Peran Politik Muslimah Pasca Pemilu (Refleksi Perjuangan Shahabiyah)
Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum politik Islam adalah mengatur urusan rakyat baik dalam negeri maupun luar negeri sesuai dengan ajaran Islam. Politik secara praktis dilakukan negara. Adapun rakyat punya kewajiban untuk mengontrol jalannya pemerintahan agar sesuai dengan ajaran Islam. Karena itu rakyat wajib menasihati dan mengoreksi kepada penguasa. (Zallum, Pemikiran Politik Islam Bangil: Al Izzah, hlm.11-15).
Memperhatikan definisi tersebut, keadaan politik Islam di Indonesia sebelum dan sesudah Pemilu sama atau bahkan semakin parah. Pengaturan urusan rakyat atau menjalankan roda pemerintahan belum sesuai dengan ajaran Islam. Padahal kewajiban negara adalah menerapkan politik Islam di dalam negeri, yaitu melaksanakan seluruh aturan atau hukum Islam yang berkaitan dengan pengaturan rakyat di dalam negeri. Caranya dengan menerapkan sistem ekonomi, sistem keuangan, sistem politik, sistem hukum, sistem sanksi dan sistem pemerintahan Islam secara menyeluruh. Adapun pelasaknaan politik luar negeri adalah dengan membangun hubungan luar negeri dengan misi mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.
Menyikapi keadaan tersebut, tentu Muslimah harus memainkan peran strategisnya dalam politik, yaitu mengubah keadaan politik agar sesuai dengan ajaran Islam. Aktivitas politik yang harus dilakukan adalah amar makruf nahi munkar dan menasihati/mengoreksi penguasa. Tentu hal ini tidak bisa terlaksana secara sempurna kecuali dilakukan secara berjamaah, yakni dalam partai politik Islam atau jamaah dakwah yang bertujuan menegakkan Islam kâffah. Allah SWT berfirman:
وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ
Hendaklah ada di antara kalian umat yang menyerukan kebajikan dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Merekalah kaum yang beruntung (QS Ali Imran [3]: 104).
Menurut Abu Ja’far ath-Thabari dalam tafsirnya, adanya kewajiban atas kaum Muslim untuk berdakwah secara jamaah. Dakwah yang menyeru orang kafir agar masuk ke dalam agama Islam. Juga melaksanakan kewajiban berdakwah kepada orang Islam untuk mengerjakan yang makruf, yaitu mengikuti Nabi Muhammad saw. (agama Islam), dan mencegah kemungkaran, yaitu kufur kepada Allah. Dengan kata lain mewujudkan Islam kaffah. (Ath-Thabari,Tafsir ath-Thabari, 7/9).
Dalam menjalankan aktivitas politik, kaum Muslimah perlu meneladani para shahabiyah. Peran politik Muslimah sangat sempurna diperankan oleh Ibunda Khadijah, istri dan anggota partai Rasulullah. Khadijah memberikan persembahan terbaik, baik tenaga, waktu maupun harta agar partai Rasulullah saw. mencapai tujuannya, yaitu penerapan seluruh hukum Islam. Pada awal Rasulullah diutus belum ada satu pun yang beriman. Ibunda Khadijahlah yang beriman pertama kali dan memberi dukungan penuh kepada Rasuluullah.
Dikisahkan, Rasulullah saw. datang dari Gua Hira dalam keadaan ketakutan. Khadijah menyelimuti dan menghibur beliau. Ia berkata, “Sekali-kali tidak. Demi Allah, Allah tidak akan menghinakan engkau selama-lamanya. Sungguh engkau selalu menyambung hubungan keluarga. Engkau biasa memikul beban orang lain. Engkau biasa membantu orang yang memerlukan. Engkau biasa menjamu tamu. Engkau pun biasa membantu pelaku kebaikan.” (HR al-Bukhari).
Ibunda Khadijah seorang bangsawan yang disegani. Ia juga saudagar ekspor-impor yang kaya-raya. Ia selalu mendampingi, mendukung perjuangan Rasulullah saw. dengan penuh cinta, kasih sayang, pengorbanan harta dan jiwa raganya. Karena itu tidak heran jika Malaikat Jibril menyampaikan salam kepada Khadijah. Jibril berkata, “Wahai Rasulullah…sampaikan salam dari Tuhannya dan dariku untuk Khadijah. Sampaikan pula berita gembira kepada dia, sebuah rumah di surga yang terbuat dari intan permata yang berongga, yang tiada kegaduhan di sana dan tiada pula keletihan.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Ibunda Khadijah mendampingi dakwah Rasulullah saw. sepanjang hidupnya, yaitu pada marhalah (fase) tatskîf (pembinaan/kaderisasi) dan tafâ’ul (kontak dakwah dengan masyarakat). Akan tetapi, beliau tidak bisa menikmati kemenangan Islam, tercapainya tujuan dari partai Rasulullah, yaitu penerapan hukum Islam di Madinah. Beliau wafat tiga tahun sebelum Hijrah. Dengan persembahan terbaik beliau terhadap perjuangan Islam, Allah SWT mengabarkan Surga Firdaus sebagai balasannya (Ali bin Nayif asy-Syuhud, Keistimewaan 62 Muslimah Pilihan, Solo: Pustaka Al Hanan, 2013, hlm 52-56).
Peran politik yang luar biasa juga terdapat pada teladan kita, Nusaibah binti Kaab. Nusaibah bersama suami dan dua anaknya menjadi perisai/pelindung Rasulullah saw. saat Perang Uhud. Nusaibah memberikan persembahan terbaik demi melindungi nyawa Rasulullah saw. Beliau rela berkorban apa saja, termasuk nyawanya. Luka-luka karena sabetan pedang yang diderita suami, dua anaknya dan dirinya juga tidak mengendorkan semangat melindungi Rasulullah saw. Bahkan saat banyak orang lari meninggalkan Rasulullah saw., hal itu tidak membuat Nusaibah bergeming. Apalagi setelah Rasulullah saw. berdoa, “Ya Allah, jadikan mereka (keluarga Nusaibah) sebagai teman-teman dekatku di Surga.” (Thabaqah Ibnu Sa’ad).
Nusaibah berkata, “Aku tidak peduli musibah apapun yang menimpaku di dunia.”
Nusaibah juga salah satu dari dua orang wanita yang mewakili kaum perempuan saat itu untuk membaiat Rasulullah pada Baiat Aqabah atau Baiat In’iqâd, yaitu membaiat Rasulullah sebagai pemimpin negara yang akan menegakkan Islam kâffah di Madinah (Asy-Syuhud, Keistimewaan 62 Muslimah Pilihan, Solo: Pustaka Al Hanan, 2013, hlm 164-167).
Muslimah patut meneladani persembahan terbaik Nusaibah untuk merealisasikan politik Islam. Muslimah wajib berkontribusi dalam perjuangan tegaknnya ajaran Islam, berdakwah secara berjamaah untuk mewujudkan politik dalam negeri dan luar negeri agar dijalankan sesuai ajaran Islam. Ia juga harus berusaha membina keluarganya menjadi keluarga pejuang Islam. Dengan itu ia senantiasa hidup bahagia, berkah dalam ridha Allah, bersama keluarga dalam perjuangan, berkumpul di dunia sampai ke surga.
Selanjutnya teladan kita yang lain adalah Ibunda Aisyah ra. Ia sangat berperan dalam edukasi politik Islam. Ia seorang istri yang cerdas, kritis. Dalam menyelesaikan masalah selalu merujuk pada Islam. Di antara tujuh ulama besar sahabat perawi hadis, ia adalah satu-satunya Muslimah. Ibunda Aisyah ra. urutan ke empat setelah Abu Hurairah ra., Abdullah bin Umar ra. dan Anas bin Malik ra.
Ibunda Aisyah adalah output pendidikan politik yang diselenggarakan Rasulullah saw. Aisyah menjadi istri Rasulullah pada usia 9 tahun. Ia cerdas. Terdapat hikmah yang luar biasa. Ilmunya luas. Akidahnya kokoh. Pemahamannya jelas. Abu Bard bin Abi Musa menceritakan dari ayahnya, katanya, “Tidaklah para sahabat Rasulullh saw. menghadapi kesulitan (masalah) lantas kami tanyakan kepada Aisyah, melainkan kami mendapatkan ilmu di sisinya.”
Al-Hakim meriwayatkan dari Atha’ bin Rabah ra., “Aisyah adalah orang yang paling ahli tentang fikih, termasuk fikih siyâsah, terpandai dan orang yang paling baik pendapatnya secara umum.” (Sulaiman an-Nadawi, Aisyah ra., The Greatest Woman in Islam, Jakarta: Qisthi Press, 2007).
Dalam beraktivitas politik (urusan pemerintahan) wanita boleh menjabat sebagai pegawai maupun kepala dalam urusan apapun; baik kesehatan, pendidikan, kebudayaan, ekonomi maupun social; kecuali menjadi khalifah (kepala negara) dan penguasa yang lain. Hal ini haram bagi wanita sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةٌ
Tidak beruntung suatu kaum yang urusannya diserahkan kepada wanita (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Jumhur ulama sepakat melarang wanita menjabat sebagai khalifah atau kepala negara, atau jabatan pemerintahan yang termasuk wilâyah al-amri/wilayah al-hukm (Lihat: Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhim, saat menafsirkan QS an-Nisa’ ayat 34; Ibn Rusydi al-Qurthubi, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, hlm.747).
Namun demikian, wanita berhak untuk memilih kepala negara (khalifah) untuk dibaiat. Wanita juga berhak untuk mengetahui bagaimana pemerintah menjalankan roda pemerintahan, peraturan dan undang-undang yang telah ditetapkan, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak. Selanjutnya wanita berhak untuk mengoreksi penguasa jika tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Alkisah, pada suatu hari, Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab membuat regulasi tentang larangan perempuan menetapkan mahar yang terlalu mahal. Merespon keputusan tersebut, seorang wanita protes dan mengingatkan Khalifah Umar ra. tentang satu ayat al-Quran:
وَءَاتَيۡتُمۡ إِحۡدَىٰهُنَّ قِنطَارٗا فَلَا تَأۡخُذُواْ مِنۡهُ شَيْئًاۚ ٢٠
Padahal kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak. Karena itu janganlah kalian mengambil kembali dari harta itu barang sedikit pun (QS an-Nisa’ [4]: 20).
Karena ketundukan pada Islam, Khalifah Umar ra. pun mencabut kembali peraturan itu sambil berkata, “Perempuan itu benar dan Umar salah.”
Demikian. Semoga para Muslimah bisa meneladani peran politik yang telah dicontohkan para shahabiyah yang diridhai Allah SWT. Amin. [Dr. Rahma Qomariyah]