Perlukah Presiden 3 Periode?
Periode ke-2 Presiden Jokowi bisa dikatakan baru setengah jalan. Akan tetapi, wacana presiden 3 periode semakin menguat.
Padahal yang seharusnya menjadi tolak ukur adalah kondisi bangsa, bukan pada masa jabatan kepala negara. Di dalam sistem Demokrasi, penetapan masa jabatan kepala negara merupakan hal yang penting dan mendasar. Hipotesis yang digunakan adalah terdapat kecenderungan dengan lamanya masa jabatan kepala negara hanya akan menghasilkan tirani dan kediktatoran. Oleh karena itu, jabatan kepala negara harus dipergilirkan secara berkala. Ditetapkanlah secara konstitusional bahwa jabatan presiden di negeri ini maksimal adalah 2 periode. Artinya, wacana presiden 3 periode itu tidak konstitusional.
Demikianlah sistem Demokrasi sekuler yang tidak peka terhadap kondisi rakyat. Saat ini kondisi rakyat yang serba sulit, apalagi didera pandemi Covid-19 sejak 2020, lantas muncul disorientasi kebijakan negara, yakni proyek IKN baru. Selanjutnya muncul wacana presiden 3 periode.
Keadaan bangsa dan negeri ini sudah sedemikian babak belur. Ibaratnya sekarat. Pertanyaannya, apakah wacana jabatan presiden 3 periode menjadi solusi perbaikannya?
Tidak bisa dianalogikan dengan sistem pemerintahan Islam, Khilafah. Benar jabatan Khalifah tidak ada batasan waktu tertentu. Hanya saja, tatkala Khalifah melakukan pelanggaran terhadap hukum Islam dalam pemerintahannya, maka Khalifah bisa langsung diberhentikan. Misalnya Khalifah menerapkan mengadopsi hukum Barat dalam pemerintahannya.
Begitu pula ketika pada diri Khalifah terdapat hal yang menghilangkan keabsahan syarat in’iqaad (pengangkatannya), Khalifah juga bisa diberhentikan. Khalifah menjadi gila, misalnya, atau tertawan musuh yang tidak ada harapan untuk dibebaskan dan atau ada tanda Khalifah sudah tidak mampu menjalankan amanah pemerintahannya. Dalam kondisi demikian, Khalifah bisa diberhentikan.
Jadi yang menjadi tolak ukur dalam sistem Khilafah adalah konsistensi dalam menjalankan syariah Islam dalam pemerintahan. Pelaksanaan syariah Islam yang akan menjamin kesejahteraan baik lahir maupun batin.
Oleh karena itu, menjadi urgen bagi kaum Muslim di negeri ini untuk keluar dari cengkeraman sistem Demokrasi sekuler. Rakyat hanya menjadi bulan-bulanan kepentingan para elit politik. Kaum Muslim harus memperkuat ukhuwwah untuk membangun peradaban yang manusiawi dan menyejahterakan, yakni peradaban Islam. Di dalamnya, diterapkan syariah Islam secara paripurna. Saat demikian, negara dan elit politik menjadi pengayom rakyat, sedangkan rakyat menjalankan ketaatannya. [Ainul Mizan ; (Peneliti LANSKAP)]