Iqtishadiyah

Strategi Pembangunan Infrastruktur Dalam Islam

Infrastruktur merupakan roda penggerak ekonomi. Para ekonom berpandangan infrastruktur sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Secara ekonomi makro, ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital. Adapun dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi.

Infrastruktur juga berpengaruh penting bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia, antara lain dalam peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan kerja.

Graham Atkins dkk.1 dari Institute for Government membuat sebuah laporan penelitian studi kasus 6 wilayah di Inggris berjudul, “What’s wrong with infrastructure decision making?” Ia memperingatkan jika kesalahan pengambilan strategi pembangunan infrastruktur akan berakibat sangat serius bagi sebuah negara. Akibat ini akan ditanggung untuk jangka waktu yang cukup lama dan menarik masalah bagi sektor-sektor lainnya. Itu adalah kesalahan pengambilan strategi, bagaimana jika sejak awal hal itu sudah by design merupakan kesalahan? Kita akan telusuri di poin-poin selanjutnya tulisan ini.

 

Menyoal Pembangunan Infrastruktur di Indonesia

Pembangunan infrastruktur di Indonesia masih dihadapkan pada kondisi ketimpangan wilayah. Menurut para ekonom, perkembangan ekonomi yang berlangsung di negara berkembang sering terkendala oleh ketimpangan atau buruknya kondisi infrastruktur.2 Itu adalah secara konseptual. Pada faktanya masalah serius yang mengelilingi hal ini amat kompleks dan parah. Fakta paling parah adalah pembangunan infrastruktur selalu dikelilingi praktik korupsi.

Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio3 mengatakan  infrastruktur merupakan salah satu sektor yang rawan praktik korupsi. “Pembangunan infrastruktur di Indonesia sangat rawan korupsi dimulai dari pembahasan anggaran di DPR RI hingga pada tahap pelaksanaan,” kata Agus dalam diskusi virtual bertajuk konsultasi regional Kementerian PUPR Tahun 2021, Senin (15/03/2021).

Praktik korupsi ini menyeret sejumlah nama yang merupakan pejabat publik, seperti anggota dewan, kepala daerah hingga aparat pemerintahan. Berdasarkan laporan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, sejak tahun 2020 hingga Maret 2021 terdapat 36 kasus korupsi infrastruktur.  “Korupsi infrastruktur sejumlah 36 kasus sepanjang 2020 hingga Maret 2021,” kata Ghufron kepada Kompas.com, Selasa (16/03/2021).

Salah satu kasus yang menyita perhatian adalah terjaringnya Mantan Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (26/02/2021). Tentu kasus yang menyeret para pejabat publik level atas ini tidak bisa dimaknai hanya sebatas perilaku menyimpang individu, melainkan ada elemen kolektif terkait.

Proyek infrastruktur, menurut data lembaga antikorupsi Indonesia Corruption Watch (ICW), masih menduduki peringkat atas kategori lahan basah praktik korupsi. Infrastruktur berada di posisi kedua setelah pengadaan barang dan jasa. Tidak menutup kemungkinan ini adalah mesin uang yang menggiurkan untuk partai politik dalam bertarung memperebutkan kuasa politik demokrasi yang sangat berbiaya mahal.4

Selain praktik korupsi, banyak infrastruktur yang dikerjakan tanpa feasibility study yang benar. Ini mengakibatkan banyak proyek infrastruktur yang rugi.

Secara normatif, semua proyek infrastruktur pasti menggunakan feasibility study (FS) dan detailed engineering design (DED). Di Indonesia, cukup banyak proyek-proyek besar yang menyedot dana besar, namun akhirnya jauh dari harapan. Bahkan selama prosesnya dari awal sudah bermasalah. Tanpa mengindahkan kaidah studi kelayakan, tidak heran jika terjadi banyak salah sasaran. Beberapa ekonom sempat mempertanyakan begitu gencarnya pembangunan infrastruktur darat (semisal jalan tol), namun kurang fokus terhadap infrastruktur laut. Contoh terhadap fakta produk lokal (semisal buah-buahan) versus produk impor. Produk lokal yang rata-rata dikirim ke berbagai wilayah menggunakan jalur darat sebagai jalur logistik di Indonesia terbukti sangat tidak efisien. Angkutan untuk jalur darat rata-rata maksimal hanya memiliki kapasitas 10 ton dengan ongkos angkut yang mahal. Padahal produk-produk impor yang diangkut menggunakan kapal bisa sampai puluhan ribu ton sekali angkut. Akibatnya, tidak heran jika produk impor lebih masuk akal harganya bagi konsumen. Alhasil, pembangunan infrastruktur berbasis pada daratan di negara maritim seperti Indonesia ini sebenarnya hanya membangun pergerakan manusia daripada membantu meringankan distribusi logistik barang. Hal ini juga jadi sebab melebarnya defisit neraca perdagangan negara.

Hal lebih mendasar lagi, nyatanya program-program pembangunan di Indonesia lebih berorientasi bisnis, bukan pada fungsi pelayanan publik. Efeknya bisa melahirkan adanya kekerasan dan perampasan lahan masyarakat untuk kepentingan bisnis. Contoh terkini adalah pembangunan proyek Sirkuit MotoGP Mandalika5. Mandalika, di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang miskin di Lombok, akan diubah menjadi tujuan wisata terintegrasi. Termasuk sirkuit balap motor Grand Prix, taman, hotel dan resor mewah; termasuk Pullman, Paramount Resort dan Club Med. Proyek ini telah menarik lebih dari $1 miliar investasi dari bisnis swasta. Grup Prancis Vinci Construction Grants Projects bertanggung jawab atas investor terbesarnya, Sirkuit Mandalay, hotel, rumah sakit, taman air dan fasilitas lainnya. Proyek yang didanai  The Asian Infrastructure Investment Bank/AIIB ini sejak awal sudah lebih bernuansa bisnis daripada fungsi kepentingan publik apatah lagi fungsi pelayanan publik. Padahal, masih banyak proyek infrastruktur penting di wilayah tersebut yang belum tersentuh.

Masalah lainnya dari pembangunan infrastruktur di Indonesia adalah bertumpu pada utang. Untuk periode 2020-2024, Pemerintah merancang menarik utang dari pinjaman luar negeri sebesar US$25,36 miliar dalam kurun waktu 2020-2024. Ini tertuang dalam Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah 2020-2024 yang dirilis Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas di situs resmi.

 

Strategi Pembangunan Infrastruktur dalam Islam

Dalam sistem ekonomi Islam, infrastruktur yang masuk sebagai kepemilikan umum harus dikelola oleh negara dan dibiayai dari dana milik umum. Boleh berasal dari sumber kepemilikan negara, tetapi negara tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaannya6.

Kalau sampai harus ada pungutan, hasilnya harus dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk yang lain. Ini termasuk juga membangun infrastruktur atau sarana lain yang menjadi kewajiban negara untuk masyarakat seperti sekolah-sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, jalan-jalan umum dan sarana-sarana lain yang lazim diperuntukkan bagi masyarakat sebagai bentuk pengaturan dan pemeliharaan urusan mereka. Jelas ada perbedaan dengan pemahaman yang ada dalam sistem kapitalisme yang saat ini diterapkan.

Dalam Islam, pembangunan infrastruktur adalah murni sebagai bentuk pelayanan negara kepada masyarakat. Penerapannya sudah dicontohkan oleh para khalifah yang memimpin negara dengan sistem Khilafah. Dr. Jaribah Ahmad Al-Haritsi telah melakukan penelitian yang tertuang dalam disertasinya di Ummul Qura. Pada satu poin bahasannya mendetilkan bagaimana Khalifah Umar bin al-Khaththab membangun proyek-proyek infrastruktur dengan tujuan murni pelayanan publik. Saluran-saluran irigasi terbentang hingga ke daerah-daerah taklukan. Sebuah departemen besar didirikan untuk membangun waduk-waduk, tangki-tangki, kanal-kanal dan pintu-pintu air serbaguna kelancaran dan distribusi air, agar semua masyarakat bisa mengakses air. Yang paling terkenal adalah proyek penggalian teluk yang menghubungkan Madinah dan Mesir agar bantuan dari Mesir sampai ke Madinah dengan cepat dan mudah. Khalifah Umar ra. meminta ‘Amr bin ‘Ash ra. memperbaiki Laut Qalzum (Laut Merah) pada saat itu sehingga harga makanan di Madinah sama dengan harganya di Mesir.

Sebagian referensi mengatakan bahwa Khalifah Umar ra. juga membangun gudang logistik yang di dalamnya tersedia tepung, kurma, anggur, zaitun dan apa yang dibutuhkan masyarakat. Saad al-Jar menangani kiriman pangan dari Mesir melalui laut, kemudian menyimpannya di gudang logistik yang dia bagikan kepada masyarakat.

Menurut Ibnu Khaldun7, ketika wilayah kerja ekonomi negara Khilafah semakin luas, Umar ra. juga mendirikan semacam wilayah perdagangan yang besar di Kota Basrah (gerbang untuk perdagangan dengan Romawi) dan Kufah (sebagai pintu masuk perdagangan dengan Persia). Khalifah Umar ra. juga membangun kanal dari Fustat ke Laut Merah sehingga orang yang membawa gandum ke Mesir tidak perlu lagi memakai unta karena saat itu mereka dapat langsung menyeberang sungai Sinai ke Laut Merah.

Manfaat-manfaat itu semuanya langsung dirasakan masyarakat karena memang murni didasari sebagai bentuk pelayanan publik. Bentuk-bentuk penerimaan yang diterima juga dikembalikan menjadi manfaat lainnya bagi publik. Khalifah Umar ra., misalnya, meminta ‘Amr bin ‘Ash ra. menggunakan pemasukan dari Mesir untuk membangun jembatan, terusan dan jaringan suplai air hingga fasilitas-fasilitas yang bertebaran di jalan-jalan untuk memenuhi kebutuhan para musafir.

Dr. Jaribah Al-Haritsi juga dengan cermat menganalisis perencanaan ekonomi pembangunan infrastruktur pada masa Khalifah Umar ra. Yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada di lapangan pada masa itu (ekspansi yang luas). Ketika saldo keuangan negara mencapai jumlah yang sangat banyak, Khalifah Umar ra. menginginkan adanya ekspansi perencanaan pembangunan infrastruktur.  Saat masa-masa sulit untuk kas negara, tidak ada ekspansi proyek pembangunan. Semua anggaran difokuskan untuk pemenuhan masalah-masalah mendasar masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa Khalifah Umar ra., dengan sistem Khilafah, senantiasa membuat perencanaan yang matang dan itqan. Sebabnya, setiap policy negara akan melahirkan konsekuensi serius terhadap tatanan masyarakat. Hal ini sangat berbeda dengan sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri-negeri kaum Muslim hari ini. Saat ini policy negara dikendalikan oleh kaum pemilik modal.

 

Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur dalam Islam

Pada masa Khalifah Umar bin Abdulaziz, Khilafah menjadi contoh gemilang pembangunan infrastruktur. Perkembangan ekonomi yang semakin maju diimbangi dengan pembangunan fasilitas umum yang hebat. Hal ini sudah dimulai sejak Umar bin Abdulaziz menjadi gubernur Madinah pada saat Kekhalifahan Walid bin Abdul Malik. Umar bin Abdulaziz merencanakan pembangunan lorong di tebing dan menggali sumber air di Madinah. Setelah mendapat persetujuan dari Walid, Umar bin Abdulaziz segera membangun proyek tersebut. Sumur yang dibangun dinamakan bi’ru al-hafir. Umar juga memberikan ijin kepada pejabat Basrah yang merencanakan pembuatan sungai di wilayah mereka. Sungai tersebut dinamakan dengan sungai adiy.8

Perkembangan ekonomi yang hebat pada masa itu disertai dorongan pembiayaan negara yang luar biasa. Kharj adalah salah satu sumber utama pemasukan negara pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Perolehan hasil kharj pada masa Kekhalifahan Umar bin Abdulaziz adalah yang terbanyak dibandingkan dengan pendahulunya. Pada masa Al-Hajjaj menjabat sebagai gubernur Madinah pada masa Khalifah Abdul Malik, misalnya, perolehan dari kharj di Kota Madinah sebanyak 40 juta dirham. Padahal pada masa Umar bin Khathab pemasukan dari kharj sendiri mencapai 100 juta dirham. Jika dibandingkan dengan dua khalifah tersebut, perolehan Umar bin Abdulaziz adalah yang terbanyak yaitu mencapai 140 juta dirham.9

Para sejarahwan tidak pernah sekalipun menemukan proyek-proyek ambisius pada zamannya itu yang didanai di atas tumpukan utang negara.10 Semua berdasarkan optimalisasi anggaran pemasukan negara yang dipergunakan dengan sangat baik dan menjalankan fungsinya sebagai fasilitator pelayanan publik.

Karena mengemban teguh fungsi pelayanan publik, menurut Abdurrahman Al-Maliki,11 pembangunan infrastruktur dalam sistem Islam dibagi menjadi dua jenis: (1) Infrastuktur yang sangat dibutuhkan oleh publik yang jikaditunda akan menimbulkan bahaya atau dharar bagi publik; (2) Infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat, tetapi tidak begitu mendesak dan masih bisa ditunda pengadaannya.

Infrastruktur kategori yang kedua tidak boleh dibangun jika negara tidak memiliki dana. Tidak dibolehkan pembangunan infrastruktur tersebut dengan jalan utang dan pajak. Jadi infrastruktur kategori yang kedua hanya boleh dibangun ketika dana APBN atau Baitul Mal mencukupi. Sebaliknya, infrastruktur kategori pertama, tanpa memperhatikan ada atau tidak ada dana APBN atau Baitul Mal, harus tetap dibangun. Jika ada dana APBN atau Baitul Mal maka wajib dibiayai dari dana tersebut secara maksimal. Namun, jika tidak mencukupi maka negara bisa memungut pajak (dharîbah) dari publik. Jika waktu pemungutan dharîbah memerlukan waktu yang lama, sementara infrastruktur harus segera dibangun, maka boleh negara meminjam kepada pihak lain. Pinjaman tersebut akan dibayar dari dana dharîbah yang dikumpulkan dari masyarakat setelahnya. Namun terdapat batasan yang sangat jelas disini, pinjamaan ini tidak ada unsur riba atau menyebabkan negara bergantung kepada pemberi pinjaman.

Jelas terlihat perbedaan antara pajak dalam sistem Islam dan sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme pajak digunakan sebagai tulang punggung pendapatan negara dan dilakukan secara permanen. Sebaliknya, dalam sistem Islam pajak dipungut hanya jika kondisi urgen. Pemungutannya juga tidak dari semua orang secara merata seperti dalam sistem kapitalisme. Dalam Islam pajak hanya ditarik dari orang-orang yang berkemampuan. Setelah proyek infrastruktur kategori pertama yang urgen itu terpenuhi, maka berhenti juga proses pemungutan pajak.

Demikianlah Islam memandang pembangunan insfrastruktur yang merata dan sumber pembiayaannya yang adil di seluruh negeri Islam. Semua ini bukanlah semata-mata romantisme sejarah atau keteladanan sikap individual semata. Hal ini adalah contoh penerapan sistem Islam oleh negara, termasuk dalam kebijakan-kebijakan ekonomi. Contoh-contoh praktis ini adalah inspirasi tentang hakikat sebuah sistem Islam secara paripurna yang telah ditinggalkan kaum Muslim selama kurang lebih 100 tahun lamanya.

Karena berpaling dari sistem Islam secara parpurna, pembangunan infrastruktur tidak lebih dari proyek perebutan jatah-jatah kekuasaan untuk mengisi kantong para elit. Amat jauh dari fungsinya yang mulia, sebagai sarana bagi para penguasa untuk menunaikan kewajibannya sebagai pelayan masyarakat dan meraih ridha Allah ta’ala.

WalLahu a’lam bi ash-shawwab. [Indra Fajar Alamsyah; Kandidat Ph.D Ekonomi, International Islamic University Malaysia]

 

Catatan kaki:

1        Atkins, G., Wajzer, C., Hogarth, R., Davies, N.,& Norris, E. (2017).What’s wrong with infrastructure decision making?: Conclusions from six UK case studies. London, UK: Institute for Government.

2        Todaro, M. P., & Smith, S. C. (2011). Economic development (11th ed.). Harlow: Pearson Education Limited.

3        https://www.kompas.com/properti/read/2021/03/16/220000821/ada-36-kasus-korupsi-infrastruktur-pengamat-minta-kementerian-pupr?page=all

4        Casas-Zamora, K.,& Zovatto, D. (2016). The Cost of Democracy. Stockholm: International Institute for Democracy and Electoral Assistance

5        https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56639620

6        Al-Maliki, A. (1963). As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla. (ttp.: tp.)

7        Ibn Khaldun. (1978). The Muqaddimah. Translated by Franz Rosenthal. Introduction by N.J. Dawood. St. Edmunds Press Ltd. Great Britain.

8        Al-Salabi, ‘Ali Muhammad. (2007). Al-Khalifah al-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz RadiyalLah ‘Anh wa Mu’alim al-Tajdid wa al-Islah wa al-Rasyidiy a’la Minhaj al-Nubuwah. Berut: Dar al-Ma’rifat.

9        Al-Salabi, op.cit.

10      Silahkan bandingkan sejarah-sejarah yang membahas berkenaan Umar bin Abdulaziz pada Al-‘Ahl, ‘Abd al-‘Aziz Sayyid. (1964). Al-Khalifah al-Zahid ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz. Berut: Dar al-‘Ilm li Malaiyyin. Juga lihat Ibn ‘Abd Hakam, Abdullah. (1994). Al-Khalifah al-‘Adil ‘Umar ‘Ibn ‘Abd ‘Aziz: Khamis al-Khulafa‘ al-Rasyidin. Cairo: Dar al-Fadilat. Juga lihat Ibn al-Jawzi, Jamaludin Abi al-Faraj ‘Abd al-Rahman. (1984). Sirat wa Manaqib ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz: al-Khalifat al-Zahid. Berut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyyah.

11      Al-Maliki, A. op.cit.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

20 + 17 =

Back to top button