Nisa

Membebaskan Muslimah Dari Islamofobia

Islamofobia yang melanda Dunia Islam memang telah overdosis.  Para pembenci Islam justru berasal dari kalangan Muslim yang pemikirannya telah terdegradasi oleh ide kapitalis sekular.  Para punggawa rezim, komunitas masyarakat sipil bahkan ulama su’ amat mudah memberi stigma buruk atas geliat kebangkitan umat.  Dengan sewenang-wenang mereka menyebut fenomena hijrah, misalnya, sebagai pintu masuk terorisme.  Turut terjangkit Islamofobia adalah pernyataan seorang menteri yang menghimbau kampus mendata nomor telepon dan akun media sosial mahasiswa baru sebagai antisipasi penyebaran radikalisme. Sebelumnya, seorang anggota dewan yang besar di lingkungan pesantren turut memviralkan ketakutan akan bendera tauhid yang dikibarkan oleh siswa SMA!

 

Strategi Global Penderasan Islamofobia

Fobia atas Islam sesungguhnya adalah ketakutan akan kebangkitan Islam ideologi. Takut Islam akan kembali tegak memimpin dunia sebagaimana supremasi Khilafah Utsmaniyah di Abad Pertengahan.  National Strategy Combating Terorism, yang dikeluarkan US Departement of States (2006) mengungkapkan “…Musuh yang dihadapi bukan hanya terorisme itu sendiri. Namun ideologi yang melatari atau mendukung aksi terorisme tersebut…gerakan-gerakan yang menentang AS dan mereka menggunakan Islam sebagai ideologi mereka.”

Karena itu Khaled Abou el-Fadl, seorang profesor di UCLA School of Law,  merekomendasikan narasi alternatif demi menghilangkan keywords dalam Islam yaitu khilafah, daulah (negara) Islam, jihad dan hijrah.

Indonesia, sebagaimana negeri Muslim lainnya, memang berada dalam radar ‘building moderate muslim’  yang diaruskan untuk menggantikan kepemelukan umat terhadap ideologi Islam.  Kerinduan untuk merealisasikan Islam kaffah yang mewujud dalam Khilafah Islam, beserta metode untuk menggapainya, dimonsterisasi sebagai bagian dari phobia. Ketakutan yang tumbuh di luar nalar logis manusia.   Karena itu narasi alternatif yang mereka kembangkan untuk memupus narasi ‘ekstrem’ itu adalah dengan membangun narasi Islam moderat.   Inilah yang dicanangkan Majelis Umum PBB sebagai United Nations Global Counter-Terrorism Strategy bagian dari Global War on Terrorism (GWoT).

Dalam proyek Countering Violent Extremism (CVE), sebagai Resolusi 2178 (tahun 2014), Dewan Keamanan PBB  menekankan agar setiap pemerintah memberdayakan pemuda, keluarga, perempuan, pemimpin agama-budaya-pendidikan dan semua kelompok masyarakat sipil untuk menangkal narasi ekstrem itu. Alasan perempuan dilibatkan sebagai pemain dalam proyek tersebut karena perempuan kian aktif merekrut orang, mengumpulkan dana, menyebarkan ideologi ‘ekstremis’  dan bahkan berpartisipasi dalam aksi kekerasan.  Karena itu Barat mengawinkan isu perempuan, gender dan ekstremisme sebagai pencegahan penyebarluasan pemahaman  Islam ideologis.

Salah satunya adalah program UN Women yang bertajuk  “Empowered Women, Peaceful Communities”. Program ini  didanai oleh Pemerintah Jepang dan dioperasikan di Indonesia dan Bangladesh.1

Dalam program pencegahan ekstremisme tersebut, perempuan dilibatkan dalam dua agenda utama yakni ekonomi dan sosial budaya.  Fokus pada agenda ekonomi, kontribusi perempuan harus ditingkatkan melalui pemberdayaan ekonomi.  Pada agenda sosial budaya, perempuan harus aktif sebagai duta damai yang toleran dan pro terhadap pluralisme.  Harapannya, dengan menyibukkan diri dalam mencari tambahan penghasilan, perempuan akan beralih dari keinginan mengkaji narasi “ekstrem”, memupus keinginannya untuk hijrah dalam rangka mendalami dan memperjuangkan Islam kaffah.

Program yang berjalan di Sumenep, Klaten dan Depok sepanjang 2017 ini juga mendorong perempuan sebagai agen ‘perubahan sosial’ dalam menciptakan komunitas masyarakat sipil yang turut menderaskan isu Islam moderat.  Islam ‘jadi-jadian’ yang kian ramah dengan pluralisme, kesetaraan gender, demokrasi dan liberalisasi.  Program tersebut searah dengan  posisi Indonesia yang secara sadar menjadi bagian dari forum Counter Terorism  global.  Indonesia telah menegaskan dirinya sebagai pemimpin global Islam moderat, sebagaimana peran yang dicontohkan Presiden Joko Widodo yang menjadi tuan rumah KTT Islam Moderat  pada tahun 2018.2

 

Membebaskan Muslimah dari Islamofobia

Muslimah adalah komponen terpenting umat.  Demikian juga posisi komunitas mereka, baik yang tergabung dalam organisasi kemasyarakatan, himpunan profesi ataupun satuan kecil dalam majlis ta’lim dan kelompok dzikr.  Mereka adalah harapan untuk mewujudkan penerapan Islam kaffah.  Mereka juga amat berpotensi untuk menghadang Islamofobia dengan segala tipudaya dalam agenda untuk melemahkan umat.

Namun, upaya untuk melibatkan Muslimah dalam dakwah melawan Islamofobia terganjal oleh berbagai rancangan para pembenci Islam.  Amerika Serikat sebagai negara pertama jelas memanfaatkan pengaruhnya yang luar biasa dalam menyusun narasi kebencian terhadap Islam.  AS dikelilingi negara-negara satelit dan pengekor yang setia sampai mati menerima dan melaksanakan dikte-dikte paham batil demokrasi, pluralisme, kesetaraan gender dan lain-lain dalam menghadang penyampaian pemahaman yang benar tentang Khilafah, jihad, hijrah dan syariah kaffah.  Negara-negara itu menggunakan institusi dan aktor global, regional, nasional hingga lokal untuk menghalangi umat mengindra narasi sahih terhadap  Islam ideologi.

Di negara pengekor, yang notabene beranggotakan negeri-negeri Muslim, Barat memanfaatkan tokoh umat, termasuk ulama dan cendekia untuk mengobrak-abrik pemahaman Islam.  Mereka mengemas Islam jadi-jadian yang bersumberkan ideologi kapitalis sekular dengan  tajuk Islam moderat ataupun Islam Nusantara.  Tak bisa dipungkiri jika ada umat yang tertipu dan turut memperkuat paham batil itu. Padahal Allah SWT telah mengingatkan kaum Muslim agar selalu berhati-hati terhadap penyimpangan Islam.

وَلَا تَرۡكَنُوٓاْ إِلَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ فَتَمَسَّكُمُ ٱلنَّارُ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ مِنۡ أَوۡلِيَآءَ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ 

Janganlah kalian cenderung pada orang yang zalim yang menyebabkan kalian disentuh api neraka, sedangkan kalian tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, sehingga kalain tidak ditolong (QS Hud [11]: 113).

 

Agar para Muslimah mampu mengenali paham batil yang bakal menjerumuskan mereka dalam kesesatan, yang pertama kali harus dilakukan adalah bergabung dengan jamaah kaum Muslim.  Bukan sembarang jamaah, tetapi jamaah yang terbukti ikhlas hanya berjuang demi ‘izzatul Islam wal Muslimin. Jamaah sahih yang berjuang sesuai metode dakwah Rasulullah saw. dalam membina masyarakat hingga mereka yakin akan keharusan menerapkan syariah Islam kaffah, tanpa mencampuradukkannya dengan demokrasi ataupun paham produksi manusia lainnya. Jamaah inilah yang akan memberikan lingkungan politik sebagai wahana bagi Muslimah untuk berproses menjadi khayru ummah yang memiliki keyakinan dan pemahaman yang kokoh terhadap ajaran Islam.

Pemahaman yang kuat akan Islam dan keimanan yang teguh ini akan membentuk kekuatan dalam rangka mengemban tanggung jawab dakwah: menyerukan pemikiran-pemikiran Islam, menyebarluaskan  konsep-konsep Islam dan membongkar narasi-narasi rusak yang disebarluaskan musuh-musuh Islam. Dengan modal yang cukup, Muslimah akan mampu menentang dan menjelaskan  kebatilan segala ide dan pandangan yang lahir dari akidah kufur seperti kapitalisme, sekularisme, pluralisme, sosialisme dan liberalisme.  Demikian juga menjelaskan kebatilan ide yang lahir darinya yaitu demokrasi, HAM, kesetaraan gender dan sebagainya secara gencar.  Muslimah akan mampu melakukan perlawanan melalui hujjah yang elegan dalam menghadapi dinamika strategi kufur.  Mereka akan terlibat dalam upaya penyadaran masyarakat terus menerus, sebagai konsekuensi dakwah berjamaah yang bertarget menerapkan seluruh syariah  dalam institusi negara.

Karena itu sungguh tak pantas Muslimah membiarkan dirinya tersandera dalam program pemberdayaan perempuan dan kian larut dalam kesibukan duniawi tanpa mau menjadi pembela agama.  Na’udzu bilLahi min dzalik, karena Allah akan berpaling dari kita dan tak bakal memberikan pertolongannya saat kita membutuhkan-Nya. [PJS]

 

Catatan kaki:

http://www2.unwomen.org/-/media/field%20office%20eseasia/docs/publications/2018/06/unw18009_report_with%20date.pdf?la=en&vs=1709

https://www.newmandala.org/the-problems-of-countering-violent-extremism-in-indonesia/

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four + eleven =

Back to top button