Pembukaan Dayeuh Pakuan Untuk Islam (Sejarah Awal Islam di Bogor Sebelum Era Kolonial, Circa 1480–1680)(Bagian Kesembilan)
Misi jihad ofensif ke Lampung dan Pakuan sudah ditegaskan sedari awal oleh Panembahan Hasanuddin memegang otoritas di Banten, yakni “karena ia hendak mengalahkan segala kapir yang belum Islam”.1
Hal demikian bukan berarti Banten hendak memaksakan Islam kepada penduduk yang masih berpegang pada agama lamanya. Kita sudah melihat bagaimana “segala ajar-ajar di Gunung Pulosari” (kalayan pun ajar saking Pulasari) yang setengahnya bukan Muslim ikut bertempur di sisi pasukan Islam.2
Mereka tidak dipaksa bersyahadat terlebih dulu untuk bergabung ke kubu kaum Muslim. Visi pasukan Muslim adalah futûhât, “pembebasan” dari kezaliman Surawisesa hingga Nilakendra yang menyengsarakan hidup rakyat Pajajaran. Visi inilah yang dijalankan umat Islam sedunia dari masa Rasulullah saw. untuk membebaskan negeri-negeri Arab dan non-Arab menjadi Dâr al-Islâm. Secara sempurna, visi tersebut diungkapkan Rubâ’î bin Amîr yang diutus menghadap Jenderal Rustum dari Persia sebelum pecahnya Perang al-Qâdisiyah: “Allah mengutus kami untuk memerdekakan siapa yang Dia hendaki dari penyembahan kepada sesama manusia menuju penyembahan hanya kepada Allah; dari kesempitan dunia menuju luasnya akhirat; dan dari kezaliman agamaagama menuju keadilan Islam.” (Allâh ibta’atsanâ li nukhrija man syâ’a min ‘ibâdati’l-‘ibâd ilâ ‘ibâdatillâh, wa min dhîqi’d-dunyâ ilâ si’atihâ, wa min jauri’l-adyân ilâ ‘adli’l-Islâm).3
Sepanjang sejarah peradaban Islam, jihad tidak pernah dimaknai sebagai penindasan, pengekangan kebebasan, atau penguasaan tanah dan harta milik orang lain secara paksa. Jihad, selain dimaknai sebagai suatu usaha untuk mempertahankan eksistensi masyarakat Muslim, juga selalu bermakna usaha untuk memberikan peluang dan kesempatan bagi setiap orang untuk memilih Islam. Syariah Islam untuk jihad adalah untuk menyingkirkan berbagai aral lintang yang diciptakan oleh kelompok-kelompok tertentu, termasuk para penguasa, dalam menghalangi akidah Islam dari orang ramai. Allah menegaskan definisi jihad dalam Kalam-Nya yang mulia (yang artinya): Perangilah mereka itu sehingga tidak ada fitnah lagi dan agar ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian) maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap kaum yang zalim (TQS al-Baqarah [2]: 193).
Inilah tujuan dari futûhât Islam. Futûhât berarti pembebasan. Ini membuka kesempatan lebar bagi setiap orang di suatu negeri yang dibebaskan untuk berpikir rasional dan bebas dari kungkungan kekuasaan tiran mengenai pilihan mereka tentang Islam. Setelah Islam sampai, semuanya berpulang pada pilihan yang bebas merdeka tanpa paksaan apakah itu untuk memeluk Islam atau menolaknya.4
Dalam Sajarah Banten dijelaskan bahwa setelah Pakuan berhasil dibebaskan, prajurit dan rakyat Pajajaran “diundang mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian (karena) mau sendiri” (lan kinen ngundhanga, kalimahing syahadat, sawaneh arep pribadi).5
Maulânâ Yûsuf menjalankan wasiat kakeknya, Sunan Gunung Jati, tentang siyâsah syar’iyyah untuk membangun kembali Pakuan pasca-perang, yaitu agar “dibuat kota yang indah di gunung yang akan diserbu itu” (agawe patana adi ing gunung pinangka iku) dan “dibuat pertapaan yang indah” (gawanen patapa adi).6
Politik syar’î Kesultanan Banten adalah agar setelah di-futûhât, Pakuan dijadikan “kota yang indah” dan “pertapaan” yang digunakan oleh rakyat Pajajaran guna memperdalam ajaran Islam. Mungkin sekarang kita tidak mengetahui bentuk arsitektur “kota yang indah” dan “pertapaan” di Pakuan masa Islam seperti apa. Hal ini karena peninggalan bukti (evidence) arkeologinya masih belum tergali sampai hari ini. Namun, kalau kita berpegang pada ungkapan Sajarah Banten di atas, ditambah fakta masyarakat Bogor yang tetap teguh memegang Islam, pastilah kebijakan pembangunan tersebut pernah benar-benar dilakukan. [Bersambung]
Gambar 6. Nisan al-Fatih (Pembebas) Pakuan Bogor, Pangeran Pasareyan Maulânâ Yûsuf bin Hasanuddin di Pakalangan Gede, Kasemen, Serang, Banten. Foto: Munawir MAPESA (Toekang Toelis Calligraphy).
Catatan kaki:
1 Jan Edel (ed.), Hikajat Hasanoeddin, 52.
2 Ibid, 52-55.
3 Abû’l-Fidâ’ Ibn al-Katsîr, al-Bidâyah wa’n-Nihâyah, 9/623. Diakses dari al-Maktabah al-Islamiyyah Islamweb, https://www.islamweb.net/ar/library/index.php?page= bookcontents&idfrom=747&idto=748&bk_no= 59&ID= 819
4 Taqiyuddin Muhammad, Daulah Shalihiyyah di Sumatera, 54-55.
5 Sajarah Banten, Pupuh Durma (no. XXI) bait 13, 115. Dari Naskah G (LOr 7389) dalam Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, 286. Di sini, Pudjiastuti menerjemahkan kata “ngundhanga” dengan “disuruh”. Penulis menerjemahkannya dengan kata “diundang”.
6 Ibid, Pupuh Kinanthi (no. XIX) bait 4-6, 111-112. Ibid, 282-283.