Ibrah

Keberanian

Rangga namanya. Asal Birem Bayeun, Aceh Timur. Masih kanak-kanak. Tak lebih dari 10 tahun. Di usia yang amat belia itu, ia telah berhasil meraih puncak ‘prestasi’. Ya, beberapa waktu lalu ia meraih puncak kemuliaan: meraih syahadah. Ia wafat sebagai syahid di tangan penjahat kambuhan, yang bernafsu mau memperkosa ibunya.

Rangga hakikatnya bukan bocah malang, sebagaimana anggapan kebanyakan orang. Ia justru bocah yang beruntung. Meraih kemuliaan mati syahid di usia yang sangat dini. Ia sekaligus mampu membuktikan dirinya sebagai anak yang berbakti. Kepada ibunya yang amat ia cintai.

Dengan keberaniannya yang luar biasa, melebihi usianya yang masih kanak-kanak, ia berusaha mencegah sang durjana menodai kehormatan ibunya tercinta. Ia memang gagal. Ibunya tetap berhasil diperkosa. Namun, ia sama sekali tak gagal menjadi manusia pemberani. Berani mencegah kemungkaran, bahkan kejahatan, di depan matanya. Tak peduli bahwa untuk itu ia harus meregang nyawa. Di tangan sang durjana, yang membacok kepala dan tubuhnya berkali-kali. Ia bersimbah darah. Hingga meraih syahadah.

Rangga kecil yang tak tahu apa-apa, selain kesadaran untuk menjaga marwah ibunya, seharusnya membuat kita semua malu. Malu semalu-malunya. Di tengah kemungkaran yang merajalela, juga aneka kejahatan yang sedemikian rupa, kebanyakan kita diam seribu bahasa. Jangankan dengan tangan dan kata-kata, bahkan dengan hati pun—yang notabene selemah-lemahnya iman, kata Nabi saw.—tak ada.

Rangga kecil jelas tak punya kekuasaan, sebagaimana para penguasa hari ini. Ia hanya punya keberanian. Namun, keberanian itulah yang justru tak dimiliki oleh kebanyakan orang saat ini. Termasuk mereka yang punya kekuasaan. Termasuk pula para penegak hukum dan para aparat keamanan. Buktinya, ragam kemungkaran mereka biarkan. Terutama jika pelakunya orang-orang berduit atau dekat dengan kekuasaan. Mereka pun gampang ditekan-tekan. Termasuk oleh para taipan.

Mereka yang dijuluki da’i atau pengemban dakwah pun belum tentu seberani Rangga. Jangankan da’i, mereka yang digelari ulama pun—yang seharusnya hanya takut kepada Allah SWT—banyak yang tak memiliki keberanian. Apalagi saat berhadapan dengan kekuasaan. Mereka khawatir dipotong mata pencahariannya. Mereka takut dipenjarakan. Bahkan mereka waswas sekadar dikucilkan. Tentu jika mereka harus menentang kezaliman dan kemungkaran. Yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan.

Karena itu tak sedikit mereka yang digelari ulama berusaha mencari rasa aman dan nyaman. Caranya dengan berusaha berdekatan dengan kekuasaan. Dengan mendatangi pintu-pintu penguasa meski penguasa itu zalim. Bukan menjauhi mereka dan menentang kezaliman mereka.

Mereka seolah lupa dengan apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah saw., “Siapa saja yang mendatangi pintu-pintu penguasa akan terkena fitnah. Tidaklah seseorang semakin dekat dengan penguasa kecuali ia akan bertambah jauh dari Allah.” (HR Ahmad dan al-Baihaqi).

Mereka pun seperti lupa sabda Rasulullah saw., “Sungguh qurra (para pengemban al-Quran) yang paling dibenci oleh Allah ialah yang mendatangi penguasa.” (HR Ibnu Majah).

Ya, jangankan punya keberanian melakukan amar makruf nahi mungkar terhadap para penguasa, banyak ulama yang ciut nyalinya ketika harus berhadap-hadapan dengan mereka. Mereka bahkan ada yang ingin selalu berdekatan dengan penguasa. Dengan berbagai cara. Meski harus dengan menjual agama mereka.

Barangkali zaman kini adalah zaman yang pernah diisyaratkan oleh Rasulullah saw., “Akan ada pada akhir zaman ulama yang menyeru manusia untuk mencintai akhirat, sedangkan ia sendiri tidak mencintai akhirat. Ia menyeru manusia agar zuhud di dunia, tetapi ia sendiri tidak berlaku zuhud terhadap dunia.” (HR ad-Dailami).

Beliau pun jauh-jauh hari pernah mengingatkan, “Sungguh Allah mencintai penguasa yang berinteraksi dengan ulama, tetapi membenci ulama yang mendekati penguasa. Sebabnya, ulama, ketika dekat dengan penguasa, yang diinginkan adalah dunia. Sebaliknya, penguasa, saat mendekati ulama, yang diinginkan adalah akhirat.” (HR ad-Dailami).

Kebanyakan ulama hari ini tidak seperti para ulama generasi salafush-shalih. Salah satunya Fudhail bin Iyadh. Sosok ulama zuhud, wara’, sekaligus tegas dan pemberani.

Diceritakan, pada suatu malam, Khalifah Harun ar-Rasyid menemui Fudhail bin Iyadh. Saat pintu rumah Ibnu Iyadh dibuka, Khalifah menyalami tuan rumah, yang spontan berkata, “Api nerakalah untuk tangan halus ini jika ia tidak selamat dari azab pada Hari Kiamat nanti.”

Ia melanjutkan, “Amirul Mukminin, bersiap-siaplah engkau untuk menjawab pertanyaan Allah kelak. Sebab sungguh Allah akan menghadapkanmu kepada setiap Muslim atas kebijakanmu terhadap masing-masing dari mereka.”

Mendengar itu, menangislah Harun ar-Rasyid sejadi-jadinya seraya menundukkan kepalanya di dadanya. Saat itu, Abbas, yang mendampingi dirinya, berkomentar, “Celakalah, wahai Fudhail. Engkau telah menyakiti Amirul Mukminin!”

Ibnu Iyadh menjawab, “Wahai Hamman, justru kamu dan kaummulah yang mencelakakan dia!”

Harun ar-Rasyid lalu berkata kepada Abbas, “Jika ia menyebutmu Hamman, berarti ia menganggap aku Fir’aun.”

Setelah menerima nasihat dan kritik Ibnu Iyadh, Khalifah Harun ar-Rasyid bukannya marah. Ia kemudian memberi Fudhail bin Iyadh uang 1000 dinar (lebih dari Rp 2,5 miliar) seraya berkata, “Ini adalah harta halal dari pemberian dan warisan ibuku.”

Ibnu Iyadh malah berkata, “Akulah yang menyuruhmu melepaskan kedua tanganmu dari harta dunia dan kembali kepada Penciptamu. Lalu mengapa engkau malah ’melemparkan’-nya kepadaku?!”

Fudhail bin Iyadh sama sekali enggan menerima uang itu. Ia pun pergi dari hadapan Khalifah (Al-Ghazali, At-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk. Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, hlm. 23-54, 1988).

Semoga kita, khususnya para da’i dan para ulama, punya keberanian seperti Fudhail bin Iyadh. Juga seperti para ulama generasi salafush-shalih. Mereka selalu berada di garda terdepan dalam menentang segala bentuk kemungkaran dan kezaliman. Khususnya yang dilakukan oleh para penguasa. Jangan sampai kita kalah keberanian sama si kecil, Rangga, almarhum.

Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh! [Arief B. Iskandar]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

13 − seven =

Check Also
Close
Back to top button