Berbagai suku, ormas dan latar belakang menyatu. Mereka sama-sama menggemakan kalimat ‘Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh’.. Akidah Islam inilah yang menyatukan mereka. Ketiga, kalimat tauhid merupakan arah perjuangan. Perjuangan itu untuk menegakkan kalimat tauhid, izzul Islam wal muslimin. Tegaknya kalimat Allah SWT. Penerapan syariah Islam secara kâffah. Dorongan akidah/tauhid inilah yang menyatukan dan menggerakkan mereka hingga muncul keberanian dan sikap perlawanan terhadap kezaliman dan ketidakadilan. Tidak heran, idiom yang dipakai pun adalah mujahid-mujahidah 212. Ini bukan akhir dari perjuangan, namun awal kesatuan umat dalam menegakkan hukum tauhid di negeri zamrud khatulistiwa ini. Insya Allah. [Muhammad Rahmat Kurnia]