
Nasakh Al-Quran Dengan Al-Quran
نَسْخُ الْقُرْآنِ بِالْقُرْآنِ
Nasakh adalah ibthâlu al-hukmi al-mustafâd min nashsh[in] sâbiq[in] bi nashsh[in] lâhiq[in] (pembatalan hukum yang dipahami dari nas yang lebih dulu oleh nas yang lebih akhir). Makna lainnya, nasakh adalah: Khithâb asy-Syâri’i al-mâni’i min istimrâri mâ tsabata min hukmi khithâb[in] syar’iyy[in] sâbiq[in] (Seruan Asy-Syâri’ yang menghalangi keberlanjutan hukum yang sebelumnya telah ditetapkan oleh seruan syar’i terdahulu).
Jadi, nasakh al-Quran adalah pembatalan hukum yang dinyatakan dalam ayat al-Quran yang turun lebih dulu oleh ayat al-Quran yang turun lebih akhir. Dengan kata lain, nasakh al-Quran adalah ayat al-Quran yang menghalangi keberlanjutan hukum yang telah ditetapkan oleh ayat yang turun lebih dulu.
Terkait nasakh al-Quran, menurut Syaikh Wahbah az-Zuhaili di dalam Ushûl al-Fiqhi al-Islâmî, para ulama sepakat bahwa tidak boleh ada nasakh terhadap al-Quran seluruhnya. Sebabnya, lafal al-Quran merupakan mukjizat yang langgeng selamanya sampai Hari Kiamat. Alasan lainnya, karena hukum-hukum al-Quran mencerminkan syariah terakhir, sementara pembatalan syariah terakhir adalah tidak logis. Pasalnya, manusia tidak dibiarkan tanpa syariah. Adapun yang boleh terjadi adalah nasakh atas sebagian hukum dari al-Quran.
Nasakh al-Quran dengan al-Quran
Nasakh al-Quran dengan al-Quran adalah boleh. Ini menjadi pendapat jumhur (mayoritas mutlak) para ulama. Namun, Abu Muslim al-Ashfahani tidak membolehkan hal demikian. Demikian sebagaimana diinformasikan oleh Imam as-Sarakhsi di dalam Ushûl as-Sarakhsi, Imam al-Ghazali di dalam Al-Mushtashfâ, Ibnu al-Hajib di dalam Mukhtashar Ibni al-Hâjib, Ibnu Badran di dalam Al-Madkhal ilâ Madzhab Ahmad, Imam asy-Syaukani di dalam Irsyâd al-Fuhûl dan yang lainnya.
Mayoritas mutlak para ulama menjelaskan bahwa boleh nasakh al-Quran oleh al-Quran karena dua argumentasi: Pertama, karena kesamaannya dalam hal kewajiban al-‘ilmu (al-qath’iy)-nya dan kewajiban beramal dengan al-Quran. Pasalnya, baik ayat yang me-nasakh atau ayat yang di-nasakh sama-sama dibawa oleh wahyu dari sisi lafal dan maknanya sehingga boleh nasakh al-Quran oleh al-Quran. Kedua, karena secara riil terjadi nasakh al-Quran oleh al-Quran. Nasakh al-Quran oleh al-Quran yang terjadi secara riil merupakan dalil paling jelas atas kebolehannya.
Adapun argumentasi Abu Muslim al-Ashfahani atas pendapatnya bahwa tidak boleh terjadi nasakh di dalam al-Quran didasarkan pada firman Allah SWT:
Yang tidak datang pada al-Quran itu kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji (QS Fushshilat [41]: 42).
Menurut al-Ashfahani, seandainya sebagian al-Quran di-nasakh niscaya ada pada al-Quran itu kebatilan (al-buthlân atau al-bâthil).
Tentu tidak bisa dikatakan demikian. Sebabnya, nasakh adalah al-ibthâl, bukan al-bâthil. Al-Bâthil adalah lawan dari al-haqq, sementara nasakh adalah haqq dan shidq[un] (benar). Kata ganti (adh-dhamîr) huwa dalam ayat tersebut kembali pada al-Quran secara keseluruhan. Keseluruhan al-Quran tidak boleh dibatalkan sehingga al-Quran tidak boleh di-nasakh keseluruhannya. Hal ini disepakati oleh semua. Adapun nasakh atas sebagian hukum al-Quran adalah boleh. Artinya, al-Quran tidak didahului oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak datang setelah al-Quran apa yang membatalkannya.
Kemudian, pembatalan ayat al-Quran itu sendiri dengan adanya pe-nasakh-an atas tilâwah (bacaan)-nya adalah tidak boleh. Adapun pembatalan hukum yang dibawa oleh ayat al-Quran dengan menghilangkan hukum tersebut atau menghentikan keberlanjutannya, yakni nasakh atas sebagian hukum al-Quran, adalah boleh. Hal ini sebagaimana telah terbukti bahwa nasakh atas hukum tertentu dalam al-Quran itu terjadi secara riil.
Nasakh al-Quran itu adakalanya tanpa pengganti. Adakalanya diganti dengan yang setara, lebih ringan atau lebih berat bagi hamba. Contoh nasakh al-Quran tanpa pengganti adalah kewajiban bersedekah jika hendak mengadakan pembicaraan dengan Rasul saw. yang terdapat dalam firman Allah SWT:
Hai orang-orang beriman, jika kalian mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaklah kalian mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu (QS al-Mujadilah [58]: 12).
Hukum dalam ayat ini di-nasakh dengan ayat setelahnya tanpa hukum pengganti:
Apakah kalian takut akan (menjadi miskin) karena kalian memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Jika kalian tidak melakukan hal demikian, sementara Allah telah mengampuni kalian, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya (QS al-Mujadillah [58]: 13).
Contoh nasakh al-Quran disertai pengganti lebih ringan. Kewajiban bersikap teguh atas sepuluh orang dalam firman Allah SWT:
Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kalian, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Jika ada seratus orang yang sabar di antara kalian, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu orang kafir… (QS al-Anfal [8]: 65).
Hukum dalam ayat ini di-nasakh dan diganti dengan keteguhan satu orang atas dua orang musuh melalui firman Allah SWT:
Sekarang Allah telah memberikan keringanan untuk kalian dan Dia telah mengetahui bahwa pada diri kalian ada kelemahan. Jika ada di antara kalian seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir. Jika di antara kalian ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan izin Allah (QS al-Anfal [8]: 66).
Contoh lain, masa ‘iddah satu tahun untuk wanita yang ditinggal mati suaminya ditetapkan dalam firman Allah SWT:
Orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istrinya masing-masing, hendaklah berwasiat untuk masing-masing istrinya itu, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya) (QS al-Baqarah [2]: 240).
Masa ‘iddah dalam ayat ini di-nasakh menjadi hanya empat bulan sepuluh hari melalui firman Allah SWT:
Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istrinya masing-masing (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber-’iddah) selama empat bulan sepuluh hari (QS al-Baqarah [2]: 234).
Contoh nasakh al-Quran ke pengganti yang semisal. Kefardhuan shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis di-nasakh menjadi fardhu menghadap ke arah Masjidil Haram.
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit. Karena itu sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Di mana saja kalian berada, palingkanlah muka kalian ke arahnya (QS al-Baqarah [2]: 144).
Contoh nasakh al-Quran ke pengganti yang lebih berat. Pada awal Islam hukuman atas zina adalah kurungan di dalam rumah hingga meninggal:
(Terhadap) para wanita yang melakukan perbuatan keji (berzina), hendaklah ada empat orang saksi di antara kalian (yang menyaksikan kejadiannya). Kemudian jika mereka telah memberi persaksian maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya… (QS an-Nisa’ [4]: 15).
Kemudian hukum dalam ayat ini di-nasakh menjadi hukuman cambuk seratus kali melalui ayat berikut:
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah masing-masing dari keduanya seratus dali deraan (QS an-Nur [24]: 2).
Nasakh al-Quran adalah nasakh atas hukum yang dibawa oleh ayat al-Quran dan tidak ada nasakh atas tilâwah al-Quran. Jadi tidak ada ayat al-Quran yang dihapus tilâwah (teks/bacaan)-nya, yakni dihilangkan dari al-Quran. Hal itu karena semua ayat al-Quran ditetapkan dengan dalil qath’i. Yang tidak ditetapkan dengan dalil qath’i, yakni ditetapkan dengan dalil zhanni, tidak dinilai termasuk al-Quran. Tidak ada dalil qath’i yang menunjukkan adanya nasakh atas tilâwah al-Quran. Yang ada adalah dalil zhanni berupa hadis ahad yang menunjukkan adanya nasakh atas tilâwah al-Quran. Hal itu tidak ada nilainya untuk dijadikan sebagai dalil atas adanya nasakh terhadap tilâwah (teks/bacaan) al-Quran. Pendapat adanya nasakh terhadap tilâwah al-Quran bermakna bahwa ada ayat al-Quran yang telah ditetapkan secara qath’i sebagai ayat al-Quran, lalu ada dalil yang menunjukkan bahwa teks/redaksi ayat itu dihapus. Yang menunjukkan adanya nasakh terhadap tilâwah al-Quran itu hanya dalil zhanni. Itu berarti apa yang telah ditetapkan dengan dalil qath’i di-nasakh dengan dalil zhanni. Hal demikian tidak dibenarkan dan tidak boleh. Sebabnya, yang qath’i memang tidak boleh di-nasakh oleh yang zhanni. Yang qath’i hanya boleh di-nasakh oleh yang qath’i. Sementara itu, tidak ada dalil qath’i atas nasakh terhadap tilâwah al-Quran. Dengan demikian tidak ada nasakh atas tilâwah al-Quran.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]


