Bagaimana Ketentuan Investasi Dalam Islam?
Soal:
Bolehkah menggenjot investasi dengan menghalalkan segala cara? Misalnya, memberikan izin penggunaan lahan tanpa biaya? Merampas hak pribadi atau memprivatisasi kepemilikan umum? Mendirikan pabrik yang memproduksi barang haram, seperti narkoba, miras dan sebagainya? Jika semua itu tidak boleh, apa dan bagaimana solusinya?
Jawab:
Islam mempunyai kaidah:
اَلْغَايَة لا تُبَرِّرُ الْوَاسِطَةَ
Tujuan itu tidak boleh menghalalkan segala cara.
Karena itu setiap tindakan, apalagi keputusan politik yang melibatkan kepentingan rakyat, harus terikat dengan Islam, hukum dan kehendak Allah SWT.
Islam tidak melarang investasi. Syaratnya, investasi ini tidak menjadi alat penjajahan dan penguasaan non-Muslim terhadap kaum Muslim. Dengan tegas Allah SWT berfitman:
وَلَن يَجۡعَلَ ٱللَّهُ لِلۡكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ سَبِيلًا
Sekali-kali Allah tidak akan memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin (QS an-Nisa’ [4]: 141).
Jika investasi itu menjadi alasan kaum non-Muslim untuk menguasai kaum Muslim, maka investasi ini haram, sebagaimana yang dinyatakan ayat di atas.
Tidak boleh pula dengan alasan investasi boleh melakukan perampasan terhadap tanah-tanah pribadi, atau “tanah adat”, dalam konteks Sumatra Barat. “Tanah adat” itu umumnya adalah tanah wakaf. Karena itu status perampasan seperti ini jelas tidak dibenarkan. Rasulullah saw. bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أنْ يَئْخُذَ مَالَ أَخِيْهِ بِغَيْرِ حَقٍّ وَذَلِكَ لِماَ حَرَّمَ الله مَالَ المسْلِمِ عَلَى المسْلِمِ
Tidak halal bagi seorang Muslim mengambil harta saudaranya dengan cara yang tidak benar. Hal itu karena Allah telah mengharamkan harta kaum Muslim atas Muslim yang lain (HR Ahmad dan al-Bazzar).
Nabi saw. juga bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَأْخُذَ عَصَا أَخِيْهِ بِغَيْرِ طَيِّبِ نَفْسٍ
Tidaklah halal seorang Muslim mengambil tongkat saudaranya tanpa kerelaan jiwanya (HR Ahmad dan al-Bazzar).
Dari hadis ini jelas bisa ditarik kesimpulan, berdasarkan Mafhûm Muwâfaqah-nya, bahwa kalau tongkat saja yang murah tidak boleh diambil tanpa kerelaan dari pemiliknya, apatah lagi harta kaum Muslim yang lebih mahal, dan berharga melebihi nilai tongkat. Tentu lebih tidak boleh lagi.
Tidak boleh pula mengubah status “tanah adat”, yang notabene adalah tanah wakaf, menjadi pabrik, atau yang lain, yang menyalahi peruntukan wakaf itu sendiri. Pasalnya, wakaf ini adalah milik Allah, bukan milik manusia. Manusia hanya diberi hak untuk mengelola dan memanfaatkan harta wakaf sesuai dengan peruntukannya.
Mengubah kepemilikan umum menjadi milik pribadi juga tidak dibenarkan. Namun, jika milik negara, negara boleh memberikan kepemilikannya kepada siapa pun yang dikehendaki, tentu dengan syarat, bukan untuk menghancurkan negara. Misalnya, negara memfasilitasi negara asing memproduksi persenjataan di negeri ini, dengan fasilitas dari negara, tetapi justru digunakan untuk menghancurkan negara. Ini tidak boleh. Apapun alasannya.
Begitu juga mendirikan pabrik, dengan alasan investasi, tetap tidak boleh menyalahi hukum syariah tentang hukum pabrik. Dalam kaidah fikihnya dinyatakan:
اَلْمَصْنَعُ يَأْخُذُ حُكْمَ الْمِدَّةِ الَّتِيْ يَصْنَعُهَا
Pabrik itu hukumnya mengikuti hukum barang yang diproduksi/dihasilkannya.
Jika pabrik itu memproduksi barang haram, seperti narkoba, miras, dan sejenisnya, maka pabrik tersebut hukumnya haram. Baik pabrik tersebut dimiliki pribadi, umum maupun negara, tetap haram. Tidak boleh ada. Sebabnya, barang yang diproduksi adalah barang haram. Selain itu, barang-barang haram yang diproduksi ini bisa merusak kesehatan mental individu.
Pertanyaannya: Apa dan bagaimana solusinya agar investasi tersebut bisa tumbuh dan berkembang di negeri ini?
Iklim investasi itu sebenarnya ditentukan oleh masalah kemudahan birokrasi,kepastian hukum dan bebas dari korupsi. Dalam konteks ini, Islam telah mengatur semuanya dengan luar biasa.
Birokrasi dalam Islam sungguh luar biasa. Aturannya simple. Selesai dengan cepat. Ditangani oleh orang-orang profesional. Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahuLlâh menyatakan:
سِيَاسَةُ إِدَارَةِ المصَالِحِ وَالدَّوَائِرِ وَالإدَارَاتِ تَقُوْمُ عَلَى البَسَاطَةِ في النِّظاَمِ وَالإسْرَاع في إِنْجَازِ الأعْمَالِ، وَالْكِفَايَةِ فِيْمَنْ يَتَوَلَّوْنَ الإدَارَة
Kebijakan dalam mengurus kemaslahatan publik, departemen dan administrasi dibangun dengan prinsip: sederhana dalam aturan, cepat dalam pelaksanaan kerja dan profesionalitas orang yang mengurus administrasi.
Karena itu urusan birokrasi di dalam Islam tidak berbelit-belit. Bisa diselesaikan dengan cepat dan ditangani oleh orang yang ahli. Semuanya ini bisa dan mungkin diwujudkan dengan baik karena adanya ketakwaan, baik individu, masyarakat atau negara.
Mengenai kepastian hukum, di dalam wilayah Islam hanya ada satu hukum, yaitu hukum Islam. Tidak ada hukum yang lain. Jika ada sengketa, baik yang menyangkut pertanahan maupun yang lain, maka keputusan pengadilan bersifat mengikat. Tidak bisa dibatalkan. Kaidah fikih menyatakan:
الإجْتِهَادُ لاَ يُنْقَضُ بِالإجْتِهَادِ
Ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad.
Karena itu ketika Khalifah Umar bin al-Khaththab membuat keputusan tentang waris, dalam kasus yang sama, kepada dua orang yang berbeda, dengan keputusan berbeda, maka ketika orang pertama protes, karena keputusannya beda, ‘Umar mengatakan:
تِلْكَ عَلَى مَا قَضَيْنَا وَهَذِه عَلَى مَا نَقْضِى
Keputusan itu telah berlaku sebagaimana apa yang telah kami putuskan, sedangkan keputusan ini berlaku mengikuti apa yang baru kami putuskan.
Mengenai masalah korupsi, Islam telah menyelesaikan masalah ini dengan tegas dan keras. Pertama: Islam jelas mengharamkan korupsi. Dengan tegas Nabi saw. menyatakan:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ عَلَى الرَّاشِيْ والمرْتَشِيْ وَالرَّائِشِ
Allah melaknat orang yang menyuap, orang yang menerima suap dan perantara di antara keduanya (HR Ahmad).
Bukan hanya suap yang diharamkan dalam Islam, tetapi juga hadiah [gratifikasi] yang diberikan oleh rakyat kepada orang yang mempunyai jabatan, karena jabatannya. Baik langsung, maupun tidak, misalnya melalui istri, anak atau kerabatnya. Nabi saw. pernah bersabda kepada seseorang, yang telah menjadi pejabatnya untuk mengurus zakat, dan dia telah diberi hadiah:
فَهَلاً جَلَسَ في بَيْتِ أَبِيْهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَه
Apakah dia tidak duduk saja di rumah ayahnya, atau rumah ibunya, kemudian dia lihat, apakah dia diberi hadiah [atau tidak] (HR al-Bukhari dan Muslim).
Kedua: Sanksi yang ditetapkan untuk mereka yang terlibat dalam korupsi juga tegas dan keras. Memang korupsi tidak bisa disamakan dengan pencurian. Namun, karena ini termasuk dalam kategori ta’zir, hakim bisa menjatuhkan sanksi dengan tegas dan keras kepada koruptor. Harta hasil korupsinya bisa dirampas negara, dan dia dikenai sanksi ta’zir, bisa sampai dipotong tangan. Tidak hanya dirampas oleh negara, dan ta’zir, tetapi bisa juga dipublikasikan, agar menimbulkan efek jera di tengah-tengah masyarakat.
Ketiga: Pondasi ketakwaan dan kontrol yang kuat, baik dari diri sendiri, masyarakat maupun negara.
Dengan cara seperti ini, korupsi bisa diberantas dengan tuntas. Jika korupsi telah berhasil diberantas dengan tuntas, semuanya menjadi lebih mudah. Birokrasi tidak akan terkendala karena suap-menyuap, atau faktor-faktor non-teknis lainnya.
WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]