Perintah
Al-Amru (perintah) berasal dari amara – ya‘muru – amr[an]. Secara bahasa menurut Abu al-‘Abbas al-Fayumi (w. 770 H) di dalam Mishbâh al-Munîr fî Gharîb Syarh al-Kabîr, al-amru dengan makna ath-thalab (tuntutan) bentuk jamaknya awâmiru. Menurut al-Jurjani (w. 816 H) di dalam At-Ta’rifât, al-amru adalah apa yang dengannya dituntut pengadaan perbuatan oleh pelaku.
Imam Zakariya al-Anshari (w. 926 H) di dalam Al-Hudûd al-Anîfah wa at-Ta’rîfât ad-Daqîqah menyatakan, al-amru thalabu îjâdi al-fi’li (perintah adalah tuntutan mengadakan perbuatan). Di dalam Kamus al-Munir dikatakan, amarahu artinya thalaba minhu fi’la asy-syay‘a (menuntut darinya untuk melakukan sesuatu).
Dari semua itu, dapat dipahami bahwa al-amru maknanya adalah thalab al-fi’li (tuntutan untuk melakukan perbuatan). Hanya saja, dalam pembahasan ushul fikih, jatidiri perintah itu dijelaskan lebih, yakni adanya unsur al-isti’lâ‘ (dominasi) dan al-‘uluw (ketinggian). Perbedaannya, al-isti’lâ‘ adalah sifat pada perintah itu sendiri, yakni dalam nada suara atau cara pemberian perintah, atau dalam qarinah yang menyertai. Adapun al-‘uluw adalah sifat pada pihak yang memberi perintah, yakni bahwa pihak yang memberi perintah adalah lebih tinggi martabatnya dari pihak yang diperintah dalam fakta perkaranya.
Sebagian ulama ushul tidak mensyaratkan keduanya dalam al-amru. Menurut mereka, al-amru adalah thalab al-fi’li muthlaq[an] (tuntutan untuk mengerjakan perbuatan secara mutlak). Misalnya, menurut as-Subki asy-Syafi’i di dalam Jam’u al-Jawâmi’, di dalam al-amru tidak diperhatikan ‘uluw dan tidak pula isti’lâ`. Menurut Wahbah az-Zuhaili di dalam Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, para ulama Malikiyah berpendapat bahwa dalam al-amru tidak disyaratkan al-‘uluw pihak yang memerintah.
Sebagian ulama yang lain mensyaratkan al-isti’lâ‘. Ini menjadi pendapat sebagian ulama Syafiiyah seperti Imam al-Amidi dan ar-Razi; sebagian ulama Malikiyah seperti Ibnu al-Hajib, al-Baji dan al-Qarafi; sebagian ulama Hanbali seperti Abu al-Khaththab dan Ibnu Qudamah; dan sebagian ulama Hanafiyah seperti Shadru asy-Syari’ah dan Ibnu Abdu asy-Syakur. Juga ada sebagian ulama yang mensyaratkan al-‘uluw saja dan ada yang mensyaratkan keduanya sekaligus.
Imam al-Amidi (w. 631 H) di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm menjelaskan, al-amru adalah thalab al-fi’li ‘alâ jihati al-isti’lâ` (tuntutan untuk mengerjakan perbuatan menurut sisi ketinggian). Kata thalab al-fi’li menghalangi masuknya larangan dan jenis kalam lainnya. ‘Alâ jihati isti’lâ` menghalangi masuknya tuntutan dengan cara doa (permohonan) dan iltimâs (permintaan).
Syaikh Wahbah az-Zuhaili di dalam Ushûl al-Fiqh al-Islâmî menyatakan, al-amru (perintah) adalah lafal yang menunjukkan pada tuntutan perbuatan menurut sisi ketinggian (al-lafzhu ad-dâlu ‘alâ thalab al-fi’li ‘alâ jihati al-isti’lâ`). Itu terjadi dari pihak yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah, dengan orang mengatakan kepada yang lebih rendah secara isti’lâ`: lakukan. Itu merupakan hakikat dalam ucapan pihak yang menuntut perbuatan itu. Jika keluar dari pihak yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi dalam bentuk permohonan (at-tadharru’) dan asy-syafâ’ah tidak disebut perintah (amru), melainkan untuknya dikatakan doa (du’â`) dan permintaan (iltimâs).
Abdul Karim bin Ali bin Muhammad an-Nimlah di dalam al-Muhadzdzab fî ‘Ilmi Ushûl al-Fiqh al-Muqâran menjelaskan, ‘alâ wajh al-isti’lâ` maknanya bahwa perintah itu datang dengan cara ketinggian/superior (at-tarafu’) terhadap pihak yang diperintah seperti perintah Allah kepada makhluk, perintah tuan kepada budaknya, perintah bapak kepada anaknya dan perintah penguasa kepada rakyatnya. Jadi ungkapan ‘alâ jihati al-isti’lâ` mengeluarkan tuntutan perbuatan dengan ucapan menurut cara doa dan permintaan.
‘Iyadh bin Nami bin ‘Awadh as-Sulami di dalam Ushûl al-Fiqh al-ladzî lâ Yasa’u al-Faqîh Jahlahu menjelaskan, maksud ‘alâ wajhi al-isti’lâ` adalah diketahui dari konteks kalam atau dari cara berbicara bahwa yang memerintahkan yasta’lî (mendominasi) pihak yang diperintah, baik lebih tinggi dari yang diperintah posisi/martabatnya atau lebih rendah darinya dalam faktanya. Berdasarkan hal itu, jika budak berkata kepada tuannya, “Lakukan begini!” dengan nada yang menunjukkan dia lebih tinggi atasnya, maka ucapannya itu disebut perintah, dan dia layak mendapat ta`dîb karena dia memerintah tuannya.
Hanya saja, tidak semua redaksi thalab al-fi’li bermakna atau merupakan perintah. Menurut Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, thalab al-fi’li (tuntutan untuk melakukan perbuatan) yang merupakan perintah adalah thalab yang hakiki, yakni yang hakiki menuntut pelaksanaan perbuatan. Jika tidak begitu maka bukan perintah. Ini ada tiga. Pertama: Yang thalab-nya bukan hakiki. Ini ada empat bentuk. Satu, bermakna at-taswiyah. Contohnya firman Allah SWT “fa[i]shbirû aw lâ tashbirû (kamu bersabar atau tidak) (QS ath-Thur [52]: 16.
Dua, bermakna al-ihânah (pelecehan). Contoh, “Qul mûtû bighayzhikum (Katakanlah (kepada mereka), “Matilah kamu karena kemarahanmu itu.” (TQS Ali Imran [3]: 115).
Tiga, al-istihzâ‘ wa as-sukhriyah (ejekan dan merendahkan). Contoh, firman Allah SWT “Dzuq innaka anta al-‘azîz al-karîm (Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia” (TQS ad-Dukhan [44]: 49).
Empat, at-tahdîd (ancaman). Contoh, “I’malû ‘alâ makânatikum innî ‘âmil[un] fasawfa ta’lamûn (Berbuatlah menurut kemampuanmu, sungguh aku pun berbuat pula, maka kamu akan mengetahui.” (TQS az-Zumar [39]: 39).
Kedua: Tidak ada dalam kemampuan pihak yang diseru. Ini ada dua bentuk. Satu, at-ta’jîz (menyatakan ketidakmampuan). Contoh firman Allah SWT, “Kûnû hijârat[an] aw hadîd[an] (Katakanlah): Jadilah kalian batu atau besi.” (TQS al-Isra’ [17]: 50).
Dua, at-tahaddiy (tantangan). Contoh, firman Allah SWT “Fa[a]’tû bisûrat[in] mitslihi (Karena itu datangkanlah satu surat semisalnya).” (TQS al-Baqarah [2]: 23).
Ketiga: Yang secara majaz disandarkan pada al-mukhathab yang bukan mukallaf. Satu, at-tamanni. Dua, at-tarajî.
Juga termasuk bukan perintah jika bukan berasal dalam bentuk isti’lâ‘ , yakni bukan dalam bentuk dari pihak yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah.
Satu, dalam bentuk doa. Contoh firman Allah SWT, “Rabbanâ [i]ghfir lî wa li wâlidayya wa li al-mu`minîna yawma yaqûm al-hisâb (Tuhanku, ampunilah aku, dan kedua ibu-bapakku serta sekalian kaum Mukmin pada hari terjadi hisab ([Hari Kiamat]).” (TQS Ibrahim [14]: 41).
Dua, dari pihak yang setingkat kepada yang setingkat (al-iltimâs/permintaan). Contohnya dalam firman Allah SWT, “Wa qâla lil-ladzî zhanna annahu nâjin minhumâ udzkurnî ‘inda rabbika (Yusuf berkata kepada orang yang dia ketahui akan selamat di antara mereka berdua: “Sebutkan keadaanku kepada tuanmu.” (TQS Yusuf [12]: 42).
Semua ini bukan merupakan perintah yang dimaksudkan dalam pembahasan ini.
Jadi al-amru dapat didefinisikan thalab[un] haqîqiy[un] li al-fi’li ‘alâ wajhi (‘alâ jihati) al-isti’lâ` (perintah adalah tuntutan yang hakiki untuk mengerjakan perbuatan menurut cara/dalam bentuk isti’la’). Ini mencakup dua jenis: Pertama, dari manusia kepada manusia yang lainnya; seperti dari atasan kepada bawahan, dari penguasa kepada rakyat, dari guru kepada murid, dari orangtua kepada anak. Di sini yang harus ada aspek isti’lâ` saja. Kedua, dari Allah SWT atau Rasul saw. kepada hamba. Di sini ada aspek isti’lâ’ dan ‘uluw sekaligus.
Hanya saja, dalam konteks pembahasan Ushul Fiqh, perintah yang dimaksudkan adalah perintah yang berkaitan dengan istinbath hukum syariah, yaitu perintah yang layak menjadi sumber tasyri’ atau sumber hukum, yakni perintah yang darinya dapat di-istinbath hukum syariah. Itu tidak lain adalah perintah dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Inilah perintah yang syar’i.
Maka dari situ, seperti dinyatakan oleh Syaikh Atha’ bin Khail Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl: Al-Amru asy-syar’iy (perintah yang syar’i) adalah thalab[un] haqîqiy[un] li al-fi’li ‘alâ wajhi aw ‘alâ jihati al-isti’lâ` ayyu min al-a’lâ ilâ al-adnâ wa huwa minalLâh ta’âlâ wa rasûlihi shallâlLâh ‘alayh wa sallama (Perintah yang syar’i adalah tuntutan yang hakiki untuk mengerjakan perbuatan menurut cara atau dalam bentuk isti’lâ’ , yakni dari pihak yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah, yaitu dari Allah SWT atau Rasul-Nya saw.).
Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Juz 3 menyatakan: al-amru thalab al-fi’li ‘alâ wajhi al-isti’lâ` (perintah adalah tuntutan mengerjakan menurut cara isti’lâ`).
Adapun an-nahyu adalah thalab at-tarki ‘alâ wajhi al-isti’lâ` (larangan adalah tuntutan meninggalkan menurut cara isti’lâ`).
Perintah dan larangan maknanya adalah ath-thalab (tuntutan). Jadi perintah (al-amru) adalah thalab qiyâm al-fi’li (tuntutan melaksanakan perbuatan), sedangkan larangan (an-nahyu) adalah thalab tarki al-fi’li (tuntutan meninggalkan perbuatan). Hanya saja, perintah dan larangan itu dalam semua yang diperintahkan oleh Asy-Syari’ dan semua yang Dia larang tidak berjalan dalam satu jalan. Akan tetapi, perintah itu, demikian juga larangan itu, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan qarinah dan keadaan. Perintah kadang untuk wajib, kadang untuk sunnah dan kadang untuk mubah.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yoyok Rudianto]