Tafsir

Penentang Al-Quran dan Hukumannya [5]

عَلَيۡهَا تِسۡعَةَ عَشَرَ ٣٠ وَمَا جَعَلۡنَآ أَصۡحَٰبَ ٱلنَّارِ إِلَّا مَلَٰٓئِكَةٗۖ وَمَا جَعَلۡنَا عِدَّتَهُمۡ إِلَّا فِتۡنَةٗ لِّلَّذِينَ كَفَرُواْ لِيَسۡتَيۡقِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ وَيَزۡدَادَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِيمَٰنٗا وَلَا يَرۡتَابَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَلِيَقُولَ ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ وَٱلۡكَٰفِرُونَ مَاذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِهَٰذَا مَثَلٗاۚ كَذَٰلِكَ يُضِلُّ ٱللَّهُ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ وَمَا يَعۡلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَۚ وَمَا هِيَ إِلَّا ذِكۡرَىٰ لِلۡبَشَرِ ٣١

“Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga). Yang Kami jadikan penjaga neraka itu hanya dari malaikat. Kami menentukan bilangan mereka itu hanya sebagai cobaan bagi orang-orang kafir. Dengan itu orang-orang yang diberi al-Kitab menjadi yakin dan orang-orang yang beriman bertambah imannya. Dengan itu pula orang-orang yang diberi al-Kitab dan kaum Mukmin itu tidak ragu-ragu. Dengn itu orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan kaum kafir (berkata), “Apakah yang dikehendaki Allah dengan (bilangan) ini sebagai suatu perumpamaan?” Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang Dia kehendaki dan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang Dia kehendaki. Tidak ada yang mengetahui bala tentara Tuhanmu kecuali Dia sendiri. Neraka Saqar itu tidak lain hanyalah peringatan bagi manusia.” (QS al-Muddatstsir [74]: 30-31).

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman:

عَلَيۡهَا تِسۡعَةَ عَشَرَ ٣٠

Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga).

 

Ayat ini masih menjelaskan sifat atau keadaan lainnya tentang Neraka Saqar. Menurut sebagian ahli tafsir, maksud ayat ini adalah di atas neraka itu ada sembilan belas malaikat. Mereka adalah penjaganya. Pendapat ini dipilih asy-Syaukani dan lain-lain.1

Al-Tsa’labah berkata: “Hal ini tidak bisa diingkari. Sebabnya, jika satu malaikat saja dapat mencabut seluruh jiwa makhluk, maka lebih memungkinkan sembilan belas malaikat dapat menyiksa sebagian makhluk.”2

Menurut lainnya, yang dimaksud adalah sembilan belas jenis malaikat. Menurut sebagian lainnya, sembilan belas barisan para malaikat. Ada pula yang mengatakan sembilan belas pemimpin; masing-masing pemimpin membawahi sekelompok malaikat.3

Pendapat yang terakhir itu juga dipilih al-Quthubi. Menurut al-Qurthubi, pendapat paling benar yang berjumlah sembilan belas tersebut adalah para pemimpin dan ketua. Jumlah para malaikat yang sebenarnya tidak diketahui sebagaimana diberitakan dalam ayat berikutnya. 4

Kemudian Allah SWT berfirman:

وَمَا جَعَلۡنَآ أَصۡحَٰبَ ٱلنَّارِ إِلَّا مَلَٰٓئِكَةٗۖ ٣١

 

Yang Kami jadikan penjaga neraka itu hanya dari malaikat.

 

Terdapat beberapa riwayat tentang sebab turunnya ayat ini. Qatadah, ketika turun ayat: ‘alayhâ tis’ata ‘asyar (di atasnya ada sembilan belas [malaikat penjaga]), mengatakan bahwa Abu Jahal berkata, “Wahai orang-orang Quraisy, apakah tiap-tiap sepuluh orang dari kalian tidak bisa mengalahkan satu orang penjaga neraka, sedangkan kalian jumlahnya banyak?”5

Lalu turunlah ayat ini. Para malaikat itu adalah makhluk yang kasar. Mereka tidak dapat dilawan dan tidak terkalahkan.6

Dalam riwayat lainnya, Qatadah juga meriwayatkan bahwa Abu Jahal berkata, “Muhammad mengabari kalian bahwa penjaga neraka ada sembilan belas, sementara kalian sangat banyak. Hendaklah setiap sepuluh orang mengeroyok satu orang dari mereka.”7

Ada juga yang mengatakan Abu al-Asyuddain, nama aslinya Kaldah bin Usaid bin Khalaf, yang berkata, “Wahai orang-orang Quraisy, serahkanlah dua orang dari para penjaga neraka itu kepadaku. Yang tujuh belas orang lagi kuserahkan kepada kalian untuk kalian tangani.”

Hal itu karena dia kagum dengan kekuatan dirinya. Kekuatan yang dia miliki mereka akui karena dia pernah berdiri di atas hamparan kulit sapi. Lalu kulit sapi itu ditarik oleh sepuluh orang untuk mereka ambil dari bawah telapak kakinya. Ternyata kulit sapi itu robek, sedangkan dia  tidak bergeming sedikit pun dari tempat pijakannya. 8

Menurut as-Suhaili, Kaldah pernah menantang Rasulullah saw. untuk bergulat seraya berkata, “Jika engkau mengalahkan aku, aku akan beriman kepadamu.”

Nabi saw. lalu memenuhi tantangannya dan dapat membantingnya berkali-kali, tetapi Kaldah tidak juga mau beriman. Ibnu Ishaq menisbatkan kisah pergulatan ini kepada Rukanah bin Abdu Yazid bin Hasyim ibnul Muththalib. Menurut Ibnu Katsir, tidak salah menafikan dua kejaidan yang diceritakan tersebut, WalLâh a’lam bi ash-shawâb.9

Huruf al-wâwu merupakan harf isti’nâfiyyah.10 Kata أَصْحَابُ merupakan bentuk jamak dari kata صَاحِبُ yang merupakan bentuk fâ’il dari kata صَحِبَ. Kata tersebut juga bermakna مُعتَنِق  (penganut, pemeluk), مَالِكٌ  (pemilik) dan خازِن (penjaga).11

Dalam konteks ayat ini, makna أَصْحَابَ النَّار adalah خُزَّانها (para penjaga neraka).12 Mereka adalah yang disebutkan dalam ayat sebelumnya: ‘alayhâ tis’ata ‘asyar (di atasnya ada sembilan belas [malaikat penjaga]). Para malaikat penjaga neraka itu adalah Malaikat Zabaniyah yang kasar lagi keras.13

Dengan demikian, pengertian ash-hâb an-nâr dalam ayat ini bukan bermakna penghuni (seperti dalam QS al-Hasyr [59]: 20).

Sebagaimana dijelaskan di muka, ayat ini merupakan bantahan kepada kaum musyrik Quraisy ketika disebut jumlah para penjaga neraka ada sembilan belas sebagaimana disebutkan dalam riwayat di atas.14

Dalam ayat ini ditegaskan bahwa para penjaga neraka itu adalah para malaikat. Bukan manusia, jin, atau lainnya. Penegasan tersebut dapat dipahami dari penyebutan huruf (مَا) merupakan nâfiyyah yang menegasikan kalimat sesudahnya, lalu diiringi dengan kata (إِلَّا) (kecuali). Struktur kalimat demikian memberikan makna li al-hashr (untuk pembatasan).15

Menurut Ibnu ‘Asyur, penggunaan al-qashr tersebut berguna untuk membalik keyakinan Abu Jahal dan lainnya yang membayangkan bahwa para penjaga neraka itu adalah sembilan belas orang laki-laki sehingga mereka bisa melepaskan diri dengan kekuatan.16

Menurut Fakhruddin al-Razi, Allah SWT  memberitahukan bahwa Dia menjadikan penjaga neraka dari malaikat karena beberapa aspek. Pertama, agar para penjaga neraka itu berbeda jenis dengan orang-orang yang diazab. Sebab, kesamaan jenis disangka akan bersikap belas kasihan dan kasih-sayang. Oleh karena itu, Rasul saw. yang diutus kepada kita berasal dari jenis yang sama agar memiliki belas kasih dan sayang. Kedua, sesungguhnya malaikat makhluk yang paling jauh dari maksiat kepada Allah SWT, juga lebih kuat daripada mereka dalam ketaatan yang berat. Ketiga, sesungguhnya kekuatan mereka lebih besar daripada kekuatan jin dan manusia.17

Wahbah al-Zuhaili juga menerangkan makna ayat ini, “Kami tidak menjadikan para penjaga neraka yang bertugas menyiksa kecuali para malaikat yang kasar lagi keras. Kami juga tidak menjadikan mereka dari manusia yang mungkin bisa dikalahkan. Siapa yang bisa mengatasi dan mampu mengalahkan para malaikat itu? Mereka adalah makhluk yang paling kuat, paling kokoh, dan paling perkasa serta makhluk yang paling konsisten dalam memegang hak Allah dan marah-Nya.”18

Asy-Syaukani juga berkata tentang ayat ini, “Kami tidak menjadikan para penjaga neraka dan pelaksana azab bagi penghuni di dalamnya melainkan para malaikat. Lalu siapa yang sanggup menghadapi para malaikat dan mengalahkan mereka? Lantas bagaimana kalian, wahai orang-orang kafir, mengira dapat mengalahkan para malaikat?”19

Kemudian Allah SWT berfirman:

وَمَا جَعَلۡنَا عِدَّتَهُمۡ إِلَّا فِتۡنَةٗ لِّلَّذِينَ كَفَرُواْ

Kami menentukan bilangan mereka itu hanya sebagai cobaan bagi orang-orang kafir.

 

Huruf al-wâwu merupakan harf al-‘athf (kata sambung) yang menghubungkan kalimat sesudahnya dengan firman-Nya: وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلَّا مَلَائِكَة (Kami tidak menjadikan penjaga neraka itu melainkan dari para malaikat).

Ayat ini kembali mengulangi struktur kalimat yang sama dengan sebelumnya, yakni menyebutkan kata (مَا) nâfiyyah. Kata ini menafikan kata sesudahnya. Lalu diiringi dengan kata (إِلَّا) yang mengecualikan berguna li al-hashr (untuk pembatasan).20

Struktur demikian memberikan makna alasan dan tujuan penetapan malaikat penjaga neraka yang berjumlah sembilan belas itu adalah sebagai fitnah bagi orang-orang kafir. Bukan lainnya.21

Dalam ayat tersebut sesungguhnya ada kata yang dihilangkan, yakni kata yang menjadi mudhâf-nya. Diperkirakan kalimat lengkapnya adalah (سَبَبُ فِتْنَةِ) (sebab fitnah terjadi).22

Secara bahasa, kata al-fitnah bermakna الاِبتِلاَء والامْتِحَانُ (cobaan dan ujian). Kata ini diambil dari ungkapan: فَتَنْتُ الفضة والذهب Artinya, بتهما بالنار (saya melelehkan keduanya [emas dan perak] dengan api) agar terpisah antara yang buruk dan yang bagus. Makna tersebut juga terkandung dalam firman Allah SWT:

يَوۡمَ هُمۡ عَلَى ٱلنَّارِ يُفۡتَنُونَ ١٣ ذُوقُواْ فِتۡنَتَكُمۡ ١٤

Hari (Pembalasan itu) ialah pada hari ketika mereka diazab di atas api neraka. Dikatakan kepada mereka), “Rasakanlah azab atas kalian ini (QS adz-Dzariyat [51]: 13-14).

 

Artinya, mereka dibakar dengan api.  Dari makna itu, batu hitam yang seolah dibakar dengan api disebut al-fatîn.23

Ibnu Faris juga mengatakan bahwa kata (فَتَنَ) menunjukkan makna ابْتِلَاءٍ وَاخْتِبَارٍ (cobaan dan ujian).24

Pengertian itu pula yang dikandung ayat ini sebagaimana dikemukakan oleh para mufassir. Ibnu Katsir mengatakan bahwa kata al-fitnah di sini bermakna al-ikhtibâr (ujian, cobaan). Maknanya, “Sesungguhnya Kami menyebutkan jumlah mereka bahwa mereka ada sembilan belas hanyalah sebagai ujian dari Kami bagi manusia.”25

Menurut al-Qinuji, ayat ini bermakna سَبَبَ ضَلَالَة (penyebab kesesatan). Artinya, menjadi sebab kesesatan bagi orang-orang  yang menganggap sedikit jumlah para penjaga negara itu sekaligus sebagai cobaan bagi mereka. Maknanya, “Tidaklah Kami menjadikan jumlah yang disebutkan ini di dalam al-Quran, melainkan menjadi sebab kesesatan dan cobaan bagi mereka hingga mereka mengatakan apa yang hendak mereka katakan, supaya melipatgandakan azab bagi mereka dan mem-perbanyak kemurkaan Allah kepada mereka.” 26

Al-Harari menggabungkan kedua penafsiran tersebut. Makna kata fitnah dalam ayat ini bermakna محنة وضَلَالَة  (ujian dan kesesatan).27

Menurut Fakhruddin ar-Razi, jumlah tersebut (yakni ada sembilan belas) hanya menjadi sebab fitnah bagi orang-orang kafir ada dua hal. Pertama, orang-orang kafir itu mengolok-mengolok dengan berkata, “Mengapa penjaga neraka itu jumlahnya tidak sampai dua puluh? Apa yang mengharuskan dikhususkan jumlah tersebut?” Kedua, orang-orang kafir utu berkata, “Jumlah itu sangat sedikit. Bagaimana mereka bisa mengerjakan tugasnya mengazab makhluk yang jumahnya lebih banyak, dari kalangan jin dan manusia sejak pertama kali diciptakan hingga Hari Kiamat.” 28

Ada yang mengatakan makna kata fitnah dalam ayat ini adalah azab. Frasa  (إِلَّا فِتْنَة) berarti “melainkan untuk menjadi azab”. Kata fitnah dengan makna azab juga terdapat dalam QS adz-Dzariyat [51]: 13). Artinya, mereka diazab. 29

Kemudian Allah SWT berfirman:

لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ

Dengan itu orang-orang yang diberi kitab menjadi yakin.

 

Kata يَسْتَيْقِنَ berasal dari kata يقِنَ – ييقَن (meyakini). Tambahan huruf as-sîn mengandung makna ath-thalab (permintaan, tuntutan). Artinya: ليكتسبوا اليقين (agar mereka mendapat keyakinan).30

Menurut Ibnu ‘Asyur, kata الِاسْتِيقَان bermakna قُوَّة الْيَقِينِ (iman yang kuat). Huruf as-sîn dan at-tâ` mengandung makna li al-mubâlaghah (untuk melebihkan).31

Huruf al-lâm pada awal ayat merupakan lâm at-ta’lîl yang berkaitan dengan kata جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ (Kami menjadikan jumlah mereka).32 Ini menunjukkan tentang alasan kedua penetapan jumlah malaikat.33

Yang diinginkan mendapatkan keyakinan itu adalah الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَاب  (orang-orang yang diberi al-Kitab). Mereka adalah kaum Yahudi dan Nashrani.34

Penyebutan penjaga neraka yang berjumlah sembilan belas malaikat itu untuk membuat kaum  Yahudi dan Nasrani menjadi yakin terhadap kebenaran al-Quran dan Rasulullah. Sebab, jumlah tersebut sesuai dengan apa yang ada di dalam kitab-kitab mereka. Demikian penjelasan para mufassir.

Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya di dalam Taurat dan Injil diberitakan bahwa penjaga neraka ada sembilan belas. Karena itu Allah SWT ingin meyakinkan Ahlul Kitab dan menambah keimanan kaum yang beriman.” 35

Qatadah juga berkata, “Agar Ahlul Kitab menjadi yakin manakala penyebutan al-Quran tentang jumlah penjaga neraka sesuai dengan yang tertulis di dalam Kitab mereka.”36

Demikian pula menurut adh-Dhahhak, Mujahid dan lain-lain.37

Menurut asy-Syaukani, Allah SWT menyebutkan penjaga neraka dengan jumlah tersebut supaya kaum Yahudi dan Nashrani meyakini akan kenabian Mu%ammad saw. karena kesesuaiannya dengan yang ada dalam al-Quran dengan yang apa di dalam kitab-kitab mereka.38

Ibnu Katsir berkata, “Artinya, agar mereka mengetahui bahwa Rasul saw. ini adalah benar dan sesungguhnya beliau mengatakan hal yang sesuai dengan apa yang ada pada mereka berupa kitab-kitab samawi yang diturunkan kepada para nabi sebelumnya.” 39

Penjelasan serupa juga dikatakan Ismail al-Istambuli, al-Qinuji, Ibnu ‘Asyur dan lain-lain.40

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1        al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 393

2        al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 393

3        al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 393

4        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 80

5        al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 28-29

6        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 269

7        al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 29

8        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 269

9        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 269

10      al-Da’as, I’râb al-Qur‘ân al-Karîm, vol. 3 (Damaskus: Dar al-Munir, 2004), 400; Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhu, vol. 10 (Homs: Dar al-Irsyad, 1995), 156. Harf Isti‘nâf merupakan harf yang tidak berfungsi dalam menentukan I‘rab kata sesudahnya, tidak memiliki arti tertentu, dan terletak dipermulaan kalimat di tengah kalam baik jumlah Ismiyah maupun jumlah fi‘liyah.

11      Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 3 (tt: ‘Alam al-Kitab, 2008), 2045

12      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 269; al-Biqa‘i, Nazhm al-Durar, vol. 21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 62; Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29 (Tunisa: ar al-Tunisiyah, 1984), 314

13      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 269

14      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 234

15      al-Da’as, I’râb al-Qur‘ân al-Karîm, vol. 3, 400; Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Rasyid, 1998), 156; Abu Bilal, al-Mujtabâ min Musykil I’râb al-Qur‘ân, vol. 4 (Madinah: Majma’ al-Malik Fahd, 2005), 1387

16      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 314

17      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 709

18      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 234

19      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 396

20      Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhu, vol. 10, 280

21      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 314

22      al-Da’as, I’râb al-Qur‘ân al-Karîm, vol. 3, 400; Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhu, vol. 10, 280;

23      al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiyy, 2001), 710

24      Ibnu Faris, Maqâyîs al-Lughah, vol. 4 (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), 472

25      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 269

26      al-Qinuji, Fat-h al-Bayân, vol. 14 (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1992), 414; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 396

27      al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 402

28      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 709

29      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 396

30      Ismail al-Istambuli, h al-Bayân, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 234

31      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 315

32      Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 29, 156; Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhu, vol. 10, 280

33      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 315

34      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 232

35      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 30

36      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 30

37      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 82; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 396

38      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 396

39      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 269; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 82

40      Ismail al-Istambuli, h al-Bayân, vol. 10, 234; al-Qinuji, Fat-h al-Bayân, vol. 14, 414; Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 315

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

18 + nineteen =

Back to top button