Analisis

Hijrah Membawa Berkah

Beberapa tahun silam orang mengenal Arie K. Untung ada di jajaran VJ stu tv asing yang tayang di salah satu tv swasta nasional. Trendi, gaul dan wara-wiri bersama artis-artis lain. Arie kemudian tampil sebagai komedian di satu serial sitkom di tv swasta.

Sekarang Arie bersama istrinya, Fenita, menjadi pasangan penggerak artis hijrah bersama sejumlah artis-artis lain. Kalangan jet set ini ramai-ramai meninggalkan dunia glamour dan status selebritas mereka. Kini di layar kaca dan media sosial, public figure macam Arie dan istrinya tampak sering memuat status kehadiran mereka di tengah-tengah para dai kondang atau jamaah pengajian. Mengadakan agenda Hijrahfest yang dibanjiri ribuan generasi milenial yang haus siraman ruhani Islam. Bahkan mereka juga ikut dalam perhelatan politik Islam seperti 212 dan 411 mengusung dakwah Islam.

 

Kapitalisme dan Kejenuhan Hedonisme

Kapitalisme memang menawarkan impian keberlimpahan finansial dan kemewahan bagi kaum jet set dan selebriti. Dengan pendapatan perbulan bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah, hampir tak ada yang tak bisa mereka beli dan miliki. Tidak heran bila berbagai acara audisi menjadi superstar selalu dipadati peminat. Bahkan orang rela melakukan apa saja hanya untuk mendapatkan peran kecil di satu film atau sinetron, misalnya. Harapannya, momen itu menjadi loncatan karir yang lebih tinggi lagi.

Kapitalisme memang menawarkan semua impian kekayaan, kecuali satu: spiritualisme. Ideologi Kapitalisme yang memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk berada di level puncak kemakmuran justru telah mencabut aspek ruhiah para penghuninya. Di tengah rumah megah dan mewah, banyak selebritis yang menjerit pilu karena hidup mereka terasa kering. Mereka mengalami kegelisahan plus ketakutan. Kondisi mereka ini yang oleh dunia psikologi modern disebut sebagai hedonisme treadmill. Kebahagiaan tak kunjung bertambah meski keadaan finansial makin berlimpah.

Bahkan tidak jarang popularitas dan kekayaan justru merampas kebahagiaan yang dulu mereka miliki, seperti kebebasan. Aktris tahun 90-an, Winona Ryder mengatakan, “Bagian terburuk menjadi aktris dan menjadi terkenal adalah orang-orang mengerumunimu dan ingin menyentuhmu. Itu mengerikan. Seolah-olah engkau sudah menjadi milik umum.”

Top karir yang mereka dapatkan ternyata justru membawa dampak negatif pada kehidupan mereka dan keluarga mereka. Ini yang tak pernah mereka bayangkan sebelum menjadi terkenal. Keluarga McAuley Culkin sebelumnya begitu hangat dan dekat satu sama lain. Saat kemudian aktor pemeran Home Alone ini terkenal, keluarga mereka berantakan. Kedua orangtuanya bercerai dan berebut penghasilan dari dirinya. Begitu pula yang dialami beberapa pesohor terkenal di usia anak-anak, lalu akhirnya terpuruk dalam kehidupan sosial.

Kehidupan industri perfilman juga penuh tekanan dan rawan dengan pelecehan seksual. Ribuan orang, terutama kaum perempuan, menjadi korban pelecehan seksual yang melibatkan produser, sutradara hingga pemilik industri perfilman. Nama top seperti Bill Cosby hingga industriawan Harey Weinstein, pemilik perusahaan perfilman raksasa Weinsten Company, masuk dalam jajaran pelaku pelecehan sejumlah perempuan.

Kondisi ini kemudian melahirkan budaya escaping, melarikan diri dari persoalan hidup. Bentuknya beragam: menjadi pesakitan dengan kelakuan brengsek, terjerat narkoba, bunuh diri atau mencari pencerahan spiritual. Pilihan terakhir cukup banyak dilakukan selebritis di Barat sana. The Beatles berangkat ke India belajar spiritualisme pada Maharishi Mahesh Yogi, Richard Gere berguru ke Dalai Lama di Tibet, Tom Cruise menjadi pengikut fanatik saintologi. Masih banyak lagi selebriti Barat yang menekuni ajaran spiritual sebagai penenang kegelisahan batin mereka.

 

Hijrah Bentuk Ketaatan

Kondisi ini merata di semua masyarakat yang menganut ideologi sekularisme-kapitalisme. Keberlimpahan materi dan popularitas tak selamanya berbanding lurus dengan ketenangan batin. Di Tanah Air, dengan mayoritas penduduknya Muslim, kehidupan para artis Muslim ini lebih beruntung. Sebagian dari mereka yang kebahagiaan mereka terbelenggu kesuksesan karir, berbalik menuju jalan Islam. Agama yang paripurna dan sempurna.

Mendiang rocker 90-an, Hari Moekti, adalah contoh sukses artis hijrah. Kegelisahan hatinya akhirnya membawa dia bertemu pada kajian Islam. Bahkan selanjutnya sang rocker tampil di hadapan publik sebagai juru dakwah yang menyerukan syariah Islam dan Khilafah hingga akhir hayatnya pada tahun 2018. Kang Hari, panggilan akrabnya, tidak berpuas diri menjadi pribadi yang salih, tetapi juga menggerakkan banyak orang untuk sama-sama kembali ke jalan Islam. Bahkan ia berani menantang sekularisme dan liberalisme yang dipercayai sebagai biang kerusakan di negeri ini. Ia lalu menyerukan penerapan syariah Islam dan penegakkan Khilafah Islamiyah.

Setelah itu berdatanganlah para artis generasi berikutnya seperti Arie Untung dan istrinya, keluarga Teuku Wisnu, rocker Derry Sulaeman dan Yukie, dll. Mereka mulai berhijrah karena kesadaran untuk totalitas dalam berislam. Perlahan mereka mulai meninggalkan dunia entertaintmen meski menjanjikan kebebasan finansial. Kemudian mereka hijrah menuju kehidupan islami. Bersungguh-sungguh menyelaraskan gaya hidup dengan aturan Islam.

Jadi berbeda dengan di Barat, kalangan selebritis menuju ajaran spiritual sebagai bentuk pelarian dan ketenangan batin semata sehingga tak banyak perubahan gaya hidup yang terjadi selain ada aktivitas ritual peribadatan. Di Tanah Air, gelombang hijrah kini sudah lebih mendalam sebagai bentuk kesadaran akan ketaatan beragama. Hal itu tampak dari aktivitas pengajian yang marak mereka adakan dan perubahan gaya hidup yang makin terikat pada syariah Islam. Kaum selebritis hijrah ini mulai beramai-ramai meninggalkan muamalah ribawi, para Muslimah sudah tak lepas dari busana islami dengan jilbab dan kerudung. Sebagian dari mereka juga tampil menginspirasi generasi milenial untuk berubah menuju jalan Islam. Termasuk berani menyuarakan Islam sebagai identitas politik dan perjuangan mereka.

Dinamika sosial ini jelas perubahan yang baik bagi masyarakat, khususnya generasi milenial. Kalangan anak muda yang selalu butuh ikon gaya hidup kini punya alternatif lain yang bermuatan kental Islam. Para public figure itu memberikan contoh kepada follower mereka untuk menjauhi minuman keras, tidak berpacaran tapi menikah, menutup aurat, menjauhi riba, dan bangga dengan jatidiri sebagai Muslim. Ini kontras dengan kehidupan masyarakat liberal; budaya permisif justru menjadi gaya hidup masyarakat khususnya anak-anak muda. Seks pranikah, narkoba, glamor menjadi tren budaya mereka. Kini muncul gaya hidup alternatif, yakni ajaran Islam.

 

Bukan Ancaman

Karena itu menyebut femonena artis dan generasi milenial hijrah sebagai ancaman radikalisme adalah tudingan tanpa dasar. Perubahan para artis yang kemudian menjadi contoh bagi generasi milenial adalah sesuatu yang justru patut disyukuri, bukan disesali apalagi dicurigai. Sekecil apapun perubahan menuju kebaikan di negeri ini adalah berkah di tengah carut-marut keadaan sosial masyarakat. Ketika budaya hedonisme dan permisivisme sudah menggurita, lalu ada sebagian pesohor yang kemudian berhijrah, itu adalah anugerah. Kita bisa mendengar betapa bahagianya keluarga sebagian pesohor itu melihat perubahan anggota keluarga mereka. Vokalis PAS Band, Yuki Arifin Martawidjaja, misalnya, menceritakan istri dan anak-anaknya amat bersyukur melihat kepala rumah tangga mereka kini lebih dekat dengan agama. Bukankah itu lebih baik ketimbang melihat seorang ketua umum parpol Islam terjerat korupsi dan transaksi jabatan di satu kementerian, juga melibatkan menterinya?

Kelompok yang menyebut para gelombang hijrah para pesohor ini sebagai ancaman, anehnya tak pernah menyebut budaya Barat yang liberal atau maraknya budaya K-Pop sebagai ancaman untuk negeri. Ketika penyanyi asal AS Lady Gaga akan mengadakan konser di Tanah Air, pembelaan justru datang dari ormas Islam. Padahal Lady Gaga dikenal sebagai artis pendukung LGBT. Lagu serta video klipnya sarat dengan konten pornografi. Begitu pula sejumlah film nasional yang sarat dengan konten tahayul, LGBT dan kekerasan dan seks bebas; nyaris tak tersentuh kelompok ini.

Isu radikalisme yang ditudingkan juga tak jelas bentuknya. Apa yang dimaknai radikalisme? Apakah tobatnya seorang selebritis dari karirnya lalu kembali ke jalan Allah dikategorikan radikalisme? Bukankah itu satu amal kebaikan yang harusnya diapresiasi dan diberi dukungan? Mengapa tudingan radikalisme tak mereka gunakan juga kepada para pendukung sekularisme-liberalisme?

Jelas, menyebut gelombang hijrah para selebriti sebagai sinyal bahaya bagi negara adalah igauan belaka. Kecurigaan dan tuduhan itu bisa dipastikan dari kalangan status quo yang ingin mempertahankan negeri ini tetap ada dalam cengkeraman kultur sekularisme-liberalisme. Merasa terancam ideologinya, lalu mengada-ada tudingan bahwa radikalisme Islam berada di balik hijrahnya para artis tersebut.

Bisa dipahami bila para penganut kaum liberalisme ini mengkhawatirkan kian banyaknya selebriti yang berhijrah. Pasalnya, para artis itu di tangan kaum liberalis adalah alat yang efektif untuk menyebarkan paham liberalisme mereka di masyarakat, khususnya generasi muda. Para pesohor adalah role model yang menjadi magnit untuk kemudian diduplikasi para publik. Para artis itu adalah kelompok rujukan sebagian masyarakat–yakni anak-anak muda–dalam urusan gaya hidup. Mulai dari film, lagu hingga akun medsos para pesohor itu akan diikuti dan dijadikan referensi. Selama para selebriti itu berada dalam lingkaran ideologi sekularisme-liberalisme, maka nilai-nilai ideologi itu akan tetap terjaga bahkan makin kokoh di tengah masyarakat.

Kelompok lain yang merasa dirugikan dengan fenomena artis hijrah tentu saja para pemodal dunia hiburan dan rumah produksi. Mereka ibarat kehilangan ayam petelur emas yang menjadi sumber pemasukan. Apalagi sebagian dari mereka justru berhijrah di tengah puncak karirnya. Secara finansial ini jelas merugikan para pemilik industri dunia hiburan. Hijrahnya para artis juga menjadi ancaman karena kemudian mereka akan berbalik arah menentang berbagai tayangan entertaintmen seperti acara gosip, film-film amoral, dsb.

Di sisi lain, hijrahnya para artis juga menjadi sumber kekhawatiran dunia perbankan. Pasalnya, belakangan tidak sedikit para pesohor ini yang terlibat dalam aksi tolak muamalah ribawi. Tentu saja ini menjadi kampanye negatif bagi kalangan perbankan konvensional berbasis riba. Para pesohor yang berhijrah ini semakin paham bila muamalah ribawi adalah sesuatu yang wajib mereka tinggalkan karena keharamannya.

Hijrahnya para artis juga mencemaskan para politisi sekular. Pasalnya, para artis hijrah ini bukan hanya gerakan moral spiritual, tetapi membawa muatan perjuangan politik Islam. Kalangan elit parpol sekular menganggap gelombang hijrah ini akan menyeret negeri Indonesia ke dalam pelaksanaan syariah Islam. Itu mereka nilai sebagai tindakan radikalisme.

Para elit parpol ini seperti mengalami katarak politik akut. Mereka seperti pura-pura tak melihat kondisi negeri hari ini dalam titik nadir secara sosial, ekonomi maupun politik. Penyebabnya karena penerapan sistem demokrasi dan kapitalisme. Hal itu terjadi karena mereka mendapat keuntungan dari kondisi ini. Sebagian dari mereka menjadi perpanjangan tangan kaum imperialis asing dan aseng yang ingin terus mencengkeram negeri ini dalam jajahan mereka.

 

Kesimpulan

Sama sekali tak ada ancaman bagi negeri ini dengan fenomena gelombang hijrah masyarakat di tanah air. Justru peristiwa ini menandakan kesadaran Muslim akan agamanya semakin meninggi. Keinginan mereka untuk berislam datang karena kecintaan pada agama, bukan karena kesadaran semu.

Kita berharap gelombang hijrah ini tidak terhenti pada ritual ibadah, tren busana, atau rumah tangga, namun juga berkelanjutan pada spirit penerapan ajaran Islam secara kaffah dalam semua aspek: ekonomi, sosial, politik dan bernegara. Sejatinya Islam adalah agama yang paripurna dan sempurna. Sudah seharusnya setiap bagian dari ajaran Islam diterapkan dalam kehidupan sekarang.

WalLahu a’lam. [Iwan Januar]

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seventeen − 12 =

Back to top button