Perlukah Formalisasi Syariah Menjadi Hukum Positif?
Soal:
Apakah formalisasi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara merupakan keharusan? Apakah ada pendapat ulama yang mu’tabar terkait dengan masalah ini?
Jawab:
Pertanyaan tentang perlu dan tidaknya formalisasi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebenarnya muncul karena fakta sekularisasi dalam kehidupan individu, masyarakat dan negara. Adapun dalam kehidupan Islam, yang berdasarkan akidah Islam dan menerapkan hukum Islam, pertanyaan seperti ini tidak akan pernah ada. Sebabnya, hukum positif, sebagai hukum yang berlaku, yang terdiri dari hukum tertulis atau keputusan hakim yang bersifat mengikat, semuanya adalah hukum Islam.
Ketika Nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah, beliau bukan hanya diutus untuk menjadi nabi dan rasul, yang bertugas untuk menyampaikan risalah, sebagaimana firman Allah SWT:
وَمَا عَلَى ٱلرَّسُولِ إِلَّا ٱلۡبَلَٰغُ ٱلۡمُبِينُ ٥٤
Tidak ada kewajiban bagi Rasul itu kecuali menjadi penyampai yang menjelaskan [kebenaran] (QS an-Nur [24]: 54).
Namun, Nabi Muhammad saw. juga ditugaskan untuk menerapkan pemerintahan berdasarkan wahyu yang Allah SWT turunkan. Allah SWT berfirman:
وَأَنِ ٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ وَٱحۡذَرۡهُمۡ أَن يَفۡتِنُوكَ عَنۢ بَعۡضِ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ ٤٩
Hendaklah kamu menerapkan hukum di antara mereka dengan apa yang telah Allah turunkan. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah terhadap tipudaya mereka kepadamu yang bisa memalingkan kamu dari sebagian yang Allah turunkan kepadamu (QS al-Maidah [5]: 49).
Dalam kaidah ushul disebutkan:
خِطَابٌ لِلرَّسُوْلِ خِطَابٌ لأُمَّتِه
Seruan kepada Rasul juga merupakan seruan kepada umatnya.
Karena itu perintah untuk menerapkan hukum berdasarkan wahyu yang telah Allah turunkan bukan hanya wajib bagi Nabi Muhammad saw., tetapi juga wajib bagi umatnya.
Al-‘Allamah al-Muhaddits Abuya Sayyid Muhammad ‘Alwi al-Maliki, dalam kitabnya, Syaraf al-Ummah al-Muhammadiyah, menjelaskan tentang kekhususan umat ini, bahwa syariahnya merupakan syariah yang paling sempurna. Itu dinyatakan dalam nash al-Quran:
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ ٣
Hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, mencukupkan untuk kalian nikmat-Ku dan meridhai untuk kalian Islam ini menjadi agama [kalian] (QS al-Maidah [5]: 3).
“Ini merupakan deklarasi yang tegas dan jelas dari Allah Yang Mahabenar, Allah SWT, dengan disempurnakannya akidah dan syariahnya. Karena itu tidak ada sedikit pun kekurangan yang harus disempurnakan dan harus ditambahkan maupun ciri khas, waktu dan tempat sehingga harus dikembangkan. Kesempurnaan ini merupakan keniscayaan dari keumuman waktu dan tempat yang ada pada risalah ini.. Ketika Nabi Muhammad saw. diutus untuk seluruh umat manusia, maka risalahnya merupakan risalah bagi manusia di setiap waktu dan tempat. Risalah itu menyeru fitrahnya yang tidak mengalami pergantian, perkembangan dan perubahan. Fitrah yang Allah anugerahkan kepada setiap manusia.”1
Karena itu sejak Nabi Muhammad saw. menjadi kepala negara di Madinah selama 10 tahun, dilanjutkan oleh para sahabat, Khulafaur Rasyidin, yang dikenal dengan Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah, selama 30 tahun, setelah itu dilanjutkan oleh Khilafah Umayyah, ‘Abbasiyah dan ‘Utsmaniyah, maka tidak pernah ada satu pun hukum positif yang diterapkan, kecuali hukum Islam.2
Ini bisa dilacak di dalam kitab-kitab fikih yang ditulis pada zaman tersebut. Jika ada orang kafir yang menuduh bahwa fikih Islam itu terpengaruh dengan hukum Romawi atau Persia, jelas khurafat.3
Dengan kata lain, sejak kaum Muslim mempunyai negara hingga runtuh tahun 1924 M, hukum Islam merupakan hukum formal sekaligus merupakan hukum yang hidup di tengah masyarakat. Sebabnya, pemikiran, perasan dan sistem mereka adalah pemikiran, perasan dan sistem Islam. Bahkan Ibn Khaldun menjelaskan, Islamlah satu-satunya faktor yang bisa menyatukan bangsa Arab yang buas dan bringas itu.
“Ketika di tengah-tengah mereka ada Nabi atau wali yang diutus kepada mereka untuk melaksanakan perintah Allah, maka akhlak-akhlak buruk dari mereka pun hilang. Ia telah berhasil mengambil mereka dengan kebaikannya dan menyatukan penyataan mereka untuk memenangkan kebenaran.”4
Ibn Khaldun memberi alasan, mengapa Islam berhasil memerintah bangsa Arab? Sebabnya, Islam adalah agama yang memerintahkan politik, pengurusan urusan manusia, dengan menggunakan syariah dan hukum-hukumnya, yang memperhatikan kemaslahatan masyarakat, secara lahir dan batin.5 Ketika mereka melupakan agamanya, maka mereka kembali lagi seperti sedia kala, dengan kekejaman dan kebengisannya.6
Hanya saja, ketika pemikiran, perasan dan sistem yang ada pada umat ini adalah pemikiran, perasan dan sistem Islam, mereka tidak membutuhkan kitab UUD/UU. Karena hukum Islam itu sudah ada dalam pikiran, perasaan dan sistem kehidupan mereka. Jika pun dibutuhkan, cukuplah dengan kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama pada masa itu. Memang ada beberapa buku yang ditulis oleh para ulama atas permintaan khalifah, sebagai panduan untuk memerintah. Sebut saja, Al-Kharaj, yang ditulis Abu Yusuf [w. 182 H]. Dalam pengantarnya, beliau menyatakan:
إِنَّ أمير المؤْمِنِين –أيَّدَهُ اللهُ تَعَالَى – سَأَلَنِيْ أَنْ أَضَعَ لَه كِتَاً جَامِعًا يُعْمَلُ بِهِ فِي جِبَايَةِ الْخَرَاجِ، (وَالْعُشُوْرِ، وَالصَّدَقَاتِ، وَالْجَوَالِي)، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا يَجِبُ عَلَيْهِ النَّظَرُ فِيْهِ وَالْعَمَلُ بِه…
Sesungguhnya Amirul Mukminin [Harun ar-Rasyid] –semoga Allah SWT menolong beliau—telah memintaku untuk membuat sebuah kitab untuk beliau, yang menyeluruh, dan bisa diterapkan untuk memungut Kharaj, termasuk ‘Usyur, zakat dan Jizyah, serta yang lain-lain yang harus dipertimbangkan dan diterapkan.7
Kitab ini ditulis atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid [w. 193 H] kepada Abu Yusuf, yang ketika itu menjabat sebagai kepada Qadhi [Qadhi al-Qudhat]. Setelah itu diikuti oleh banyak ulama yang menulis kitab tentang hukum-hukum pemerintahan. Seperti al-Imam al-Mawardi [w. 450 H] [Syafii] dan al-Farra’ [w. 458 H] [Hambali], yang sama-sama menulis kitab, Al-Ahkam as-Sulthaniyah. Begitu juga Ibn Taimiyah [w. 728 H] dengan karyanya, As-Siyasah as-Syar’iyyah dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyah [w. 751 H], murid Ibn Taimiyyah, dengan karyanya, Ahkam Ahli Dzimmah dan An-Nuzhum al-Hukmiyah. Di era ‘Utsmaniyah, juga ada kitab Multaqa al-Abhur, karya al-‘Allamah Ibrahim al-Halabi [w. 956 H] yang digunakan oleh Khalifah Sulaiman al-Qanuni untuk memerintah.
Semuanya ini merupakan hukum Islam. Tidak ada satu pun hukum yang lain, yang digunakan oleh para khalifah ketika itu. Bahkan orang Kristen, seperti Salim Rustum Baz al-Lubnani, pun telah menulis kitab, Syarh al-Majallah, kitab fikih yang ditulis dalam mazhab Hanafi.8
Justru sebaliknya, kita akan mengalami kesulitan mencari bukti dari kitab-kitab ulama terdahulu, yang menyatakan kebolehan untuk tidak menerapkan hukum Islam. Karena itu formalisasi syariah Islam dalam kehidupan individu, masyarakat dan negara adalah keniscayaan. Telah dituangkan oleh para ulama dalam berbagai kitab fikih maupun sejarah.
Adapun KUHP dan lain-lain baru muncul setelah era penjajahan di Dunia Islam.
WalLâh a’lam wa ahkam. [KH. KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Al-‘Allamah al-Muhaddits Abuya Sayyid Muhammad ‘Alwi al-Maliki, Syarafu al-Ummah al-Muhammadiyah, Hai’ah as-Shafwah, t.t, hal. 25.
2 Al-‘Allamah al-Qadhi as-Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzam al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, cet. VI, 2001 H/1422 H, hal. 44-47.
3 Al-‘Allamah al-Qadhi as-Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, cet. VI, 2001 H/1422 H, Juz I, hal. .
4 Al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Khaldun, al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyami al-‘Arab, wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Asharahum min Dzawi as-Sulthan al-Akbar, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Beirut, t.t., hal. 79.
5 Al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Khaldun, al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyami al-‘Arab, wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Asharahum min Dzawi as-Sulthan al-Akbar, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Beirut, t.t., hal. 79.
6 Al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Khaldun, al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyami al-‘Arab, wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Asharahum min Dzawi as-Sulthan al-Akbar, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Beirut, t.t., hal. 79.
7 Al-‘Allamah Abu Yusuf, al-Kharaj, ed. Muhammad Ibrahim al-Banna, Dar as-Salam, Mesir, 2017 H/1438 H, hal. 29.
8 Salim Rustum Baz al-Lubnani, Syarah al-Majallah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Mesir, cet. I, 2010 M/1438 H, hal. 5.