
Kemenangan Para Da’i Menghadapi Rezim Durjana
Di antara fragmen sejarah umat manusia adalah sejarah kemenangan para rijâl (tokoh sejarah) menghadapi rivalnya, terutama sejarah para nabi dan rasul menghadapi para rezim durjana pada masanya. Sejarah mereka membuktikan itu semua. Nabi Ibrahim as., misalnya, menghadapi Raja Namrudz yang mendakwakan rububiyyah kepada dirinya. Akibatnya, Nabi Ibrahim as. dilemparkan ke dalam gejolak api yang membara. Nabi Musa as. dan Nabi Harun as. mendakwahi Fir’aun dan bala tentaranya. Keduanya diperangtandingkan dengan 70 lebih tukang sihir. Lalu keduanya dikejar hingga ke Laut Merah yang terbelah. Itu semua bukti resistensi para rezim dan persekusi mereka terhadap dakwah yang disampaikan dengan lantang oleh para da’i utusan Allah ini.
Merekalah para rezim durjana yang terpedaya. Mereka lupa bahwa sebenarnya mereka semua dikepung tentara-tentara Allah pada setiap dimensi waktu dan dimensi ruangnya. Bahkan setiap jengkal dirinya, seluruhnya adalah makhluk ciptaan-Nya!
Apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada yang merasa aman dari azab Allah kecuali kaum yang merugi (QS al-A’raf [7]: 99).
Potret Keberanian Rasulullah saw. dan Para Sahabat
Demikian pula sayyid-nya para rasul dan para nabi, Rasulullah saw. Beliau menghadapi beragam entitas kekuasaan: entitas kaum musyrik (Quraysyi dan Persia), entitas kaum Nasrani (Romawi) dan entitas kaum Yahudi (suku-suku Yahudi). Sangat kompleks. Ini berbanding lurus dengan sifat risalah beliau yang ditujukan kepada seluruh umat manusia (QS Saba’ [34]: 28). Hal ini menuntut keberanian dan kekuatan tekad di jalan perjuangan. Keberanian ini tergambar dalam senandung syair:
Akulah nabi, tak ada dusta/Akulah keturunan ‘Abdul Muthallib.
Syair inilah yang disenandungkan oleh Rasulullah saw. tatkala terdepan menerjang barisan musuh dalam Perang Hunain. Beliau menguatkan tekad mengalahkan musuh di medan perjuangan. Ini membuktikan apa yang diutarakan Al-’Allamah Ali ash-Shabuni dalam Min Kunûz as-Sunnah an-Nabawiyyah, bahwa Rasulullah saw. adalah teladan terbaik dalam hal keberanian dan kekuatan. Tatkala orang-orang berhamburan dari Perang Hunain, tiada yang tersisa membersamai Rasulullah saw. di medan tempur melainkan segolongan kecil saja. Rasulullah saw. mengendarai baghlah-nya menerjang barisan musuh bersenandung dengan untaian syair semangat di atas. Rasulullah saw. dan para Sahabatlah yang Allah SWT gambarkan dalam ayat ini:
(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian. Karena itu takutlah kalian kepada mereka.” Namjun, perkataan itu malah menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami. Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS Ali ‘Imran [3]: 173).
Keberanian mereka lahir dari keyakinan dan ketawakalan kepada Allah SWT. Ia berpadu dengan kekuatan fisik, kekuatan mental, kekuatan pemikiran dan intelektual, bahkan yang paling mendasar, kekuatan iman dan ruhiyah. Semua itu terejawantahkan dalam kesadaran hubungannya dengan Allah. Itu semua tercakup dalam al-quwwah yang diisyaratkan dalam hadis dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih Allah cintai daripada Mukmin yang lemah. Pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagi kamu. Mintalah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu) dan janganlah sekali-kali engkau merasa lemah (HR Muslim dan Ibn Majah).
Al-’Allamah Ali ash-Shabuni menjelaskan bahwa hadis ini mendorong kita untuk meraih potensi kekuatan dan sebab-sebab kemuliaan dan pertolongan Allah SWT.
Dengan demikian Islam adalah diin yang kuat, yang memiliki kemuliaan dan kehormatan. Islam tidak meridhai pengikutnya berada dalam kehinaan, kelemahan dan kerendahan. Seorang Mukmin hanya dua: hidup mulia dengan Islam atau mati syahid dengan legasi sebagai pejuang:
Hiduplah terhormat atau mati dengan kemuliaan/Di antara tusukan tombak dan kibaran panji-panji
Al-’Allamah Ali ash-Shabuni menjelaskan bahwa makna wasta’in bilLâh dalam hadis ini adalah “Carilah pertolongan dari Allah dan bergantung kepada-Nya semata.”
وإن هو لم يرشدك في كل مسلك ٭ ضللتَ ولو أن السماك دليل»
Jika Allah tidak menolong kamu dalam apa yang kamu inginkan/maka tiada jalan apa pun bagi makhluk untuk menggapai keinginannya
Jika Dia tidak memberi kamu petunjuk pada tiap-tiap jalan/niscaya kamu akan tersesat sekalipun langit menjadi petunjuk
Meminta Pertolongan Allah
Keberanian para nabi dan rasul, termasuk Rasulullah saw. dilandasi keimanan kepada Allah dan keyakinan terhadap pertolongan-Nya. Rasulullah saw. bahkan berdoa dengan doa yang Allah SWT ajarkan kepada beliau:
Katakanlah, “Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar, dan keluarkan aku dengan cara keluar yang benar, dan anugerahilah aku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (QS al-Isra’ [17]: 80).
Al-‘Allamah Ali ash-Shabuni menukilkan atsar dari al-Hasan dan adh-Dhahhak bahwa maksudnya adalah masuk ke Al-Madinah al-Munawwarah dan keluar dari Makkah al-Mukarramah. Ketika itu kaum musyrik Quraysyi mencoba melakukan pembunuhan kepada Rasulullah saw. Namun, mereka gagal. Saat itu Rasulullah saw. berdoa: Anugerahilah aku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong (sulthân[an] nashîr[an]), yakni kekuatan dan perlindungan (quwwat[an] wa man’at[an]), ”yang menolong diriku dalam menghadapi musuh-musuh-Mu, hingga dengan itu mulialah Dîn-Mu”.
Lantas, apakah perjalanan dari Makkah ke Madinah ditempuh oleh Rasulullah saw. dengan Buraq sebagaimana dalam peristiwa al-Isra’ ke Al-Masjid Al-Aqshâ? Tidak. Rasulullah saw. dan Abu Bakar ra. jelas melakukan perjalanan panjang penuh ujian dan tantangan. Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa pertolongan Allah SWT semata-mata turun kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan berjuang untuk Dîn-Nya; berikhtiar dan berkorban di jalan-Nya. Allah SWT berfirman:
Jika kamu tidak menolong dia (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolong dia, (yaitu) ketika kaum kafir (kaum musyrik) mengeluarkan dia (dari Makkah), sedangkan ia adalah satu dari dua orang ketika keduanya di dalam gua. Ketika itu ia berkata kepada temannya, “Janganlah kamu berdukacita. Sesungguhnya Allah beserta kita.” Lalu Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantu dia dengan tentara yang tidak kalian lihat. Al-Quran menjadikan orang-orang kafir itu rendah. Kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana (QS at-Taubah [9]: 40).
Menariknya, dalam peristiwa hijrah Nabi saw. itu, Allah menurunkan makhluk-Nya, yakni laba-laba dengan jaring-jaringnya, mengelabui kaum Kafir Quraysyi. Lalu Allah benar-benar menurunkan pertolongan-Nya dengan tegaknya Ad-Dawlah Al-Islamiyyah di Madinah, yang memenangkan Islam di atas agama-agama:
Katakanlah, “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (QS al-Isra’ [17]: 81).
WalLâhu a’lam. [Irfan Abu Naveed, M.Pd.I (Peneliti Balaghah al-Quran & Hadits Nabawiyyah)]