Takrifat

Rukun Qiyas

Al-Qiyâs adalah menyertakan perkara terhadap perkara yang lain dalam hal hukum syariahnya karena kesamaan keduanya dalam ‘illat hukum.1 Al-Qiyâs adalah penetapan semisal hukum ma‘lum pada ma‘lum yang lain karena persekutuan (persamaan) keduanya dalam ‘illat hukum menurut orang yang menetapkan (al-mutsbit).2

Dengan demikian dalam qiyas syar’i itu ada al-maqîs dan al-maqîs alayh. Keduanya dihimpun oleh ‘illat hukum yang ada pada keduanya. Berdasarkan ‘illat pada keduanya itu, hukum al-maqîs alayh diterapkan pada al-maqîs. Dalam istilah para ulama, al-maqîs itu disebut cabang (al-far’u) dan al-maqîs alayh disebut pokok (al-ashlu).

Dari deskripsi itu, unsur pokok atau rukun qiyas ada empat: (2) al-maqîs, yakni cabang (al-far’u); (2) al-maqîs alayh atau pokok (al-ashlu); (3) hukum perkara pokok (hukm al-ashl); dan (4) illat.

Hukum perkara cabang (hukm al-far’) bukanlah unsur pokok atau rukun qiyas. Hukum cabang itu merupakan hasil dari proses qiyas itu sendiri. Jika qiyas telah selesai maka dihasilkan hukum perkara cabang itu. Dengan begitu hukum cabang itu bergantung pada kesahihan qiyas yang dilakukan. Atas dasar itu, hukum cabang bukanlah rukun qiyas. Sebab jika rukun qiyas maka dia harus bergantung pada dirinya sendiri dan tidak bergantung pada yang lain.

Dengan demikian syarat-syarat qiyas kembali kepada keempat rukun itu. Artinya, syarat-syarat qiyas adalah syarat-syarat al-ashlu (syurûth al-ashli), syarat-syarat hukum al-ashlu (syurûth hukmi al-ashli), syarat-syarat al-far’u (syurûth al-far’i) dan syarat-syarat illat (syurûth al-‘illati).

 

Syarat al-Ashli

Al-Ashlu adalah sesuatu yang menjadi dasar perkara lain dibangun, yakni perkara yang diketahui dengan dirinya sendiri tanpa memerlukan yang lain. Al-Ashlu itu adalah al-maqîs alayh, yakni perkara yang padanya perkara cabang di-qiyas-kan. Syarat al-ashlu adalah tetapnya hukum syariah padanya. Sebab tetapnya semisal hukum al-ashlu itu pada perkara cabang (al-far’u) merupakan cabang dari tetapnya hukum yang sama pada perkara pokok (al-ashlu) itu. Oleh karena itu al-ashlu itu padanya disyaratkan tetapnya hukum syariah di dalamnya.

 

Syurûth Hukm al-Ashl

Hukum al-ashl (perkara pokok) disyaratkan padanya delapan syarat.3 Syarat pertama: Harus merupakan hukum syariah. Sebab tujuan dari qiyâs syar’i tidak lain untuk mengetahui hukum syariah pada perkara cabang. Jika hukum perkara pokok tidak syar’i maka tujuan itu tidak tercapai. Selain itu yang dibahas adalah qiyas syar’i sehingga mengharuskan hukumnya adalah hukum syariah. Jika tidak maka qiyas syar’i tidak mungkin dilakukan.

Syarat kedua: Hukum al-ashlu itu tidak mansûkh (tidak di-nasakh) sehingga hukum cabang bisa dibangun di atasnya. Sebab hukum itu merembet dari al-ashlu (perkara pokok) berdasarkan sifat yang menghimpun. Hal itu bergantung pada anggapan Asy-Syâri terhadapnya. Jika hukum yang disusun di atas sifat itu tidak tetap ada dalam pandangan syariah karena telah di-nasakh maka ia tidak mu’tabar sehingga tidak bisa berlangsung qiyas padanya.

Syarat ketiga: Hukum al-ashlu itu ditetapkan berdasarkan al-Kitab, as-Sunnah atau Ijmak Sahabat; bukan ditetapkan dengan qiyas. Sebab jika ditetapkan dengan qiyas, jika ‘illat-nya sama, maka qiyas itu terjadi pada al-ashlu yang pertama; bukan pada hukum perkara itu yang di-qiyas-kan pada al-ashlu yang pertama itu. Jika berbeda ‘illat-nya maka tidak bisa di-qiyas-kan.

Syarat keempat: Dalil yang menunjukkan hukum perkara pokok itu tidak mencakup perkara cabang. Sebab jika mencakup perkara cabang maka penetapan hukum pada cabang adalah dengan dalil itu, bukan dengan qiyas.

Syarat kelima: Hukum perkara pokok (al-ashlu) itu tidak dialihkan dari ketentuan qiyas. Yang dialihkan (ma’dûl) dari aturan qiyas itu ada dua jenis: Pertama, yang maknanya tidak bisa dinalar. Hal itu ada dua hal: (1) Dikecualian dari kaidah umum, artinya hukum itu berlaku khusus; misalnya kesaksian Khuzaimah yang dihitung setara dengan kesaksian dua orang saksi (seperti dalam riwayat Imam al-Bukhari). Selain tidak bisa dinalar, ini juga dikecualikan dari kaidah umum bahwa saksi itu harus dua orang. (2) Memang sejak awal disyariatkan begitu, dan tidak bisa dinalar mengapa begitu, seperti jumlah rakaat shalat, nishab zakat, kadar hudûd dan kafarat. Kedua, disyariatkan sejak awal dan tidak ada pembandingnya. Dalam hal ini idak bisa berlangsung qiyas sebab tidak ada yang sebanding. Misalnya , rukhshah safar, mengusap kaos kaki, dsb.

Syarat Keenam: Dalil yang menunjukkan tetapnya hukum perkara pokok harus tidak menunjukkan tetapnya hukum cabang. Sebab jika menunjukkan tetapnya hukum cabang maka tidak perlu qiyas.

Syarat Ketujuh: Hukum perkara pokok harus disertai ‘illat yang jelas, tidak samar. Penyertaan perkara cabang pada perkara pokok karena adanya ‘illat itu mengharuskan pengetahuan terjadinya ‘illat tersebut. Hal itu bergantung pada penetapan dan penentuan ‘illat hukum perkara pokok.

Syarat Kedelapan: Hukum perkara pokok itu tidak lebih akhir dari hukum perkara cabang. Sebab andai hukum perkara pokok lebih akhir, niscaya hukum perkara cabang itu disyariatkan sebelum perkara pokok tanpa adanya dalil. Pasalnya, dalilnya tidak lain adalah ‘illat perkara pokok padahal itu belum ada.

 

Syurûth al-Far’i

Al-Far’u (perkara cabang) adalah perkara yang di-qiyas-kan (al-maqîs), yang ingin diketahui hukumnya sebagai hasil dari proses qiyas itu. Perkara cabang (al-far’u) itu harus memenuhi lima syarat4: Pertama, kosong dari mu’âridh râjih (perkara yang kontradiksi dan râjih) yang mengharuskan kebalikan dari apa yang dituntut oleh ‘illat qiyas.

Kedua, ‘illat yang ada pada perkara cabang (al-far’u) harus sama dengan ‘illat yang ada pada perkara pokok (al-ashlu), baik pada zatnya atau jenisnya. Sebab qiyas itu tidak lain merembetkan hukum perkara pokok ke perkara cabang dengan perantaraan ‘illat perkara pokok. Jika ‘illat perkara cabang berbeda dengan ‘illat perkara pokok pada sifat keumumannya dan kekhususannya, maka artinya ‘illat perkara pokok itu tidak terdapat pada perkara cabang. Dengan itu tidak mungkin hukum perkara pokok itu diberlakukan pada perkara cabang karena ‘illat-nya berbeda.

Ketiga, hukum pada perkara cabang sama atau identik dengan hukum perkara pokok pada zatnya atau jenisnya. Sama pada zatnya, seperti wajibnya qishâsh pada pembunuhan al-mutsaqqal, yakni pembunuhan menggunakan benda tumpul dengan al-muhaddad, yakni pembunuhan dengan benda tajam. Sama pada jenisnya, seperti penetapan perwalian atas anak kecil dalam pernikahannya, di-qiyas-kan terhadap penetapan perwalian pada hartanya. Yang sama di antara keduanya adalah jenis perwalian, bukan zatnya.

Keempat, hukum perkara cabang tidak dinyatakan oleh nas, atau tidak ada nas yang menunjukkan hukum perkara cabang itu. Sebab jika ada nas yang menyatakan atau menunjukkannya maka hukum perkara itu ditetapkan menurut nas itu, dan tidak ada ruang untuk qiyas.

Kelima, hukum perkara cabang tidak lebih dulu dari hukum perkara pokok. Artinya, hukum perkara cabang harus lebih akhir. Sebab jika hukum perkara cabang itu lebih dulu berarti tidak ada qiyas karena sebab hukum perkara pokoknya belum ada.

 

Rukun Keempat: Al-‘Illat

Illat adalah sesuatu yang karenanya ada hukum. Dengan ungkapan lain, ‘illat adalah perkara yang membangkitkan hukum atau yang membangkitkan tasyrî’ hukum. Syarat-syarat tentang ‘illat akan dijelaskan pada artikel berikutnya.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

 

Catatan kaki:

1        Asy-Syayrazi, al-Luma, hal. 51; Ibnu Qudamah, Rawdhatu an-Nâzhir, ii/227; Wahbah az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, hal. 603; asy-syaikh Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah, Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, hal. 85.

2        As-Subki, al-Ibhaj fi Syarhi al-Minhaj, iii/3; al-allamah Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, iii/319.

3        Al-allamah Taqiyuddin an-Nabhani, asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah, III/335; imam al-Amidi, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, III/215-221. Ada juga yang berpendapat kurang atau lebih dari itu (lihat, al-Ghazali, al-Mustashfâ fî Ilmi al-Ushûl; asy-Syawkani, Irsyâd al-Fuhûl, Wahbah az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî; dll). Secara garis besar esensi pendapat para ulama ushul itu tidak banyak berbeda.

4        Al-allamah Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah, III/333-335; imam al-Amidi, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, III/273-276, Dar al-Kitab al-Arabi; syaikh Atha‘ Abu ar-Rasytah, Tasyîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, hal. 89-90, Dar al-Ummah, 2000. Ada juga yang berpendapat berbeda. Misal, menurut Wahbah az-Zuhaili syarat perkara cabang ada empat syarat (Wahbah az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, I/643-646). Menurut az-Zarkasyi ada delapan syarat (az-Zarkasyi, Bahru al-Muhîth). Lihat juga pendapat lainnya, al-Ghazali, al-Mustashfâ fî Ilmi al-Ushûl; asy-Syawkani, Irsyâd al-Fuhûl; dll). Secara garis besar esensi pendapat para ulama ushul tentang syarat al-faru itu tidak banyak berbeda.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

13 + eleven =

Back to top button