Pembukaan Dayeuh Pakuan Untuk Islam (Sejarah Awal Islam di Bogor Sebelum Era Kolonial, Circa 1480–1680)(Bagian Tujuh)
Absennya serangan dari pasukan Islam membuat Ratu Sakti di Pakuan lupa diri. Ia malah menyibukkan diri dengan main perempuan, melanggar purbatisti-purbajati (peraturan dan ajaran leluhur), membunuh orang-orang tak bersalah, merampas hak orang tanpa perasaan, tidak berbakti kepada orangtua, dan menghina para pendeta. Kecongkakkan Ratu Sakti membuat rakyat membenci dia. Bahkan penulis Carita Parahiyangan yang biasanya pro-Padjadjaran memberikan pesan menohok: “Jangan ditiru oleh yang kemudian kelakuan raja ini!” (Aja tinut de sang kawuri polah sang nata!).1
Raja Padjadjaran berikutnya, Nilakendra (1551-1567), malah lebih gila lagi. Ia menganut ajaran Tantrayana, salah satu sekte hasil sinkretisme Buddha dan Hindu yang mengerikan. Betapa tidak, Nilakendra menjalankan Tantrayana beraliran kiri (nivrtti) yang sangat menganjurkan ritual Panca-ma sepuas-puasnya guna mencapai moksa (kelepasan akhir menuju surga). Panca-ma sendiri artinya Lima “Ma”; yakni matsya (ikan), mamsa (daging), mudra (ekstase melalui tarian yang kadang bersifat erotis atau bahkan mengundang makhlus halus [kesurupan]), madha (minuman keras) dan maithuna (hubungan seks). Penganut Tantrayana menganggap, orang itu jangan menahan nafsu, bahkan sebaiknya turuti saja hawa nafsu. Sebabnya, bila manusia terpuaskan nafsunya, jiwanya akan merdeka. Pesta-pora dan seks bebas dianggap ibadah. Bahkan salah satu ritualnya adalah dengan mempersembahkan tumpukan mayat manusia yang dibakar kepada Siwa. Beberapa mayat diambil jantungnya, diperas dan perasan darahnya dituang ke tempurung tengkorak untuk diminum.2
Ilustrasinya bisa kita lihat sendiri dari arca Siwa Bhairawa dari Candi Singasari yang kini tersimpan di Rijkmuseum Volkekunde, Leiden; juga arca Adityawarman yang sekarang dipajang di Museum Nasional, Jakarta. Carita Parahiyangan tidak tahu lagi harus menulis apa untuk menyebut periode ini kecuali dengan sebutan zaman kaliyuga (kehancuran).
Barangkali rakyat Padjadjaran sendiri sudah tidak tahan dengan kelakuan Nilakendra yang buruk. Begitu timpang dibanding zaman Sri Baduga Maharaja dulu.3 Sebagian besar dari mereka berharap kepada Panembahan Hasanuddin dan menunggu-nunggu untuk dibebaskan dari zaman kaliyuga ini.
Harapan mereka kepada penguasa Banten yang Islam itu bisa dimengerti. Pasalnya, selain Islam menawarkan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan li’l-‘âlamîn), mereka juga melihat toh Panembahan Hasanuddin masih tergolong cucu Sri Baduga Maharaja dari garis ibu. Maka dari itu penting untuk dicatat: Ada sekian banyak warga Kerajaan Pajajaran yang disebut “kaum ajar” juga bergabung dalam pasukan Islam.
Islam dari Banten, juga “segala ajar itu separo yang sudah membawa iman” (pun ajar sapindah ingkang sampun melebet Islam, sampun kasyahadataken).4 Ini berarti, gerakan futûhât Pakuan juga mendapat dukungan dari sebagian warga Padjadjaran meski mereka sendiri belum memeluk Islam. “Ajar-ajar” yang masih memeluk agama lamanya itu percaya, memerangi rajanya di Pakuan bersama pasukan Islam akan membebaskan mereka dari kezaliman penguasanya sendiri. Sebabnya, memang itulah konsep Islam tentang futûhât, “pembebasan”. Bukan sekadar “penaklukkan” dengan motif menjajah.
Tentu saja, Panembahan Hasanuddin turut jengkel melihat keadaan Pakuan yang mengerikan di bawah Nilakendra, si penganut Tantrayana itu. Ketika Banten melancarkan salah satu operasi militernya pada tahun 1567, “Tohaan di Majaya”, gelar Nilakendra dalam Carita Parahiyangan, membuat bendera keramat (ngibuda sanghiyang panji) yang dia andalkan untuk menolak musuh. Tentu saja para mujahid Banten tidak dapat ditakuti dengan benda semacam itu. Akhirnya, Nilakendra diberitakan telah “kalah perang, karena tidak tinggal di Keraton” (Tohaan di Majaya alah prangrang mangka tan nitih ring kadatwan). Ia meninggal di luar Pakuan setelah digempur oleh pasukan Panembahan Hasanuddin dalam persembunyiannya di hutan.5
Sementara itu, ibukota Pakuan masih tetap bertahan dan segera mengangkat penguasa baru. Dilantiklah Nusiya Mulya, anak Nilakendra, untuk memimpin Padjadjaran; negara yang sudah kian terjepit pasukan Islam dan kehilangan trust dari masyarakatnya sendiri karena mengalami nasib buruk di bawah pemerintahan ayahnya.6
Pada saat peluang futûh (terbuka)-nya kota Pakuan makin terbuka lebar, qadarulLâh, Panembahan Hasanuddin dipanggil ke rahmatulLâh pada tahun 1570.7 Beliau wafat meninggalkan nama harum sebagai penguasa Islam yang pertama kali membangun Banten atas arahan ayahnya, Syarîf Hidâyatullâh Sunan Gunung Jati. Dalam kepemimpinannya, Banten meraih predikat “sejahtera negerinya, karena mengikuti syari’ah” (raharja kang nagari, anatakaken kang syareat).8
Di masyarakat Banten hingga sekarang, Panembahan Hasanuddin dikenang sebagai penguasa agung merangkap waliyulLâh; dan pasca-wafatnya diberi gelar anumerta Pangeran ing Sabakingking ing Surosowan.9 RahimahulLâh rahmat[an] wâsi’at[an]. [Bersambung]
Catatan Kaki:
1 Yoseph Iskandar, “Nilai Tradisional dan Sejarah Pakuan Pajajaran Menurut Naskah Kuna”, dalam Politik Agraria dan Pakuan Pajajaran, 176.
2 T.M Rita Istari, “Pelaksanaan Upacara Ritual dalam Tantrayana”, Berkala Arkeologi, Vol. 22 No. 1 (2002), 4142; Yoseph Iskandar, “Nilai Tradisional dan Sejarah Pakuan Pajajaran Menurut Naskah Kuna”, dalam Politik Agraria dan Pakuan Pajajaran, 176; Susiyanto, “Sekte Bhairawa Tantra dan Dakwah di Nusantara”, https://Hidâyatullâh.com/kajian/sejarah/2022/02/02/224222/sekte-bhairawa-tantra-dan-dakwah-dinusantara.html, diakses 6 Juli 2023.
3 Yoseph Iskandar, “Nilai Tradisional dan Sejarah Pakuan Pajajaran Menurut Naskah Kuna”, dalam Politik Agraria dan Pakuan Pajajaran, 176.
4 Jan Edel (ed.), Hikajat Hasanoeddin, 52-54.
5 Saleh Danasasmita, Sejarah Bogor, 80; Yoseph Iskandar, “Nilai Tradisional dan Sejarah Pakuan Pajajaran Menurut Naskah Kuna”, dalam Politik Agraria dan Pakuan Pajajaran, 176.
6 Ayatrohaedi, “Sunda, Pakuan, Pajajaran”, dalam Politik Agraria dan Pakuan Pajajaran, 89-90.
7 Naskah Sajarah Banten yang dituturkan Sandimaya menarasikan bahwa futûhât Pakuan terjadi pada masa Panembahan Hasanuddin. Tapi ketika diteliti lagi oleh Djajadiningrat yang membandingkan isi naskah tersebut dengan data-data lain yang sezaman, ditetapkan bahwa kejadian itu terjadi pada masa anaknya, Maulânâ Yûsuf, tahun 1579. Panembahan Hasanuddin ditetapkan wafat tahun 1570, sembilan tahun sebelum futûhât Pakuan. Lihat: Sajarah Banten, Pupuh Kinanthi (no. XIX) bait 17; Pupuh Durma (no. XVIII) bait 1-25, 113-116. Dari Naskah G (LOr 7389) dalam Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, 284-287; Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten, 102-103, 145-163.
8 Sajarah Banten, Pupuh Durma (no. XVIII) bait 51, 110. Dari Naskah G (LOr 7389) dalam Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, 281.
9 Sebagaimana yang dituliskan Sultan Abû’l-Mafâkhir ketika menuliskan nama Panembahan Hasanuddin di nasabnya dalam cap berbahasa Jawa bertarikh 1628/9. Lihat: Annabel Teh Gallop, Malay Seals from the Islamic World of Southeast Asia: Content, Form, Context, Catalogue, (Jakarta: The Lontar Foundation – The British Library, 2019), 661 (#1940).