Fikih

Hukum Islam Seputar UU Administratif dan UU Lalu-lintas

Soal:

Di negeri kami banyak terjadi kecelakaan lalu-lintas. Keadaan ini menyebabkan kematian banyak orang. Kami dinasihati untuk tidak melanggar UU Lalu-Lintas guna menjaga pengemudi dan penumpang. Namun, ada sebagian anggapan bahwa UU itu tidak islami dan tidak memiliki nas, dan semua UU yang mengatur kami adalah tidak islami, termasuk di dalamnya UU Lalu Lintas. Sebagian lagi menganggap UU ini syar’i dan tidak boleh dilanggar. Akibatnya, terjadilah kontroversi.

Pertanyaannya: Apakah haram melanggar UU Lalu Lintas di negara-negara yang memerintah dengan selain Islam, baik hal itu di negeri kaum Muslim ataupun di negeri kufur? Adakah dalil-dalilnya?

 

Jawab:

Terkait dengan pertanyaan di atas, berikut penjelasan masalah tersebut dari berbagai aspeknya, dengan izin Allah:

Undang-undang didefinisikan sebagai “sekumpulan kaidah yang dipaksakan oleh penguasa atas masyarakat agar diikuti di dalam interaksi-interaksi mereka”. Ini berarti, pengua-sa atau negara menetapkan dan mengadopsi hukum-hukum tertentu serta memerintahkan untuk diamalkan. Setelah pengadopsiannya oleh penguasa atau negara itu, hukum-hukum ini menjadi undang-undang yang mengikat rakyat.

Penetapan undang-undang yang ditunjukkan itu boleh secara syar’i. Khalifah melakukan itu. Sebab syariah menjadikan hak pengadopsian hukum dan pewajibannya ada pada Khalifah. Kami telah merinci tentang perkara ini di dalam buku-buku kami. Saya mengutipkan sebagiannya dari buku Muqaddimah ad-Dustûr Juz I ketika menjelaskan poin a dari Pasal 136 yang berbicara tentang wewenang Khalifah:

 

(a)      Khalifah lah yang mengadopsi hukum-hukum syariah yang bersifat mengikat untuk memelihara berbagai urusan umat, yang digali dengan ijtihad yang sahih dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya untuk menjadi undang-undang yang wajib ditaati dan tidak boleh dilanggar.

 

Paragraf (a) dalilnya adalah Ijmak Sahabat. Undang-undang merupakan sebuah istilah. Maknanya: perintah yang dikeluarkan oleh penguasa untuk dijalankan oleh masyarakat. Undang-undang didefinisikan sebagai “sekumpulan kaidah yang dipaksakan oleh penguasa atas masyarakat untuk diikuti di dalam interaksi-interaksi mereka”. Artinya, jika penguasa memerintahkan hukum-hukum tertentu maka hukum-hukum ini menjadi undang-undang dan mengikat masyarakat. Jika penguasa tidak memerintahkannya maka tidak menjadi undang-undang sehingga tidak mengikat masyarakat.  Kaum Muslim berjalan menurut hukum-hukum syariah. Mereka berjalan menurut perintah-perintah dan larangan-larangan Allah SWT, bukan menurut perintah dan larangan penguasa. Jadi yang menjadi patokan adalah kaum Muslim wajib menjalankan hukum-hukum syariah, bukan perintah-perintah penguasa.

Hanya saja, hukum-hukum syariah itu kadang dipahami secara berbeda oleh para sahabat. Sebagian memahami nas-nas syar’i berbeda dengan apa yang dipahami oleh sebagian yang lain. Masing-masing berjalan sesuai pemahamannya. Pemahamannya itu menjadi hukum Allah bagi dirinya. Namun, ada hukum-hukum syariah yang dituntut oleh pemeliharaan urusan umat. Tujuannya agar kaum Muslim seluruhnya berjalan menurut satu pendapat dan agar masing-masing tidak berjalan menurut ijtihadnya. Yang demikian terjadi secara riil. Abu Bakar mendistribusikan harta di antara kaum Muslim secara sama sebab harta itu adalah hak mereka semua secara sama. Adapun Umar berpandangan, tidak layak orang yang dulu memerangi Rasul saw. diberi harta sama dengan orang yang berperang bersama Rasul saw., dan orang fakir tidak layak diberi sama dengan orang kaya. Namun, Abu Bakar kala itu adalah khalifah. Ia memerintahkan untuk mengamalkan pendapatnya, yakni mengadopsi pendistribu-sian harta secara sama. Kaum Muslim pun mengikuti beliau dalam hal yang demikian. Semua qadhi dan wali juga berjalan berdasarkan hal itu. Umar pun tunduk kepada beliau dan beramal menurut pendapat Abu Bakar. Ketika Umar menjadi khalifah, ia mengadopsi pendapat yang berbeda dengan pendapat Abu Bakar. Umar memerintahkan untuk mendistribusikan harta secara tidak sama. Jadi orang diberi menurut senioritas dan kebutuhan. Kaum Muslim pun mengikuti titah Umar. Para wali dan qadhi mengamalkannya.

Jadi Ijmak Sahabat membuktikan bahwa Imam/Khalifah berhak mengadopsi hukum-hukum tertentu yang diambil dari syariah dengan ijtihad yang sahih dan memerintahkan untuk diamalkan. Kaum Muslim wajib taat meski menyalahi ijtihad mereka. Kaum Muslim harus meninggalkan pendapat dan ijtihad mereka. Hukum-hukum yang diadopsi ini adalah undang-undang. Dari sini, penetapan undang-undang hanyalah milik Khalifah saja. Selain Khalifah tidak memiliki wewenang itu sama sekali. Selesai.

 

Undang-undang yang dilegislasi oleh Khalifah ada dua bagian. Pertama: Bagian yang merupakan hukum syariah yang diadopsi oleh Khalifah dan harus diamalkan oleh masyarakat. Hal itu seperti hukum-hukum muamalah, ‘uqûbât dan lainnya. Bagian ini wajib dijalankan oleh rakyat karena dua perkara: karena itu merupakan hukum syariah dan karena wajib menaati penguasa yang syar’i.

Kedua: Bagian lainnya, yaitu pengaturan administratif yang ditetapkan oleh Khalifah demi kemaslahatan kaum Muslim sesuai wewenangnya dalam memelihara urusan mereka, seperti undang-undang lalu lintas, misalnya. Bagian ini pun wajib ditaati oleh rakyat dari sisi kewajiban mereka untuk menaati penguasa yang syar’i sesuai dengan apa yang telah dijelaskan di atas.

Adapun penguasa yang tidak syar’i yang memerintah atau menghukumi dengan hukum-hukum buatan manusia, maka mereka tidak  wajib ditaati secara syar’i dan undang-undangnya tidak mengikat kaum Muslim. Pasalnya, dia tidak memiliki hak untuk ditaati sebagai kewajiban kaum Muslim.

Undang-undang yang keluar dari penguasa yang tidak syar’i pada masa sekarang ini ada tiga jenis:

  1. Undang-undang yang diambil dari hukum-hukum syariah, seperti undang-undang yang disebut “Undang-Undang Al-Ahwâl asy-Syakhshiyah” yang mengatur pernikahan, talak, waris dan semacamnya dengan hukum-hukum yang diambil dari fikih islami. Undang-undang ini diamalkan selama sesuai dengan hukum-hukum syariah.
  2. Undang-undang yang menyalahi syariah, seperti banyak undang-undang yang memperbolehkan riba, zina, minum khamr, jual-beli yang haram; undang-undang yang mengatur kepemilikan dan pendistribusian-nya; undang-undang yang mengatur kehidupan perekonomian, pendidikan dan lainnya. Ini termasuk dalam memutuskan perkara (berhukum) dengan selain apa yang telah Allah turunkan. Ini jelas haram. Kaum Muslim tidak boleh mengamalkan undang-undang ini. Bahkan haram hal demikian atas kaum Muslim dengan keharaman yang dipertegas. Sebaliknya, kaum Muslim wajib mengubah undang-undang ini dan menggantinya agar menjadi sesuai dengan hukum-hukum syariah.
  3. Undang-undang yang berkaitan dengan pengaturan administratif semisal undang-undang pengaturan lalu-lintas, pengaturan belajar-mengajar, pembangunan bangunan dan jalan, dan semacamnya di antara urusan-urusan yang masuk di dalam bab pengaturan administratif… Undang-undang ini secara syar’i tidak wajib diamalkan sebab undang-undang ini keluar dari pihak yang oleh syariah tidak wajib ditaati. Namun demkian, mengamalkan undang-undang ini secara syar’i tidak haram, alias boleh. Sebab undang-undang ini termasuk di dalam pengaturan administratif.

 

Namun demikian, jika ketidakterikatan dengan undang-undang administratif ini menimbulkan atau menyebabkan dharar dan musibah untuk diri sendiri atau orang lain, seperti ketidakterikatan dengan aturan berhenti saat lampu merah sehingga menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu-lintas dan membahayakan diri sendiri atau orang lain, maka menjalankan undang-undang ini menjadi wajib. Namun, kewajiban ini bukan karena menaati penguasa yang tidak syar’i, tetapi karena ketidakterikatan dengan UU ini bisa menyebabkan dharar. Rasul saw. jelas telah mengharamkan dharar. Rasul saw. bersabda:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ، مَنْ ضَارَّ ضَارَّهُ الله، وَمَنْ شَاقَّ شَاقَّ اللهُ عَلَيْهِ

Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain. Siapa yang membahayakan, Allah akan menimpakan bahaya kepada dia. Siapa saja yang menyulitkan, Allah menimpakan kesulitkan atas dirinya (HR al-Hakim).

 

Al-Hakim berkata, “Ini adalah hadis yang sahih sanadnya menurut syarat Muslim tetapi keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak mengeluarkan hadis ini.”

Adz-Dzahabi berkomentar, “Menurut syarat Muslim”. Jadi kewajiban terikat dalam keadaan semisal ini bukan datang dari kewajiban menaati undang-undang administratif yang ditetapkan oleh penguasa yang tidak syar’i atau penguasa non-Muslim, tetapi dari sisi keharaman dharar dan keharaman membahayakan dan mencelakakan.

Atas dasar itu, keterikatan dengan undang-undang lalu-lintas di negeri-negeri kaum Muslim saat ini—yang tidak diperintah atau tidak dihukumi dengan syariah, juga di negeri-negeri non-Muslim—maupun undang-undang dan pengaturan administratif sejenisnya, secara syar’i adalah boleh. Tidak haram, tetapi juga tidak wajib. Dikecualikan dalam satu keadaan, yaitu jika ketidaketrikatan dengan undang-undang administratif itu menyebabkan dharar dan celaka, maka terikat dengan UU itu menjadi wajib. Hanya saja, kewajiban ini bukan karena menaati penguasa yang tidak syar’i atau penguasa non-Muslim, tetapi karena keharaman dharar dan bahaya.

 

[Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 7 Syawal 1440 H/10 Juni 2019 M]

Sumber Tulisan:

Http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/60740.html

Https://web.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/a.122855544578192/1073879039475833/%D8%9Ftype=3&theater

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

8 − 5 =

Back to top button