Soal Jawab

Siapakah “Ghârimîn” yang Layak Diberi Zakat?


Soal:

Siapakah “Ghârimîn” yang disebut sebagai bagian dari “Ashnâf” delapan dan layak mendapatkan zakat? Apakah kebutuhan untuk maksiat, termasuk kategori “Ghârimîn” yang layak diberi zakat?

 

Jawab:

Secara harfiah, “Ghârimîn” bentuk jamak dari kata “Ghârim”, yaitu orang yang berutang (Madîn).1 Menurut istilah, “Ghârimîn” adalah:

اَلْمَدِيْنُوْنَ اَلْعَاجِزُوْنَ عَنْ وَفَاءِ دُيُوْنِهِمْ. وَقَالَ مُجَاهِدٌ: اَلْغَارِمُوْنَ هُمْ قَوْمٌ رَكَبَتْهُمُ الدُّيُوْنُ مِنْ غَيْرِ فَسَادٍ وَلَا تَبْذِيْرٍ

Orang yang berutang dan tidak mampu membayar utang-utang mereka. Mujahid menambahkan: Ghârim adalah orang yang memikul beban utang, bukan untuk keburukan maupun perkara yang mubazir.2

 

Imam al-Mawardi dalam kitab Al-Hawi al-Kabîr li al-Fatawa, menjelaskan pendapat Imam as-Syafii. Menurut Imam as-Syafii, “Ghârimîn” ini bisa dibedakan menjadi dua kategori.3

Pertama: Orang yang berutang untuk kepentingan pribadi, atau kebaikan, bukan maksiat, kemudian tidak mampu mengembalikan pinjamannya, baik dengan barang (aset) maupun uang cash. Dia bisa diberi zakat karena status “Ghârim”-nya dan karena dia tidak mampu membayar. Kalau dia mempunyai barang (aset) maka utang-utangnya bisa dibayar dengan menggunakan asetnya. Orang ini dianggap kaya dan tidak boleh diberi zakat sehingga dia terbebas dari utang, sampai apa yang menjadi asetnya habis, dan apa yang membuat dirinya dianggap kaya tidak ada lagi. Pada saat itu, dia boleh diberi zakat.

Kedua: Orang yang berutang untuk mendamaikan dua orang yang berselisih, untuk kebaikan, sedangkan dia mempunyai aset yang digunakan untuk menanggung kewajibannya. Jika aset itu dijual akan membahayakan mereka meski kalau dijual tidak sampai membuat dirinya menjadi fakir. Orang ini boleh diberi, sebagaimana orang yang membutuhkan lainnya.4 Dalam kitab Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzab, Imam an-Nawawi bahkan memasukkan orang ini dalam kategori orang yang berutang untuk membayar diyat orang yang dibunuh.5

Imam as-Syafii berargumen dengan menggunakan hadis Qabishah bin Mukhariq al-Hilali. Dulu orang Arab hidup bersuku-suku dan kabilah. Di antara mereka kadang terjadi konflik. Lalu ada salah seorang di antara mereka yang berusaha mendamaikan kedua pihak dengan memberikan sesuatu kepada para pihak yang bersengketa supaya berdamai. Untuk melakukan itu, orang yang mendamaikan ini kadang harus pinjam ke sana-sini sehingga menjadi tanggungannya. Tanggungan inilah yang disebut “Hamalah”, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis Qabishah. Jadi, Qabishah telah menanggung “Hamalah”, kemudian disampaikan kepada Nabi saw.

«تَحَمَّلْتُ حَمَالَةً، فأتَيْتُ رَسولَ اللهِ ﷺ أسْأَلُهُ فيها، فقالَ: أقِمْ حتَّى تَأْتِيَنا الصَّدَقَةُ، فَنَأْمُرَ لكَ بها، قالَ: ثُمَّ قالَ: يا قَبِيصَةُ، إنَّ المَسْأَلَةَ لا تَحِلُّ إلَّا لأَحَدِ ثَلاثَةٍ: رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً، فَحَلَّتْ له المَسْأَلَةُ حتَّى يُصِيبَها، ثُمَّ يُمْسِكُ، ورَجُلٌ أصابَتْهُ جائِحَةٌ اجْتاحَتْ مالَهُ، فَحَلَّتْ له المَسْأَلَةُ حتَّى يُصِيبَ قِوامًا مِن عَيْشٍ -أوْ قالَ: سِدادًا مِن عَيْشٍ- ورَجُلٌ أصابَتْهُ فاقَةٌ حتَّى يَقُومَ ثَلاثَةٌ مِن ذَوِي الحِجا مِن قَوْمِهِ: لقَدْ أصابَتْ فُلانًا فاقَةٌ، فَحَلَّتْ له المَسْأَلَةُ حتَّى يُصِيبَ قِوامًا مِن عَيْشٍ -أوْ قالَ: سِدادًا مِن عَيْشٍ- فَما سِواهُنَّ مِنَ المَسْأَلَةِ -يا قَبِيصَةُ- سُحْتًا، يَأْكُلُها صاحِبُها سُحْتًا.»

Aku telah menanggung tanggungan [hamalah]. Lalu aku datang kepada Rasulullah saw. untuk menanyakan hal itu. Beliau kemudian bersabda, “Tunggulah sampai sedekah [zakat] itu datang kepada kami. Lalu kami akan menitahkannya untuk menyelesaikan masalahmu.” Baginda bersabda, “Wahai Qubishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak diperbolehkan, kecuali bagi salah satu dari tiga orang. Pertama, orang yang menanggung beban [hamalah]. Dia boleh meminta sampai mendapatkannya, lalu dia menahan diri [tidak meminta-minta lagi]. Kedua, orang yang terkena wabah penyakit yang menghabiskan hartanya. Dia boleh meminta sampai mendapatkan kecukupan untuk hidupnya—atau beliau mengatakan—untuk menutupi kebutuhan hidupnya. Ketiga, orang yang menjadi fakir hingga tiga orang dari pemuka kaumnya membela dirinya, ‘Kesulitan telah menimpa Fulan.’ Dia ini boleh meminta sampai mampu bertahan hidup atau—beliau mengatakan—sampai kebutuhan hidupnya terpenuhi. Adapun meminta lebih dari itu, wahai Qabishah, maka statusnya haram. Orang yang melakukan itu akan memakan makanan yang haram.” (HR Muslim dari Qabishah bin Mukhariq al-Hilali, hadis no. 1044)6

 

Mengenai kebolehan “Ghârimîn” menerima zakat telah dinyatakan di dalam nas syariah, baik al-Quran maupun Hadis Nabi saw. Dalam al-Quran Allah SWT berfirman:

۞إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡعَٰمِلِينَ عَلَيۡهَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمۡ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَٰرِمِينَ وَفِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۖ فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ  ٦٠

Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk fî sabilillah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan. Ini sebagai suatu ketetapan yang telah Allah wajibkan. Allah Mahatahu lagi Mahabijaksana (QS at-Taubah [9]: 60).

 

Juga sabda Nabi saw.:

«لاتَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إلاَّ لِخَمْسَةٍ: العَامِلِ عَلَيْهَا أَوْ غَارٍِِ أو مُشْتَرِيهَا، أَوْ عَاِملٍ في سَبِيْلِ اللهِ، أَوْ جَارٍ فَقِيْرٍ يَتَصَدَّقُ عَلَيْهِ أَوْ أَهْدَيَ لَهُ»

Sedekah tidak dihalalkan bagi orang kaya, kecuali untuk lima orang: Orang yang menjadi amil zakat; orang yang Gharim; orang yang membeli zakat [dari yang berhak]; Mujahid yang berjuang di jalan Allah; tetangga yang miskin, lalu [zakat diterima orang kaya] untuk disedekahkan kepada dirinya, atau dihadiahkan kepadanya (HR Abu Dawud, Malik dan Baihaqi dari ‘Atha’ bin Yasar).

 

Al-Mawardi kemudian merinci mereka yang masuk kategori “Ghârimîn”. Mereka ada dua: Pertama, orang yang berutang untuk kepentingan pribadinya. Kedua, orang yang berutang untuk kepentingan orang lain.

Adapun “Ghârimîn” yang berutang karena kepentingan pribadinya bisa dikategorikan menjadi tiga: Pertama, berutang untuk kebaikan. Kedua, berutang untuk perkara muba­dzir. Ketiga, berutang untuk perkara maksiat.

Untuk kategori pertama, “Ghârimîn” yang berutang untuk kebaikan. Contohnya seperti orang yang berutang untuk membiayai musibah yang menimpa dirinya, seperti berobat, atau biaya yang harus dikeluarkan, atau kerugian akibat muamalah, atau zakat yang diwajibkan, atau haji yang harus ditunaikan, dan kewajiban lain yang harus ditunaikan. Dia boleh diberi bagian atas nama “Ghârimîn” jika memang dia miskin.

Namun, jika dia kaya, maka ada kemungkinan hartanya berupa properti, atau harta yang tidak liquid, seperti emas, kertas, aset bisnis, maka dia tidak berhak diberi bagian dari “Ghârimîn”. Sebabnya, dia sebenarnya tidak membutuhkan bantuan untuk melunasi utangnya. Karena faktanya, sedikit sekali orang yang hidupnya diberi kemudahan yang terbebas dari utang. Jika dia berhak maka semua orang yang diberi kemudahan hidup akan menjadi “Ghârimîn”.

Jika hartanya berupa properti, yang harga asetnya hanya cukup membayar hutangnya, maka untuk memberi dia zakat sebagai bagian dari “Ghârimîn”, ada dua pendapat. Pertama, pendapat yang paling shahih—dan itu sebagaimana yang dinyatakan oleh nas dalam konteks ini, dan banyak kitab Imam as-Syafii yang lain—menyatakan tidak boleh diberi. Karena dia mampu untuk membayar utangnya, sebagaimana orang yang diberi kemudahan dengan harta yang tidak liquid tadi. Kedua, Imam as-Syafii menyatakan di dalam Qawl Qadiim-nya,7 sebagaimana dinyatakan dalam kitabnya, Al-Umm, bahwa orang tersebut boleh diberi.8 Ini karena tidak mampu membayar utangnya, kecuali dengan aset propertinya tadi. Dia memang termasuk orang yang kesulitan meski mirip dengan orang yang diberi kemudahan. Karena itu dia termasuk “Ghârimîn”.

Kedua, “Ghârimîn” yang berutang untuk perkara mubadzir. Misalnya, orang menghabiskan uangnya untuk memenuhi syahwatnya, kenikmatan atau berfoya-foya dalam menjalin hubungan dengan teman, atau memberikan hadiah, bukan untuk ketaatan maupun ketakwaan, maka orang “Ghârimîn” seperti ini tidak boleh diberi bagian dari “Ghârimîn”. Untuk membayar utangnya, bisa ditaksir dari hartanya yang non-liquid, atau propertinya. Ini karena dia tidak boleh melakukan perkara mubazir. Jika dia tidak boleh melakukan perkara mubazir dengan hartanya sendiri, apatah lagi menggunakan harta zakat. Itu kalau dia mempunyai harta. Jika dia miskin, tidak mempunyai aset maka dia boleh diberi zakat atas nama “Ghârimîn”.

Ketiga, orang yang berutang untuk perkara maksiat. Jika dia tidak bertobat, sebaliknya tetap dan terus melakukan maksiat, maka orang seperti ini tidak layak diberi zakat atas nama “Ghârimîn”. Karena dia tidak boleh melakukan maksiat, maka tidak boleh dibantu untuk melakukan maksiat, dengan menanggung bebannya dalam melakukan maksiat.9

Jika dia telah bertobat, dan meninggalkan maksiatnya, maka dia tidak boleh diberi bagian “Ghârimîn”, ketika dia mempunyai harta non-liquid, atau properti. Ini karena hartanya habis untuk menutupi maksiatnya lebih baik ketimbang harus ditutupi dengan harta zakat. Mengenai kebolehan memberikan zakat kepada dia, ketika dia miskin, ada dua pendapat:

  • Boleh diberi, ketika dia masih menanggung utang, dan maksiatnya telah ditinggalkan.
  • Tidak boleh diberi, karena tanggungannya disebabkan oleh perkara maksiat.

WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

Catatan kaki:

  • Ibn al-Mandzhur, Lisan al-‘Arab, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., Juz, hal.
  • Wizarat al-Auqaf wa as-Syu’un al-Islamiyyah, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Dar as-Shafwah, Kuweit, Cet. I, 1414 H/1994 M, Juz, XXXI, hal. 124.
  • Al-Imam Muhammad bin Idris As-Syafii, al-Umm, Dar al-Wafa’, Qahirah, Cet. V, 1429 H/2008 M, Juz, III, hal. 183-185.
  • Imam al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir li al-Fatawa, Juz VIII, hal. 508.
  • Imam Muhyiddin Abu Zakariyya Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, Muhammad Aiman as-Syablawi, Dar al-Hadits, Qahirah, 1431 H/2010 M, Juz VII, hal. 327.
  • Al-Imam Muhammad bin Idris As-Syafii, al-Umm, Juz, III, hal. 184.
  • Imam Muhyiddin Abu Zakariyya Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, Juz VII, hal. 327.
  • Al-Imam Muhammad bin Idris As-Syafii, al-Umm, Juz, III, hal. 185.
  • Imam al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir li al-Fatawa, Juz VIII, hal. 509.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

16 − five =

Back to top button